Pejuang Papua di Angkot Jakarta

Filep Karma mendapat remisi dari Presiden Jokowi. Sempat menolak beberapa kali namun akhirnya menerima remisi tersebut. Meski sudah keluar dari penjara, Karma tetap berjuang untuk Papua.

Oleh Rizky Ramadhan

SEORANG LELAKI MENATAP KE DEPAN. Sesekali ia melihat kendaraan yang lalu lalang. Beberapa angkot saling mendahului . Cuaca sore itu tidak terlalu panas, namun suhu pengap dalam angkot cukup membuat gerah. Keringat menetes dari keningnya.

“Bisa jadi kita sekarang ada yang ngintai,” katanya seperti berhati-hati.

Ia Filep Jacob Samuel Karma, kerap dipanggil Filep Karma. Pria kelahiran 1959 ini memiliki perawakan besar. Rambut panjangnya digulung dan diikat kecil mirip model rambut gimbal dengan beberapa bagian  memutih. Jenggot dan kumis yang lebat membuatnya tampak sangar. Sesekali ia tersenyum.

Katanya, sejak masih di Papua Karma seringkali diintai karena berjuang memerdekakan tanah kelahirannya. Ia dipandang orang Papua sebagai pejuang yang siap memberikan apa saja untuk aksi damai agar negerinya—Papua—merdeka. Ia pernah dipukul, ditembak dan berkali-kali dipenjara serta diancam dibunuh.

Sore itu saya berkesempatan satu angkot dengannya. Karma berasal dari keluarga terpandang di Papua. Ayahnya Andreas Karma, mantan bupati di Jayapura dan Wamena. Pada 1979, Karma kuliah di Universitas Sebelas Maret, Solo, mengambil jurusan Ilmu Politik. Lulus pada 1987 dan bekerja sebagai pegawai negeri di Jayapura.

Pada 1997, Karma mendapat beasiswa kuliah selama satu tahun di Asian Institute of Management, Manila. Ia kembali ke Jakarta pada bulan Mei setelah study di Manila. Saat itu Karma melihat aksi protes mahasiswa Universitas Trisakti terhadap pemerintahan Presiden Soeharto. Dua hari ia melihat aksi protes itu. “Saat itu ibu kota negara sedang bergejolak.”

Karma melepas masa lajangnya dengan menikahi Ratu Karel Lina, perempuan berdarah Melayu-Jawa asal Tanjung Pinang, Kepulauan Riau. Usia keduanya terpaut satu tahun. Mereka dikarunia dua orang putri.

TIBA-TIBA angkot yang kami tumpangi berhenti di perempatan lampu merah. Tiiiiiiiiiiit…tit…tit…tit… klakson bersahut-sahutan. Kendaraan roda dua melaju pelan di sela-sela mobil.

“Oh ya, jadi bagaimana ceritanya waktu bapak di penjara?”

Karma diam, kemudian tersenyum.

Filep Karma dalam sebuah angkot di Jakarta.
Filep Karma dalam sebuah angkot di Jakarta.

Awal mulanya Filep Karma dipenjara pada 1998 atas tuduhan makar karena memimpin aksi dan pidato. “Sebelumnya saya juga ikut dalam aksi mengibarkan bendera bintang kejora.” Lambang bintang kejora merupakan bendera rakyat Papua merdeka. Saat ikut mengibarkan bendera bintang kejora, militer Indonesia mengambil alih Biak.

Mendatangkan bantuan dari Ambon dan menembaki para pengunjuk rasa dari empat sisi. Jumlah korban tewas tidak diketahui pasti namun ia perkirakan sekitar seratus orang. Karma lalu dihukum penjara selama enam setengah tahun. Karma bebas demi hukum pada 20 November 1999. Karma kembali bekerja sebagai Pegawai Negeri di Papua.

Menjelang akhir tahun 2004, Karma menyiapkan sebuah upacara peringatan deklarasi kemerdekaan Papua. Peringatan ini pertama kali dilakukan pada 1 Desember 1961. Ia kembali  berpidato soal kebangsaan orang Papua. Karma katakan, orang Papua tidak selalu kulit hitam dan rambut keriting, banyak orang di luar Papua yang juga peduli pada Papua.

“Sebaliknya, banyak juga orang asli Papua, kulit hitam, rambut keriting, makan lebih banyak namun hatinya lebih Indonesia,” ujarnya pada pidato tersebut.

Karma kembali ditangkap oleh polisi. Diadili dan dinyatakan bersalah oleh Pengadilan Negeri Abepura. Ia dihukum melanggar pasal 106 dan 110 KUHP tentang makar—suatu perbuatan dengan maksud seluruh atau sebagian wilayah negara jatuh ke tangan musuh atau memisahkan sebagian dari wilayah negara. Karma dijatuhi hukuman 15 tahun penjara.

Filep Karma kembali berusaha melakukan banding ke Pengadilan Tinggi hingga kasasi ke Mahkamah Agung. Kali ini usahanya gagal.

ANGKOT MENEPI. Seorang pria muda masuk dan duduk di kursi dekat pintu lalu menyanyi. Hanya satu lagu, pria itu menyodorkan tangan. “Saya pikir dia mau bilang kalau dia baru keluar dari penjara,” ujar Karma sambil tertawa.

Karma teringat, ketika mengunjungi salah satu penjara ada seorang pemuda menghampirinya. Pemuda itu bilang kalau ia baru keluar dari penjara dan ingin meminta sedikit uang. “Saya juga baru keluar dari penjara,” timpalnya sambil memperilihatkan surat penahanan pada pemuda tersebut. Pemuda itu pun pergi.

Cerita mengenai kehidupannya di penjara tertuang dalam sebuah buku berjudul Seakan Kitorang Setengah Binatang. Selama dipenjara Karma diperlakukan secara tak manusiawi. Ia mengalami sakit dan sulit untuk berobat. Pernah Karma mengalami sakit di saluran kencing dan hendak berobat.

Karma harus bernegosiasi dan menunggu waktu yang cukup lama untuk mendapatkan izin berobat ke Jakarta. Di sampaing itu negara tidak memberi bantuan biaya berobat padanya. Karma di bantu oleh aktivis, Lembaga Swadaya Masyarakat di Indonesia serta  organisasi internasional yang peduli terhadap Hak Asasi Manusia.

Ada juga pejuang di Papua yang secara suka rela membantu biaya pengobatannya. Parahnya lagi, petugas Lapas dan Polisi yang mengantarkan Karma berobat di Jakarta harus ditanggung biayanya.

Kurang lebih 11 tahun dipenjara, Karma di bebaskan pada November 2015 setelah mendapat remisi dari Presiden Jokowi. Mestinya ia baru bebas 2019 mendatang. Karma sempat menerima remisi beberapa kali. Namun menolaknya. Menurutnya, dengan menerima remisi tersebut berarti secara tidak langsung mengakui kesalahan sendiri.

“Kalau saya menerima remisi itu berarti sama saja saya mengkriminalkan diri.” Pengacaranya lah yang memaksa dan membantunya untuk keluar dari penjara.

Sebenarnya Karma berencana untuk tinggal lebih lama di penjara. Alasannya untuk mendesak polisi menuntaskan kasus yang masih terjadi di Papua. Selain itu menurut Karma, tinggal di Lembaga Pemasyarakatan lebih aman. “Jika terjadi apa-apa sama saya, toh polisi harus bertanggung jawab. Mau tidak mau polisi harus menjaga saya.” Baginya, penjara bagai rumah sendiri.

Meski sudah keluar dari penajara, Karma merasa masih dalam penjara yang lebih luas dengan nama Indonesia. Ia menganggap, apa yang dialami Indonesia ketika dijajah Belanda, seperti itulah yang dirasakan oleh rakyat Papua sekarang.

“Tentu saya akan tetap berjuang, karena Papua belum merdeka,” tegasnya.

ANGKOT BERHENTI LAGI. Kali ini seorang pria tua yang masuk. Karma terus bercerita, sesekali mengusap jenggot dan membetulkan letak topi dengan lambang bendera Timor Leste. Karma  menggunakan seragam PNS cokelat dengan lambang bintang kejora di dadanya serta sepatu berwarna putih.

“Kalau setelan baju ini, karena saya memang pegawai negeri. Sedangkan bendera bintang kejora menandakan identitas seorang Papua,” ujar Karma.

“Kenapa topi lambangnya Timor Leste?”

“Ya, biar pihak polisi semakin kesal,” sahut Karma dengan tawa. Karma terkesan dengan perjuangan bangsa Timor Leste yang berhasil memerdekakan diri dari Indonesia.

Untuk terkahir kalinya angkot berhenti. Kami berpisah di perempatan jalan Letjend S. Parman dan Palmerah. Saya mengakhiri bincang-bincang sore itu dengan melihat senyum Karma kembali.#