Kikiba, seorang mahasiswa UNRI adalah penyandang penglihatan lemah atau low vision. Ia hanya dapat melihat hingga berjarak 5-6 meter, itupun sudah buram. Sejak kecil, Kikiba sudah berkali-kali menjalani operasi mata, tapi menurut dokter syaraf matanya memang lemah. Keterbatasan ini membawa Kikiba sulit menjalani kesehariannya, terutama di lingkungan kampus. Sebagai mahasiswa yang masuk saat masa pandemi, ia menjalani kuliah secara dalam jaringan atau daring.
“Aku lebih senang jalani kuliah di rumah, karena aku dapat mengulang pembelajaran, mengambil tangakapan layar, dan lebih jelas melihatnya, dengan dekatkan gawainya ke mata,” ujarnya.
Sedangkan jika pertemuan di kelas luring, Kikiba harus cepat mencatat apa yang diucapkan oleh dosen. Ia juga harus cepat mengambil foto di papan tulis sebelum dihapus. Hal ini membuat Kikiba harus menjalani pembelajaran kuliah lebih keras. Katanya, dari SMA ia sudah praktikkan cara belajar ini.
“Tapi aku memasuki masa jenuh dan capek,” ungkapnya, “Cara belajarku jadi tidak efisien dibandingkan teman-teman lainnya. Ada nilai yang merosot dan mata kuliah yang mengulang.”
Selain urusan proses belajar, mobilitas Kikiba di sekitar area kampus juga terbatas dan kerap membahayakan keselamatan. Untuk sekadar menuju ke kelas saja, bukanlah perkara mudah bagi penyandang tuna netra dan penglihatan lemah seperti Kikiba. Sebagai gambaran, fakultas yang diduduki Kikiba merupakan fakultas dengan jurusan terbanyak di UNRI, dengan bangunan-bangunan besar dan beberapa bangunan yang miliki lantai sedikit lebih tinggi dari tanah.
Kikiba dan para penyandang tuna netra memerlukan pemegang tangan untuk membantunya. Saat ini ia hanya bisa memanfaatkan dinding untuk menahan badannya. Pernah suatu hari ia mesti melompati parit yang cukup dalam. Sulit baginya untuk melangkah tanpa melihat jelas lubang di depannya. Akhirnya ia dudukkan pantat dulu, sambil memanjangkan kaki sejauhnya untuk sampai di seberang, baru disusul dengan kaki satu lagi.
Di kampus UNRI juga belum ada jalur untuk menyeberang jalan. Pernah suatu hari Kikiba nyaris tertabrak motor. Ia mesti menyeberang sendirian, tanpa teman-teman yang biasa mendampinginya. Kikiba beranikan diri untuk melangkahkan kakinya, dan ternyata ada pengendara motor yang sedang melaju ke arahnya.
“Seandainya bisa ada petugas satpam di tiap titik pos. Supaya ada yang membantunya kalau aku dan teman-teman lainnya membutuhkan bantuan untuk menyeberang,” ujarnya.
Ada pula cerita Alfi, mahasiswa FISIP penyandang disabilitas daksa. Kaki kanannya bengkok dan terayun, sehingga Alfi hanya bisa mengandalkan kaki sebelah kirinya untuk berjalan dan menopang badannya. Alfi tetap aktif berorganisasi, tapi dengan kondisi kampus yang kurang ramah bagi penyandang disabilitas, mobilitasnya pun kurang maksimal. Toilet-toilet kampus juga tidak menyediakan closet duduk.
“Untuk aku masih bisa lah, tapi kalau teman-teman penyandang lain bagaimana, misalnya yang memakai kursi roda dan tongkat?” tanya Alfi.
Baik Alfi ataupun Kikiba menyukai olahraga. Namun Kikiba menahan dirinya untuk tidak bergabung dengan teman-temannya yang olahraga. Ia bilang, keterbatasan penglihatannya membuatnya takut untuk memulai.
“Aku pengin kali belajar main volley, bulu tangkis, catur. Cuman aku terlalu takut buat ngomong ke senior,” kata Kikiba.
Keterbatasan penglihatan Kikiba pun membuatnya tidak percaya diri. Ia urungkan kemampuan dan keinginannya. Tak jarang, mahasiswa ini pikirannya dipenuhi bisikan yang membuatnya menahan. Sedangkan Alfi menyukai tenis meja dan volley. Namun ia lebih milih menepi, takut kondisi kakinya semakin memburuk. Dia hanya bisa berharap agar di UNRI ada klub dan fasilitas olahraga yang dikhususkan bagi disabilitas seperti antara lain terdapat di Kampus Unisri, Solo, Jawa Tengah,
Ada pula kisah miris dari Ipo-nama samaran- seorang penyandang disabilitas mental. Sejak usia 17 tahun, Ipo juga didiagnosa depresi berat dan mengidap borderline personality disorder (BPD) hingga harus meneguk obat penenang. Ipo kerap sulit tidur dan cepat gelisah jika berada di tengah keramaian. Alih-alih mendapatkan dukungan di kampus, Ipo kerap mengalami perundungan selama beberapa semester.
Ia juga pernah mengalami pengucilan parah dari teman-temannya. Akibatnya ia merasa semakin takut jadi sorotan. Takut jadi perhatian. Takut keluar rumah. Selama satu semester di semester empat, Ipo tak pernah masuk kuliah. Dari pihak kampus pun tak ada mekanisme untuk menjangkau dan mengecek keadaan Ipo.
Kondisi Ipo jadi semakin buruk. Ia kian sulit tidur. Kepalanya dipenuhi oleh bisikan. Ia telan obat tenang hingga berjumlah tiga puluh. Kadang ditelan pula antimo setablet supaya bisa tertidur. Ia mulai menyakiti dirinya sendiri dengan menyayat lengan, paha, perut dan punggung. Percobaan gantung diri pun pernah dilakukannya, dan untungnya dipergoki oleh ibunya.
Aturan Fasilitas dan Sarana Disabilitas
Melansir dari panduan layanan disabilitas perguruan tinggi, pengertian disabilitas merujuk pada kesulitan atau ketidakmampuan seseorang untuk memenuhi kebutuhannya. Penyandang tunanetra, tunarungu, tunadaksa, autis, kesulitan belajar, hiperaktif, bipolar dan sebagainya termasuk dalam kategori disabilitas.
Aturan undang-undang Nomor 46 Tahun 2017 mempertegas bahwasannya layanan pendidikan untuk penyandang disabilitas begitu penting. Undang-undang No 46 tahun 2014 memberi jaminan dan pengakuan pemerintah bahwasanya terdapat hak penyandang disabilitas untuk ikutan pendidikan jenjang perguruan tinggi.
Alfi, Kikiba, dan Ipo merupakan mahasiswa berkebutuhan khusus yang memiliki hak untuk memperoleh pendidikan perguruan tinggi nya. Namun sayang, fasilitas dan dukungan yang layak untuk mereka belum kunjung tersedia.
Perguruan tinggi sebetulnya wajib untuk memfasilitasi mahasiswa disabilitas secara maksimal. Namun pihak UNRI tak ada satupun beri akses penyandang disabilitas untuk langsungkan kegiatan belajar dengan pelayanan disabilitas. Kebanyakan dosen juga tidak memberikan perhatian khusus pada penyandang disabilitas. Tidak ada fasilitas konseling di kampus, sehingga mahasiswa seperti Ipo harus memendam semuanya sendiri.
Bagaimana mestinya penyandang disabilitas berpendidikan? Bagaimana undang-undang yang telah ditegakkan?
Liani, selalu ketua Forum Komunitas Keluarga dengan Kecacatan atau FKKADK bilang layanan disablitas di Pekanbaru belum cukup memadai. Ia tunjuk misalnya dari akses jalan disablitas yang belum maksimal di Jalan Sudirman. Pun tak semua jalan di Pekanbaru dipenuhi dengan akses disabilitas, hanya di beberapa jalan saja. Sebagai perbandingannya, Liani bandingkan antara pelayanan Indonesia dengan Singapura.
“Kita sangat jauh tertinggal. Di Singapura, penyandang disabilitas dipenuhi aksesnya. Mulai dari pemasangan simbol, ataupun jalan khusus,” ujar Liani.
Menurut aktivis disabilitas ini, pelayanan disabilitas haruslah terpenuhi, mengingat undang-undang telah mengaturnya. Demikian juga di Institut Pendidikan semacam perguruan tinggi. Dari pandangannya, sejauh ini layanan universitas yang telah memenuhi akses disabilitas itu Universitas Indonesia dan Institusi Pertanian Bogor (IPB).
Pernah suatu hari Liani turun langsung ke IPB. Ia lihat, mahasiswa disabilitas mental maupun fisik dikumpulkan dalam satu pengelompokan. Mereka dibekali dengan ilmu pendidikan maupun bakat pelatihan yang beda dengan non disabilitas.
UNRI sebagai kampus yang digadangkan sebagai biru langit kebanggaan masyarakat Riau, mestinya memberi pelayanan yang manusiawi kepada seluruh kalangan. Tak hanya dari fasilitas, dari jalur masuk penerimaan mahasiswa pun harusnya ada untuk penyandang. Sayang. Sayang sekali, belum ada pilihan untuk penyandang disabilitas
Apa Kata Universitas?
Habib, selalu Kepala Sub Bagian Rumah Tangga UNRI beri suara. Ungkapnya, sarana dan fasilitas ini belum semua unit fakultas miliki anggaran. Beberapa titik di institusi sudah terpenuhi, misalnya di gedung rektorat, yakni penyediaan space parkiran khusus, dan jalur pejalan kaki dan kursi roda.
Hingga tahun 2019 sampai 2021, anggaran institusi dikerahkan ke pendanaan layanan pendidikan selama Covid-19. Misalnya penyediaan sarana cuci tangan maupun scan detector. Tambahnya, hal ini akan jadi pertimbangan untuk memperhitungkan penyediaan sarana fasilitas guna penyandang.
Sejauh ini, kendala dari kampus untuk pembangunan tak lain dikarenakan anggaran. Di lain itu UNRI yang hanya berlantai satu hingga dua dianggap masih bisa memenuhi layanan untuk penyandang.
Keluhan mahasiswa yang belum dapatkan peran pembelajar ini, membuat pihak kampus akan mengoptimalkan kembali layanan fasilitas. Habib juga bilang, pembangunan gedung anggaran ADB yang tengah berjalan saat ini pun akan dilengkapi akses pejalan kaki, masuk di dalamnya untuk penyandang disabilitas.
Kendala pembelajaran Kikiba, Alfi, Ipo, ataupun kendala bagi mahasiswa penyadang lainnya akan dipertimbangkan pihak universitas. Jelas Habib, akan ditambahkan penunjang pembelaan selama di kelas. Tentunya, harus sesuai dengan aturan Permenristekdikti No 46 tahun 2017.
***
Penulis : Ellya Syafriani
Tulisan ini bagian dari program Workshop dan Story Grant Pers Mahasiswa yang digelar Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) atas dukungan Friedrich-Naumann-Stiftung für die Freiheit (FNF) dan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.