Pria yang tak lulus Akademi Kesenian Melayu Riau ini, khawatir dengan alat musik tradisional yang kini jarang dimainkan. Ia pun mengumpul teman-temannya.

Oleh Dian Sherly Asnavia

BUNYI gendang terdengar dari dalam Gedung Seni Anjungan Idrus Tintin. Beberapa orang menari, mengikuti irama gendang. Mereka terus memukul alat musiknya dan menari tiada henti. Saat azan magrib berkumandang, barulah aktivitas itu disudahi.

“Itu bunyi marwas dan tari zapin,” kata Hardi. Marwas adalah alat musik seperti gendang, yang dimainkan dengan cara ditepuk.

Hardi—memiliki nama lengkap Hardi Wahyudi—pria berusia 27 tahun. Berbadan tinggi dan berkulit putih. Ia membentuk satu kelompok yang giat memainkan musik dengan alat tradisional. Namun ia enggan menyebut kelompoknya sebagai komunitas.

“Komunitas itu kadang tidak konsisten. Orangnya pun itu-itu saja,” alasan Hardi.

Kelompok Hardi terbentuk satu tahun lalu. Ia memanggil teman-temannya yang studi di Universitas Islam Riau (UIR), Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim (UIN Suska) Riau dan Universitas Lancang Kuning (Unilak). Bersama temannya terbentuk satu kelompok yang ia sebut tempat belajar musik tradisional.

Tujuan mereka sama. Mengembangkan kembali seni musik tradisional di Riau. Hardi beserta teman-temannya beranggapan, generasi muda sekarang lebih akrab dengan musik dari luar. Dari sinilah Hardi berbagi ilmu memainkan alat musik tradisional hingga teknik dasar memainkan alat-alat musik tersebut.

Alat musik yang dimainkan diantaranya: marwas, darbuka, bebano, kompang, perkusi  dan konga. Alat-alat ini ia pinjam dari sanggar kesenian yang ia kenal.

Hardi tidak membatasi orang yang hendak datang belajar. Siapa pun dan usia berapapun diperbolehkan untuk belajar sekali dalam satu minggu. Hardi dan teman-temannya menjadwalkan latihan tiap Sabtu sore.

Selama ini, mereka masih memanfaatkan gedung seni Idrus Tintin sebagai tempat latihan. Dengan begitu, Hardi merasa, peminat untuk belajar alat musik melayu ini masih kurang antusias.

Hardi mengenang, satu ketika, tak ada yang datang latihan. Hanya pelatih dan senior- senior saja. Tapi mereka tetap memainkan alat musik sore itu. “Setelah gendang ditabuh, perlahan orang-orang makin ramai juga datang.”

Tak jarang, orang yang sedang berolah raga sore di arena gedung ini, kadang juga menyaksikan permainan musik kelompok Hardi.

Upeh, Mahasiswa UIR yang menjadi bagian dari kelompok ini menjelaskan, belajar musik tradisional menambah wawasan dan pengalaman dirinya. Ia berharap, orang-orang harus lebih sering datang melihat latihan ini, “agar tradisi tidak hilang,” kata mahasiswi yang berasal dari Jakarta ini.

Selain belajar bersama kelompok musik tradisional bentukan Hardi, Upeh juga aktif di Mayang Percussion UIR, kelompok musik dari Jurusan Seni Drama Tari dan Musik atau Sendratasik UIR.

BAGI Hardi, seni itu spesial. Anak ketiga dari empat bersaudara ini menyukai seni musik terutama gendang, sedari kecil. “Orang tua mendukung dan beri kepercayaan pada saya,” cerita Hardi.

Hardi mulai berlatih musik tradisional dengan memainkan darbuka, alat musik yang dimainkan dengan cara dipukul atau digebuk. Alat musik ini berasal dari Timur Tengah. Dari sini, Hardi tidak pelit untuk membagikan ilmunya. Itu semua dilakukan tanpa dipungut biaya.

“Ilmu akan mati kalau tidak dikembang dan dibagikan,” pesan Hardi di satu warung kecil Jalan Surabaya. Harapan Hardi, mereka ingin tampil dalam satu pertunjukan seni diakhir tahun ini.*