GEDUNG MANGGALA Wanabakti, Blok I Lantai III Kantor Kementerian Kehutanan, Jumat, 25 Januari 2012. Tim Mediasi bentukan Menhut undang para pakar dari berbagai bidang mengkaji SK 327. Raflis dari Transparency International Indonesia (TII) Riau salah satunya.

Ia paparkan beberapa penyimpangan perizinan di Pulau Padang. “Dari usulan perizinan tahun 2004 hingga dikeluarkan SK tahun 2009 ada beberapa aturan baru yang keluar,” jelas Raflis. Aturan tersebut: UU No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, PP No. 26 tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, dan UU No. 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Kawasan Pesisi dan Pulau Kecil.

Seharusnya, kata Raflis, sebelum dikeluarkan SK 327 Menhut harus merujuk ketiga UU tersebut. Nyatanya Menhut melewatkannya. “Itu salah satu penilaian dari aspek hukum mengapa SK 327 harus dibatalkan,” ujarnya.

Raflis mengaku tak tahu apakah presentasinya di Kantor Kemenhut akan dijadikan bahan pertimbangan oleh Tim Mediasi dalam bekerja. Namun ia menilai pertemuan tersebut kurang efektif. “Saya lihat tim itu tidak netral melihat persoalan.” Saya tidak diberikan banyak waktu untuk menyampaikan pemikiran. Sementara pakar lain yang membenarkan izin RAPP itu dikasih kesempatan berbicara lebih.”

Hal lain, pakar yang membenarkan izin tidak hadir sampai acara selesai. “Jadi kita tidak bisa bertukar pikiran saat terjadi perbedaan pendapat. Ini sangat disayangkan Raflis.

Pada 30 Januari 2012, Bambang Aswandi, Kelompok Advokasi Riau (KAR)–anggota Jikalahari–posting tulisan  di grup Facebook Bahana. Isinya, tim mediasi sudah keluarkan rekomendasi untuk Menhut. Pertama, revisi SK Menhut No 327 tahun 2009, dengan mengeluarkan seluruh blok Pulau Padang dari area konsensi PT RAPP. Kedua, revisi SK Menhut No 327 tahun 2009 dengan mengurangi luasan IUPHHK-HTI RAPP blok Pulau Padang.

Ahmad Zazali, anggota Tim Mediasi, benarkan dua poin itu. “Itu opsi, kami sudah sampaikan ke Menhut beserta penjelasanya.” Jika, kata Zazali, Menhut pilih nomor satu dari dua rekomendasi itu, tim mediasi sudah sampaikan langkah apa yang harus dia ambil, “Begitupun kalau Menhut pilih poin dua.”

TIGA MINGGU sebelum pertemuan tersebut. Instiawati Ayus, anggota DPD asal Riau dampingi rencana pertemuan warga dengan Menteri Kehutanan, Zulkifli Hasan dan Bupati Kabupaten Kepulauan Meranti, Irwan Nasir, 6 Januari 2012 di Kantor Kementerian Kehutanan Republik Indonesia, Gedung Manggala Wanabakti, Jalan Gatot Subroto, Senayan, Jakarta. Pertemuan gagal gara-gara jumlah peserta pertemuan.

Kesepakatan hari sebelumnya; warga 20 orang bisa masuk. “Kalau tidak kami tak masuk,” kata Riduan. Kesepakatan lainnya Menhut bersedia keluarkan surat revisi SK 327 tahun 2009 jika Bupati Meranti rekomendasikan revisi tersebut.

Ini hanya salah satu tahap penyelesaian yang gagal terlaksana. Catatan Bahana, masih ada pembentukan Panitia Khusus Hutan Tanaman Industri (Pansus HTI) Riau yang tak jadi dibentuk; tim terpadu bentukan DPRD Kabupaten Kepulauan Meranti yang tak juga menyelesaikan masalah; serta pembentukan Tim Mediasi oleh Menhut yang masih bekerja.

Upaya penyelesaian telah dilakukan sejak 2009, namun konflik warga dengan perusahaan RAPP di Pulau Padang masih berlangsung hingga kini.

PULUHAN ANGGOTA dewan dari tujuh fraksi hadiri sidang paripurna, 5 April 2011. Agenda; pembentukan Pansus HTI Riau. Pansus HTI dibentuk untuk mengkaji dampak positif dan negatif dari operasional HTI oleh PT RAPP.

Begitu Ketua DPRD Riau, Johar Firdaus didampingi ketiga wakilnya, Raja Thamsir Rachman, Alamainis, dan Taufan Andoso Yakin masuk ke dalam ruang rapat, semua anggota yang tadinya di lobi turut masuk. Diikuti para wartawan dari berbagai media.Johar Firdaus buka sidang paripurna sekitar pukul 22.00. Tanpa panjang lebar, Johar langsung sampaikan, dari tujuh fraksi yang ada, baru empat fraksi yang memberikan usulan nama untuk Pansus HTI. “Untuk itu, kepada fraksi yang belum serahkan nama, Golkar, PDIP, dan PPP supaya memberikan penjelasan terlebih dahulu,” kata Johar.

Ketua fraksi Golkar, Iwa Sirwani Bibra pertama kali berbicara. Ia menolak adanya Pansus HTI. “Sesuai dengan pembagian tugas pemerintahan, ada prosedur dan kewenangan pihak lain dalam hal ini Departemen Kehutanan,” kata Iwa.

Kemudian bergantian Ketua Fraksi PDIP, Robin Hutagalung dan Ketua Fraksi PPP, Rusli Effendi berikan penjelasan. Selain pembentukan Pansus tidak diatur dalam tatib DPRD, Robin menilai tidak ada hasil kajian akademis dari anggota Badan Musyawarah (Banmus) DPRD Propinsi Riau. Sedangkan Rusli beralasan belum ada satu materi sebagai dasar hukum. Karena itu, Robin dan Rusli juga sama-sama menolak pembentukan Pansus HTI.

Lantas Johar Firdaus minta empat fraksi lainnya, Demokrat, PKS, PAN, dan partai Gabungan yang sudah mengusulkan nama, juga menyampaikan pendapat. Pendapat mereka mengejutkan bagi para mahasiswa yang tergabung dalam Posko Perjuangan Rakyat Meranti (PPRM) dan Aliansi Mahasiswa Peduli Lingkungan (Ampel) yang turut hadir pada sidang paripurna tersebut. PPRM dan Ampel dirikan posko di depan Gedung DPRD Propinsi Riau sejak 22 Februari 2011 guna menuntut pemerintah mencabut SK 327 tahun 2009 tentang perluasan areal konsesi HTI PT RAPP.

Dari keempat fraksi yang sudah mengusulkan nama, hanya Partai Demokrat yang sepakat Pansus HTI tetap dibentuk. Sementara fraksi PAN, PKS dan Gabungan membelot. Meski sudah mengusulkan nama untuk Pansus HTI, ternyata mereka menolak pembentukan Pansus.

Ketua fraksi PAN, Hazmi Setiadi, juru bicara fraksi PKS, Syafruddin, dan juru bicara fraksi Gabungan, Zulkarnain Nurdin mengemukakan alasan penolakan yang sama: tidak ada kajian akademis yang kuat sebagai dasar pembentukan Pansus HTI. “Jadi kami menunggu kajian akademis itu sesuai pasal 108 tata tertib DPRD Riau,” kata Syafruddin.

Sidang diskor 5 menit. Johar umumkan keputusan. Pansus HTI tak jadi dibentuk karena dari tujuh fraksi hanya Demokrat yang setuju pembentukan Pansus.

KAPAL POMPONG membawa tiga ratusan warga Pulau Padang ke pelabuhan Selat Panjang. Mereka datangi Kantor Bupati Kabupaten Kepulauan Meranti untuk menuntut pencabutan izin RAPP di Pulau Padang melalui SK 327 tahun 2009. Masyarakat hendak bertemu Bupati Meranti, Irwan Nasir. Karena tidak ada, masyarakat Pulau Padang putuskan menginap di depan Kantor Bupati dengan mendirikan tenda. Mereka bertahan hingga esok harinya, tanggal 2 Februari 2011.

Sebelum bubar, masyarakat sempat menyerahkan petisi penolakan terhadap rencana operasional PT RAPP di Pulau Padang, PT SRL di Pulau Rangsang, dan PT LUM di Tebing Tinggi. Petisi diterima Asisten I Setdakab Kepulauan Meranti, Ikhwani.

Berdasarkan aksi warga tersebut, Komisi B DPRD Propinsi Riau melakukan kunjungan kerja ke Pulau Padang dan Rangsang pada 11 Februari 2011. Zulfan Heri, Sumiyati, dan Mahdinur, anggota dewan dari Komisi B tersebut melihat langsung operasional perusahaan di sana.

Dari kunjungan itulah wacana pembentukan Pansus HTI Riau muncul kembali. Pansus akan mengkaji dampak positif dan negatif operasional perusahaan di area yang sesuai dengan SK 327 tahun 2009, termasuk di Pulau Padang.

Tak lama usai kunjungan Komisi B DPRD Propinsi Riau, tepatnya 14 Februari 2011, rapat Badan Musyawarah (Banmus) menyepakati pembentukan Pansus HTI Riau. Pansus akan membedah seluruh persoalan kehutanan di Riau, termasuk Pulau Padang dan Semenanjung Kampar. Kedua daerah ini sama-sama masuk dalam wilayah konsesi PT RAPP sesuai SK 327 tahun 2009.

Namun saat itu belum ditentukan kapan rapat paripurna pengesahan Pansus HTI tersebut. Beberapa kali diagendakan rapat Banmus lanjutan, namun tertunda karena berbagai alasan. Rapat Banmus 3 Maret 2011 tak jadi dilaksanakan dengan alasan Ketua DPRD Riau, Johar Firdaus berhalangan hadir karena ada acara keluarga. Lantas rapat Banmus tanggal 25 Maret 2011 juga gagal mengagendakan pembentukan Pansus karena beberapa anggota beralasan Pansus belum diatur dalam tata tertib DPRD Propinsi Riau.

Hingga akhirnya Johar Firdaus putuskan adakan sidang paripurna pada 5 April 2011 dan sebagian besar fraksi tidak menyetujui pembentukan Pansus HTI Riau.

Banyak kalangan kecewa Pansus HTI Riau 5 April 2011 gagal dibentuk, termasuk Jefry Noer dari fraksi Demokrat DPRD Propinsi Riau. Ia seakan berkaca pada rencana pembentukan Pansus HTI Semenanjung Kampar yang juga mengalami jalan buntu hingga sekarang.

Perbedaan pendapat antara Komisi A, B, dan C DPRD Propinsi Riau menjadi latar belakang wacana pembentukan Pansus HTI Semenanjung Kampar. Komisi B yang bertugas meninjau kondisi Semenanjung Kampar menyatakan tak ada masalah di lokasi operasional PT RAPP tersebut.

Sementara Komisi A yang meneliti masalah perizinan menyatakan ada masalah pada izin RAPP setelah beberapa kali diskusi dengan Dinas Kehutanan Propinsi Riau maupun organisasi sosial di bidang lingkungan. Salah satunya dengan Greenpeace yang getol berkampanye mengenai kerusakan lingkungan di Semenanjung Kampar akibat operasional RAPP hingga jadi sorotan internasional.

Komisi C yang meneliti tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) tak punya argumen terkait hal tersebut. Karena perbedaan pendapat, Komisi A lantas mengusulkan pada Ketua DPRD Riau, Johar Firdaus untuk menyelenggarakan rapat komisi gabungan membahas persoalan ini.

Rapat komisi gabungan berlangsung pada 14 Januari 2010 dengan dihadiri perwakilan Gubernur dan Dinas Kehutanan Propinsi Riau. Esoknya, diadakan rapat Banmus dan disepakati pembentukan Pansus HTI Semenanjung Kampar. Namun rapat belum menyepakati jadwal sidang paripurna untuk mengesahkan Pansus HTI tersebut.

Setali tiga uang dengan Pansus HTI Riau, rapat Banmus guna penetapan jadwal sidang paripurna pembentukan Pansus HTI Semenanjung Kampar juga mengalami beberapa penundaaan. Seperti pada 26 Januari 2010 rapat Banmus ditunda dengan alasan harus ada keputusan Badan Legislasi dulu sebelum menyepakati pembentukan Pansus HTI Semenanjung Kampar. Lalu pada 24 Februari 2010, lagi-lagi rapat Banmus belum tentukan jadwal pembentukan Pansus. Alasannya belum ada tata tertib DPRD Riau yang mengatur pembentukan Pansus HTI, sehingga tatib yang ada harus direvisi dulu.

Rapat Banmus kembali diadakan pada 22 April 2010 namun tidak ada agenda pembentukan Pansus HTI Semenanjung Kampar. Begitu pada rapat Banmus berikutnya, berikutnya, dan berikutnya. Agenda pembentukan Pansus HTI Semenanjung Kampar tak jua dijadwalkan.

Hingga akhirnya rapat Banmus pada 14 Februari 2011 yang menyepakati pembentukan Pansus HTI Riau. Awalnya Jefry Noer ngotot rapat tersebut hanya menyetujui pembentukan Pansus HTI Semenanjung Kampar yang sudah tertunda setahun lebih. Namun sebagian besar anggota Banmus sepakat pembentukan Pansus HTI Riau dengan alasan masalah HTI tak hanya di Semenanjung Kampar. Sampai pada 5 April 2011 digelar sidang paripurna dan Pansus HTI Riau pun gagal dibentuk.

“TAK HANYA Pansus HTI, kejadian begini juga terjadi pada pembentukan tim oleh Menhut untuk mengkaji hal terkait operasional HTI ini,” ujar Rusmadya Maharuddin, juru bicara Greenpeace.

Kecang, sapaan akrab Rusmadya lanjutkan, tim mediasi yang dibentuk Menhut untuk kasus Pulau Padang hampir mirip dengan tim pakar independen yang pernah dibentuk untuk mengkaji kasus Semenanjung Kampar pada akhir 2009 lalu. Tim mediasi Pulau Padang dibentuk Menhut Zulkifli Hasan pada 30 Desember 2011. Menhut melalui Dirjen Bina Usaha Kehutanan bahkan sampai mengeluarkan surat keputusan Nomor 5.3/VI-BUHT/2012 tanggal 3 Januari 2012 tentang penghentian sementara operasional HTI di Pulau Padang sementara tim mediasi bekerja.

“Makanya pada pertemuan dengan tim mediasi di Jikalahari kemarin kita menolak tim mediasi bentukan Menhut ini,” lanjut Kecang. Pertemuan di kantor Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau (Jikalahari) berlangsung pada 5 Januari 2012. Hadir berbagai organisasi masyarakat sipil di Riau, seperti LSM, Ormas, dan Organisasi Mahasiswa pada pertemuan tersebut. Tim mediasi dihadiri oleh ketuanya, Andiko.

Muslim Rasyid, koordinator Jikalahari membenarkan pernyataan Kecang. “Seharusnya Menhut bentuk tim verifikasi independen,” sebutnya. Tim ini akan mengkaji tiga sisi: izin, lingkungan, dan hak masyarakat. “Meskipun tim mediasi mungkin akan mengkaji izin juga, tapi berdasarkan pengalaman waktu Semenanjung Kampar dulu, kita yakin kajian lingkungan dan haknya akan lolos juga.”

Akhir Desember 2009 lalu, Menhut membentuk tim pakar independen atas desakan warga Semenanjung Kampar dan organisasi lingkungan di Riau. Mereka meributkan bahwa izin RAPP di Semenanjung Kampar diduga bermasalah. “Namun tim pakar independen yang dibentuk bukan mengkaji terkait izin yang diributkan warga, melainkan hanya menganalisis sistemwater hidro RAPP atau manajemen tata kelola air,” ujar Kecang.

Dari catatan Jikalahari, jika pemerintah (Menteri Kehutanan) dan perusahaan HTI mau mengevaluasi perizinan yang bermasalah dan melibatkan semua komponen masyarakat kawasan hutan sebelum izin terbit, konflik tidak akan terjadi begitu pula dengan penghancuran hutan alam yang tersisa oleh perusahaan HTI, sebab penambahan luas area dalam SK 327 mayoritas berada pada hutan gambut yang seharusnya dilindungi. “Walau pesimis, setidaknya di tim mediasi Pulau Padang ini kita bisa sedikit berharap karena ada orang kita (asli Riau) masuk anggota timnya. Semoga masukan kita direspon,” harap Muslim.

UPAYA PENYELESAIAN konflik HTI di Pulau Padang tak hanya datang dari DPRD Propinsi Riau—Pansus HTI Riau—dan Menhut Zulkifli Hasan—tim mediasi. Ia juga datang dari DPRD Kabupaten Kepulauan Meranti dengan membentuk tim terpadu pada Februari 2011. Dialog dihadiri berbagai unsur dari tingkat daerah, wilayah, hingga pusat. Ada perwakilan Dinas Kehutanan dan Perkebunan Meranti, Bupati Meranti, DPRD Meranti, Dinas Kehutanan Propinsi Riau, BPN Riau, DPRD Riau, anggota DPD RI asal Riau: Gafar Usman dan Instiawati Ayus, dan LSM lingkungan seperti Scale Up, Walhi, dan JMGR. Hadir pula perwakilan dari PT RAPP serta warga Pulau Padang dan Serikat Tani Riau (STR) Daerah Meranti.

Sayang, setakat iini, tim terpadu pun belum bisa selesaikan konflik warga Pulau Padang dengan perusahaan.

Muhammad Riduan, Ketua STR Kabupaten Kepulauan Meranti katakan, Tim Terpadu telah terjadi perubahan fungsi tanpa melibatkan warga dalam diskusi perubahan tersebut. “Tim yang semula bertugas mengkaji kelayakan tanah, Amdal, dan izin RAPP menjadi tim yang bertugas mengawasi operasional RAPP di Pulau Padang. Karena itu kami menolak,” tegas Riduan.

JAUH SEBELUM protes warga terkait izin HTI di Pulau Padang, menurut catatan Bahana, Kepala Dinas Kehutanan Propinsi Riau, Zulkifli Yusuf sudah lebih dulu keluarkan surat yang ditujukan kepada Menhut, saat itu, MS Kaban. Surat tertanggal 2 September 2009 tersebut meminta Menhut untuk meninjau ulang SK 327 tahun 2009 yang diterbitkan 12 Juni 2009.

Inti suratnya meminta Menhut mengacu pada surat Gubernur tanggal 2 Juli 2004, mengurangi areal yang tumpang tindih dengan kawasan suaka alam, menunda pelayanan sampai dilakukan pengukuran dan penataan batas lapangan, melaksanakan terlebih dahulu perubahan fungsi kawasan hutan, dan meminta kawasan Indragiri Hulu dimasukkan dalam areal RAPP sesuai pengukuran dan penataan batas.

SK tanggal 2 Juli 2004 tersebut berisi syarat yang diajukan Gubernur Riau atas rekomendasi pembangunan HTI untuk PT RAPP. Beberapa syarat tersebut: mengadendum HPH yang masih tumpang tindih, merubah status dari non kawasan hutan menjadi kawasan hutan berproduksi tetap, dan menyelesaikan hak masyarakat dan perusahaan lain. “Karena kita tahu SK 327 itu bermasalah makanya kita minta Menhut tinjau ulang,” kata Zulkifli Yusuf. Namun hingga sekarang surat tersebut tak kunjung mendapat respon dari Menhut. Zulkifli juga tak mau keluarkan RKT RAPP waktu itu, “Silahkan kalau Menhut mau kelauarkan.” Akhirnya RAPP dapat sertifikasi. RAPP bisa keluarkan RKT sendiri (self approval).

Zulkifli Yusuf bahkan memperkuat rekomendasi tinjau ulang tersebut dengan mengeluarkan kronologis perluasan areal RAPP pada bulan Januari 2010. Ia simpulkan SK 327 tahun 2009 cacat administrasi dan perlu direvisi agar tidak menimbulkan permasalahan di kemudian hari.

Selain Dishut Propinsi Riau, Bupati Kabupaten Kepulauan Meranti juga melakukan hal sama pada 26 Agustus 2009—saat itu Pjs Bupati Meranti Syamsuar. Bupati mengirim surat peninjauan ulang SK 327 kepada Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan pada Kementerian Kehutanan Jakarta. Lalu pada 3 September 2010 Bupati Meranti juga kirim surat lagi meminta hal yang sama: tinjau ulang SK 327 tahun 2009. Kali ini surat ditujukan kepada Menteri Kehutanan RI.

Pada 30 Juli 2010 giliran Ketua DPRD Kabupaten Kepulauan Meranti me-ngirim surat kepada Menteri Kehutanan. Salah satu isinya mohon tinjau ulang SK 327. Permohonan tinjau ulang tersebut didasarkan pada tuntutan warga Kecamatan Merbau tanggal 26 Juli 2010 untuk menghentikan operasional perusahaan di sana. Juga didasarkan pada kunjungan kerja Komisi I DPRD Kabupaten Kepulauan Meranti ke Kecamatan Merbau. Hasilnya RAPP baru melakukan satu kali sosialisasi kepada masyarakat tanpa melibatkan pemerintah. Tanggal 19 Agustus Ketua DPRD kirim surat pada Direktur RAPP untuk menghentikan sementara kegiatan operasional HTI mereka.

Imam Santoso, Dirjen Bina Usaha Kehutanan pada Kementerian Kehutanan RI tanggal 3 November 2010 menyatakan bahwa pencabutan SK 327 tahun 2009 harus mengacu pada Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 39 tahun 2008. Permenhut tersebut mengatur tentang tata cara pengenaan sanksi administratif terhadap pemegang izin pemanfaatan hutan. Bahwa perizinan pemanfaatan hasil hutan yang diterbitkan Menhut, pencabutan izinnya juga merupakan kewenangan Menhut.

MESKI TAK jadi menemui warga Pulau Padang pada 6 Januari 2012, Menteri Kehutanan bersikukuh akan keluarkan surat revisi SK 327 tahun 2009 asal ada rekomendasi berisi permohonan tinjau ulang dari Bupati Meranti.Untuk menjawab perkataan Menhut, Bupati Meranti, Irwan Nasir pada 10 Januari 2012, kirimkan surat klarifikasi kegiatan HTI PT RAPP di Pulau Padang. Bunyinya; Mengacu pada Permenhut Nomor 39 tahun 2008; tak ditemukan ketentuan bahwa prosedur pencabutan izin harus terlebih dahulu mendapat rekomendasi Bupati. Jika sudah begini, kita tentu sama-sama menunggu ‘langkah’ Menhut.

*Tulisan pernah dimuat di Majalah Bahana Mahasiswa Akhir Tahun 2011