SEKETIKA saja Sarwan, 47 tahun, warga Desa Mengkirau, menangis. Lututnya bergetar saat melihat hamparan luas tak berhutan di Senalit, Desa Lukit, Pulau Padang. Senalit salah satu titik masuk PT Riau Pulp And Paper (RAPP) di Pulau Padang, Kecamatan Merbau, Kabupaten lainnya.

Pulau Padang terdiri satu kelurahan dan 13 desa; Kelurahan Teluk Belitung. Desa Bagan Melibur, Bandur, Kudap, Dedap, Lukit, Mekar sari, Mengkirau, Mengkopot, Tanjung Kulim Meranti Bunting, Pelantai, Selat Akar dan Tanjung Padang.

Kepulauan Meranti. Selain Senalit, titik masuk RAPP ada di Sungai Hiu, Desa Tanjung Padang. Senalit perbatasan Desa Lukit dan Tanjung Padang.

Pulau Padang berada di sebelah Timur Pulau Sumatera, dipisahkan Selat Panjang. Sebelah Barat berbatasan dengan Pulau Sumatera, Timur Pulau Merbau, Tenggara Pulau Rantau dan sebelah Utara dengan Pulau Bengkalis.

Pulau Padang termasuk 13 pulau kecil dalam Kabupaten Kepulauan Meranti. Meranti Kabupaten termuda di Propinsi Riau. Meranti berdiri tahun 2009; mekar dari Bengkalis. Luas Pulau Padang 1.115 kilometer persegi.

Dalam artikel yang disarikan dari beragam sumber dan diskusi dengan LSM Riau dan masyarakat Pulau Padang, Teguh Yuwono, S.Hut. M.Sc., Dosen Kehutanan UGM tulis, sejak kolonial, Pulau Padang sudah dihuni. Buktinya, dalam peta 1933, dibuat pemerintah kolonial Belanda, terlihat perkampungan seperti Tandjoeng Padang, Tg. Roembia, S. Laboe, S. Sialang Bandoeng, Meranti Boenting, Tandjoeng Kulim, Lukit, Gelam, Pelantai, S. Anak Kamal.

Januari 2011, dari data UPTD dan catatan sipil Merbau, jumlah penduduk Pulau Padang 35.224 jiwa, meliputi beberapa suku; Akit, Melayu, Jawa dan Cina. Mata pencaharian penduduk tak lepas dari hutan, karet, sagu dan ada juga buruh lepas. Bahkan, tulis Teguh, ada sagu dan karet sudah 80-100 tahun masih produksi.

“Jadi tak benar kalau Pulau Padang tak berpenghuni. Tak benar juga kalau kebanyakan di Pulau Padang itu pendatang. Jadi kami ini siapa? Kami sudah turun temurun di sini,” kata Sarwan.

Sarwan tak pernah bayangkan kondisi Senalit sebelumnya. Biasanya, Sarwan hanya dapat cerita kondisi lahan Hutan Tanaman Industri (HTI) di Pulau Rangsang. Rangsang juga dimasuki perusahaan HTI; PT Sumatera Riang Lestari—perusahaan mitra RAPP. “Tentu saya terkejut, saya sedih, saya berpikir tak separah ini, tapi kenyataannya berbeda,” kata Sarwan.

Di Senalit, kata Sarwan, hutan sudah ‘bersih’, kayu ditumpuk, ada juga sudah ditanami akasia setinggi satu meter. Sarwan mengira luas hamparan itu sekitar 10 ribu hektar. “Saya tanya security di sana juga bilang segitu,” kata Sarwan.

Sarwan miliki enam orang anak. Kerjanya berkebun dan cari kayu kehutan. “Dua keturunan dari saya mungkin masih bisa memanfaatkan hutan, setelah itu mungkin tidak.”

Sarwan ke Senalit ikut rombongan Tim Mediasi bentukan Menteri Kehutanan (Menhut). Selain Tim Mediasi ada sekitar 30 warga Pulau Padang yang ikut. Sarwan salah satunya. Darwis, warga yang juga ikut Tim Mediasi, ceritakan saat rombongan dilarang masuk areal. Darwis juga lakukan dokumentasi selama di areal konsesi RAPP di Senalit. “Awalnya Tim Mediasi dan kita (warga) tak boleh masuk sama security, tapi setelah Tim Mediasi tunjukkan surat dari Menhut, baru kami dipersilahkan,” kata Darwis. Kini, kata Darwis, “Saya akan tontonkan pada warga dokumentasi video kondisi Senalit hari ini.” Biasanya, kata Darwis, untuk mengetahui bagaimana perusahaan HTI bekerja, Darwis tontonkan video kondisi HTI di Pulau rangsang.

Bahana, pada Maret 2011 juga pernah coba masuk ke areal RAPP di Sungai Hiu bersama tiga warga Tanjung Padang. Tapi dihadang dan akhirnya gagal masuk. Di Tanjung Padang, Bahana dapat cerita soal abrasi Pulau Padang. Dedi, warga Tanjung Padang ajak ke salah satu tempat di bibir pulau. Ia menunjukkan tebing runtuh. “Beginilah abrasi di sini,” kata Dedi. Berdasarkan peta bikinan kolonial 1933 dan dibandingkan dengan peta Pulau Padang hari ini, hitungan Alfian, warga Tanjung Padang, sudah sekitar 1,3 kilometer Pulau Padang habis ‘dimakan’ abrasi.

Dedi juga lihatkan sebuah lahan terbakar di tanjung padang. Di sana ada kebun karet warga juga terbakar. “Ini kebun karet baru tertanam,” kata Dedi. “Beginilah kondisi tanah gambut kami, kalau hujan sehari banjir, kalau panas panjang terbakar.”

Desa Mengkirau juga terjadi persoalan. Dari Gusti dan Hasan—dua-duanya warga Mengkirau—Bahana dapat dokumen berita acara hasil pengambilan data dan observasi lapangan di Desa Mengkirau. Isinya, Kamis 19 januari 2012, Timbul Batubara, Sekretaris Tim Mediasi dan Ahmad Zazali, Anggota Tim Mediasi didampingi warga Mengkirau; Abdul Wahid, Hudi, Muhlasin, Hasan Basri, Thoyib dan dan Maskur lakukan observasi pada lahan atau kebun milik warga.

Misal pada koordinat 01008’134” LU dan 102024’39,1” BT dengan radius kurang lebih satu kilometer ada kebun masyarakat. Beberapa koordinat lainnya yang diambil, ada rumah penduduk, kebun karet. Dalam berita acara itu, Tim Mediasi akan lakukan overlay dengan peta kawasan hutan, peta administrasi pemerintah dan peta areal kerja RAPP.

Di Bagan Melibur. Saya diajak Semaun, Kepala Desa Bagan Melibur, ke areal sumur minyak PT Kondur Petroleum S.A. Wikipedia.org menulis, Kondur produksi minyak bumi 8.500 barel per hari. Selain minyak bumi, juga gas bumi sebesar 12 MMSCFD (juta kubik kaki per hari).

Di sana jelas terjadi subsidensi—penurunan tanah. Di sebuah sumur Kondur yang ada sejak 1986, penurunan tanah sudah 1,3 meter. “Dulu tanahnya di sini, sekarang lihat sudah jauh turun ke bawah, ya… ginilah kondisi tanah gambut di sini,” kata Semaun. “Ini baru Kondur dengan kanal relatif kecil, apalagi HTI RAPP dengan kanal-kanal besar.”

Di desa Mekar Sari juga jelas terlihat penurunan tanah. Banyak pohon karet akarnya terlihat. Begitu juga pohon kelapa. Menurut Raflis, TII Riau, “Tak mungkin akarnya tumbuh ke atas, tentu tanah yang turun ke bawah. Ini salah satu alasan warga menolak HTI RAPP.” TII Riau fokus lakukan riset korupsi sektor kehutanan. Raflis juga aktif di LSM Kabut Riau. Kabut Riau berdiri 1998. Diinisiasi beberapa Pecinta Alam saat itu masih studi di Universitas Riau. Fokus perhatian Kabut pada isu-isu sosial, lingkungan dan hutan.

Raflis dari TII Riau
Raflis dari TII Riau

Raflis pernah menulis di blognya—raflis.wordpress.com—bertajuk Hipotesa Awal Tenggelamnya Sebuah Pulau. Raflis katakan, antara pemanasan global dan laju penurunan tanah daratan sekitar 7 sampai 8 sentimeter per tahun. Jika, tulis Raflis, elevasi (ketinggian suatu tempat terhadap daerah sekitarnya) antara darat dan laut sekitar 5 meter, daratan akan sama tinggi dengan permukaan laut rentang waktu 60 sampai 70 tahun.

Jika kondisi ini terus terjadi, “Seluruh pinggir pantai harus di dam seperti beberapa daerah di Jakarta, jika Pulau Padang masih ingin dihuni manusia,” kata Raflis. Pada 2010, Raflis pernah diundang Serikat Tani Riau (STR) Meranti jadi pembicara saat ada seminar soal lingkungan di Pulau Padang. “Saat itulah saya lihat fenomena tenggelamnya Pulau.

PT.RAPP, pabrik pulp milik Asia Pacific Resources International Holding Ltd. (APRIL), di bawah konglomerasi Raja Garuda Mas (RGM); perusahaan bergerak di berbagai bidang, terutama kertas dan sawit. Pendiri dan CEO RGM Sukanto Tanoto. Tanoto lahir di Belawan, Medan, 25 Desember 1949. September 2006, ia dinobatkan orang terkaya di Indonesia versi majalah Forbes. Tapi pada 2011, tulis wikipedia.org, Forbes kembali rilis daftar orang terkaya di Indonesia. Tanoto ada di posisi enam. Total kekayaannya US $ 2,8 miliyar.

Ada 1992 RAPP berdiri di Pangkalan Kerinci, Kabupaten Pelalawan, Riau. RAPP miliki pabrik pulp dan kertas dengan kapasitas produksi 750 ribu ton per tahun pulp. RAPP mulai operasi 1995. Kebutuhan bahan baku kayu pulp kurang lebih 3,5 juta meter kubik per tahun.

Laporan Indonesian Working Group On Forest Finance (IWGFF) Desember 2010, sejak awal berdiri hingga kini, kapasitas industri RAPP tunjukkan peningkatan; capai 2 juta ton pulp per tahun. Kertas 350 ribu ton pertahun. Berdasarkan data Kementerian Perindustrian RAPP miliki kapasitas produksi 2,21 juta ton per tahun atau 35 persen dari total kapasistas nasional.

Baru-baru ini, RAPP kembali ajukan peningkatan kapasitas produksi menjadi 2,7 juta ton per tahun dan kertas jadi 1,3 juta ton per tahun. Analisis Muslim Rasyid, Koordinator Jikalahari, kebutuhan bahan baku RAPP tahun 2012 sekitar 11 juta dan tahun 2013 sekitar 10 juta. Jika, lanjut Muslim, sumber pasokan bahan baku tetap dari kayu alam sebesar 9,5 juta, maka konversi hutan alam akan diperkirakan seluas 120 ribu hektar dihitung dengan potensi kayu 80 meter kubik per hektar.

“Ini tak masuk akal, melihat realisasi tanaman masih jauh dari kata berhasil. Bukankah seharusnya dilakukan penurunan (down sizing) kapasitas?” kata Muslim. Pemerintah, kata Muslim, harus berani lakukan tinjau ulang kapasistas produksi produksi pulp dan kertas RAPP agar sesuai kemampuan pasokan bahan baku dari HTI. Agar tak lagi andalkan pasokan kayu dari hutan alam.

MASUKNYA RAPP ke Pulau Padang bermula 2004. Dirut Utama RAPP ajukan permohonan persetujuan penambahan areal IUPHHK pada Hutan Tanaman. Lantas keluar izin prinsip dari Menhut bernomor S.143/MENHUT-VI/2004. Menhut setuju, karena adanya pernyataan tak keberatan Gubri tentang areal PT Nusa Prima Manunggal (NPM) dan PT Selaras Abadi Utama (SAU) jadi IUPHHK-HT atas nama PT RAPP.

Lalu Menhut suruh RAPP lengkapi syarat administrasi. Yakni, perubahan rekomendasi Gubri—semula ditujukan pada NPM dan SAU menjadi rekomendasi atas nama RAPP dan menerima pertimbangan teknis Bupati. Menyusun dan menyampaikan suplemen studi kelayakan Hutan Tanaman areal perluasan. Ketiga, menyusun dan menyampaikan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (Amdal). Terakhir, konsultasi dengan Badan Planologi Kehutanan untuk peta areal kerja penambahan perluasan.

Keluarnya izin prinsip, RAPP langsung minta surat rekomendasi Gubri soal penambahan perluasan. Juli 2004, Gubri sepakat ubah rekomendasi. Tapi bersyarat; harus adendum HPH yang masih tumpang tindih. Ubah status lahan dari non kawasan hutan jadi kawasan Hutan Produksi Tetap. Menyelesaikan hak masyarakat dan perusahaan lain. Sebelumnya Kepala Dinas Kehutanan (Kadishut) Riau, Syuhada Tasman, sampaikan pernyataan serupa.

Pada 11 November 2004, Gubri terbitkan keputusan kegiatan IU-PHHK-HT areal tambahan RAPP di Bengkalis, Siak dan Pelalawan. Tapi, dalam surat itu IUPHHK-HT perlu ditinjau dari aspek lingkungan hidup. Oktober 2005 Bupati Bengkalis, Syamsurizal pun keluarkan pertimbangan teknis dan lengkapi semua syarat sesuai aturan.

Usai dapat rekomendasi Gubri dan Pertimbangan Teknis Bupati, soal Amdal pun mulai dibahas di Komisi Amdal Propinsi. Soalnya, penambahan areal RAPP lintas kabupaten. “Penilaiannya ya… komisi Amdal Propinsi,” kata Zulfahmi, Koordinator Jikalahari 2004. Ia anggota Komisi Amdal Propinsi 2004. Masih 2004, ditaja pertemuan pembahasan Amdal bikinan konsultan penyusun Amdal RAPP; PT. Widya Cipta Buana beralamat di Komplek Rukan Metro, Jalan Venus Barat Kav.15 Margahayu Raya Bandung. Pembahasan dilakukan di Bappeda—kini Badan Lingkungan Hidup (BLH). Ada juga perwakilan Camat Bengkalis. Karena Meranti masih wilayah Bengkalis. Zulfahmi kritik beberapa hal. Mulai soal publikasi Amdal. “Mereka publikasi saat itu di media yang oplah kecil, kita minta dipublikasikan di Koran beroplah besar.”

Kedua, Zulfahmi menilai konsultan Amdal harus turun ke lapangan. Katanya, saat pertemuan itu, pengakuan Camat—saat itu Pulau Padang masih masuk Bengkalis—tak pernah dijumpai konsultan Amdal RAPP saat proses pembuatan Amdal.

“Saya tak pernah dijumpai konsultan Amdal, apalagi masyarakat tentu tidak tahu,” kata Zulfahmi tirukan perkataan Camat.

Adnan Kasry, Guru Besar Universitas Riau (UR) asal Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (Faperika), sam paikan kritikan soal Gambut. Adnan juga Komisi Amdal Propinsi pada 2004. Pasalnya, konsultan Amdal RAPP sampaikan areal konsesi RAPP di Pulau Padang kedalaman gambut kecil dari 3 meter. Tapi, Adnan dapat info beda. “Saya dengar dari berbagai pihak termasuk LSM, gambut di sana lebih dari 3 meter bahkan sampai 10 meter pada kawasan yang luas,” kata Adnan.

Lantas, Adnan dan Zulfahmi usulkan penelitian menyeluruh kedalaman gambut oleh lembaga independen. “Saya usul saat itu lembaga peneliti gambut di Bogor; Wetlands Indonesia.” Usul terima. Pertemuan usai.

Lima tahun kemudian, pada 12 Juni 2009, SK 327/Menhut –II/2009 terbit. Ini perubahan ketiga dari Kepmenhut nomor 130/Kpts-II/ 1993 yang telah diubah dengan Kepmenhut nomor 137/Kpts-II/ 1997 dan Kepmenhut nomor SK 356/Menhut-II/2004. Total areal konsesi RAPP, atas terbitnya SK Menhut 327, 350.165 hektar di empat Kabupaten Riau; Kampar, Siak, Pelalawan, Kuantan Singingi dan Kepulauan Meranti. Khusus blok Pulau padang seluas 41.205 hektar. Zulfahmi dan Adnan kaget. “Begitu lama setelah pertemuan 2004, kita tak tahu kabarnya,” kata Zulfahmi.

“Apakah persetujuan itu sudah dilengkapi permintaan kami tahun 2004. Kalau tidak, dokumennya cacat. Kalau cacat, artinya penerbitan izinnya patut dipertanyakan,” kata Adnan.

Ternyata, 1 Mei 2006 Amdal RAPP kembali dibahas di Komisi Amdal Propinsi. Zulfahmi dan Adnan Kasry tak masuk tim lagi. Atas pembahasan tersebut, Gubri kembali terbitkan SK merevisi SK Kelayakan Lingkungan 2004—Kelayakan Lingkungan pada Juli 2006. Isinya kelayakan lingkungan IU-PHHK-HT milik RAPP. Hasil rapat Komisi Amdal 2006 salah satu pertimbangan dalam SK ini. Dan, tulis Gubri dalam SK itu, dengan keluarnya keputusan ini, maka keputusan kelayakan lingkungan IUPHHK-HT pada 11 November 2004 tak berlaku. Lantas, Menhut terbitkan SK 327 tahun 2009.

JAMIE MENON, Manejer Komunikasi APRIL langsung respon tulisan Dede Kunaifi pada 2 Desember 2011. Dede Kunaifi, saat itu Asisten Riset TII Riau—kini Dede bergabung di Tree House—bertajuk A Silent Protest in Pulau Padang. Fokus tulisan, adanya kesalahan aturan dalam terbitnya SK Menhut 327 yang melegalkan HTI RAPP di Pulau Padang. Tulisan Dede terbit di transparency.org pada 28 November.

“Saya prihatin dengan kondisi masyarakat yang takut kehilangan mata pencaharian setelah HTI RAPP masuk,” kata Dede.

Menon katakan RAPP setahun lebih konsultasi secara luas dengan penduduk setempat setelah diberi konsesi oleh pemerintah Indonesia untuk kembangkan HTI di Pulau Padang. Proses itu, kata Menon, sosialisasi dan diskusi juga pada tingkat komunitas dan individu.

Tony Wenas, Presiden Komisaris RAPP katakan untuk dapatkan izin HTI di Pulau Padang, RAPP sudah lewati tahapan dan melibatkan tim-tim independen dari beberapa universitas. Barulah, kata Tony, menyimpulkan Pulau Padang layak HTI (Riau Pos, 26 Januari 2012).

Soal lingkungan, Tony Wenas, Presiden Komisaris PT RAPP katakan HTI suatu tumbuhan sumber daya terbarukan, ditanam, dipanen lalu tumbuh lagi. Ini, kata Tony, dampak pada gambut cukup bagus. “Karbon akan lebih terserap dengan penjagaan kami,” kata Tony (Riau Pos, 26 Januari 2012).

Foto : http://politikriau.com/read-8614--tony-wenas-pt-rapp-siap-membantu-pemerintah-tangani-karhutla.html
Tony Wenas, Presiden Komisaris PT RAPP

Tapi, berita acara hasil pengambilan data dan observasi lapangan di desa Mengkirau oleh Tim Mediasi bentukan Menhut, pengakuan warga berbeda. Warga Mengkirau mengaku RAPP belum pernah lakukan sosialisasi langsung ke Desa Mengkirau. Bahkan, masyarakat pernah mengundang secara swadaya RAPP ke Kelurahan Teluk Belitung, tapi perusahaan tak datang. Sosialisasi baru dilakukan RAPP setelah terjadinya penolakan masyarkat, itupun di tempat lain.

Juga, hasil kunjungan Komisi I DPRD Kepulauan Meranti 27 Juli 2010 di Kecamatan Merbau. Hasilnya, Komisi I berpebdapat RAPP baru sekali lakukan sosialisasi terkait keberadaan RAPP di Pulau Padang. Makanya, tulis surat itu, timbul pro dan kontra di tengah masyarakat.

Teguh juga menulis; Tim Amdal tak lakukan survei sosial pada masyarakat yang langsung kena dampak. Harusnya, kata Teguh, survei dilakukan di Lukit—salah satu titik masuk RAPP di Pulau Padang. Ini sesuai PP 27 tahun 1999 pasal 34 tentang Amdal. Menurut Dokumen Andal areal penambahan PT RAPP halaman V-68 sampai V-82 Tim Amdal justru lakukan survei di desa Tanjung Kulim dan Kurau yang lokasinya berada di luar areal HTI RAPP.

PULAU PADANG adalah lahan rawa gambut dengan ketebalan 6 meter. Teguh buktikan dari hasil uji pengeboran empat kilo dari bibir pantai. Tepatnya di RT 01 RW 03 Desa Lukit. Dan, lanjut Teguh dalam artikelnya, jarak lima kilometer dari bibir pantai kedalaman gambut capai 5.8 meter.

Kondisi ini, didukung hasil penelitian Tim Fakultas Kehutanan UGM pada 2011 dengan gunakan pendekatan pengeboran 70 titik koordinat. Hasilnya, lahan gambut Pulau Padang termasuk kedalaman tiga meter lebih, bahkan ada 6.5 meter lebih.

Tambah lagi hasil disertasi Dr. Michael Allen Brady dari Universitas British Columbia—sekarang jabat Executive Director Global Obsevation of Forest and Land Cover Dynamics (GOLF-GOLD). Disertasinya tunjukkan sebagian besar kawasan Pulau Padang miliki kedalaman gambut 9-12 meter.

Lalu, lanjut Teguh dalam artikelnya, sebagian besar pemukiman dan kebun karet warga ada pada ketinggian 1-6 meter di atas permukaan laut (dpl). “Sehingga masuknya HTI dengan kanalisasi besar-besaran akan mempercepat tenggelamnya Pulau Padang.”

Makanya, tulis Teguh, secara ketentuan perundang-undangan—Kepres 32 tahun 1997 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung dan PP 47 tahun 1997 yang telah diganti PP 26 tahun 1998 tentang Rencana Tata Ruang Nasional (RTRWN)—kawasan gambut kedalaman lebih tiga meter termasuk kawasan lindung. Tak diperuntukkan pengusahaan HTI karena berpotensi merusak kawasan.

SOAL TATA RUANG Bahana undang Raflis ke sekretariat pada 1 Desember 2011. Ditemani makanan kecil-kecilan, Raflis jelaskan SK Menhut 327 tahun 2009 langgar semua aturan soal tata ruang; RTRWN Kabupaten, Propinsi, Nasional dan TGHK. Raflis ditemani Dede Kunaifi, Asisten Riset TII Riau saat itu. Dalam penjelasan, Raflis tampilkan peta-peta.

Luas daratan Riau 9,4 hektar, 40 persen dataran rendah bergambut. Sebagian dipengaruhi pasang surut . Penataan ruang penggunaan lahan diatur Perda No 10 tahun 1994 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Daerah Tingkat I Riau (RTRWN). Sebelumnya, ada Kepmen 173 tahun 1986 tentang TGHK.

Di Riau, hingga Agustus 2011, kata Raflis, ada perbedaan fungsi TGHK dan RTRWP dan belum ditemukan solusi. TGHK tetapkan 97,8 persen dari luas wilayah Riau sebagai kawasan hutan sedangkan RTRWP tetapkan 54 persen. Beberapa kali revisi RTRWP, tapi belum juga ada kesepakatan dengan Kemenhut.

“Ini gila. Hampir sepuluh tahun, pembahasan tentang adanya ketidak serasian serasian TGHK dan RTRWP tak kunjung selesai. Padahal pemberian izin mengacu pada dua poin ini.

Sebelum ini selesai, pasti izin yang keluar langgar arahan TGHK dan RTRWP,” kata Raflis. Kini, ada 71 Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman (IUPHHK- HT) di Riau.

Peta TGHK, lanjut Raflis, rujukan resmi Menhut dalam beri izin sifatnya dinamis. Pasalnya, ada TGHK Up Date. Lewat TGHK Up Date, Kemenhut merubah fungsi hutan sesuai keperluan, tanpa alasan jelas dan tak pernah dipublish. “Ini akar masalah besar. Jadi penunjukan kawasan hutan sama kayak Naga bonar bikin peta. Tunjuk sana, tunjuk sini. Lihat aja di TGHK, Pekanbaru masih kawasan hutan produksi, masuk akal gak? Hutan yang mana”? Ini terjadi saat perbuhan fungsi kawasan hutan untuk perkebunan, pertambangan dan pembangunan lain lewat proses perubahan kawasan hutan dan pinjam pakai kawasan hutan. Tapi, tak diikuti perubahan peta fungsi kawasan hutan per Propinsi dan perubahan SK Menhut 173 tahun 1986 soal TGHK.

BARU-BARU INI, 26 Januari 2012, Raflis posting dokumen power point bertajuk Penimpangan Perizinan di Pulau Padang. Ada empat penyimpangan yang dikritisi Raflis. Dokumen ini pernah ia sampaikan saat pertemuan Tim Mediasi bentukan Menhut dengan pakar di Gedung Manggala Wanabakti Kemenhut Blok II Lantai III pada 25 Januari 2012.

Ada empat penyimpangan yang dikritisi Raflis. Raflis ktitisi penyimpangan syarat administrasi. Menurutnya, rekomendasi Gubri; SK 522/Ekbang/33.10 pada 2 Juli 2004 tak sesuai Peraturan Daerah (Perda) 10 tahun 1994 tentang RTRW Propinsi Riau. Rekomendasi ini jadi salah satu dasar pertimbangan SK Menhut 327 tahun 2009.

Susanto Kurniawan, Dewan Pertimbangan Jikalahari, pertengahan 2011, pernah menulis analisis Andal Kpts 326/VII/2006 konsesi RAPP SK 327/Menhut-II/2009. Ia sepakat Raflis. Ia nilai rekomendasi Gubri pasal 1 sebutkan areal direkomendasikan pada PT NPM tumpang tindih dengan beberapa areal perkebunan, HTI dan HPH. Makanya, tulis Santo, meski bunyi pasal 6 Gubri mendukung rekomendasi perubahan, tapi dengan syarat.

Pertama, Menhut harus lebih dulu addendum SK HPH tumpang tindih sebelum berikan persetujuan prinsip. Kedua, melaksanakan perubahan status dari non kawasan hutan jadi Hutan Produksi Tetap (HPT).

Lanjut, kata Santo, sesuai Kepmenhut 10.1/Kpts-II/2000 pasal 3 ayat 1 areal hutan dapat dimohon untuk usaha hutan adalah areal kosong dalam kawasan Hutan Produksi dan areal hutan yang akan dialih fungsikan jadi kawasan hutan produksi serta tak dibebani hak-hak lain. Makanya, lewat PP 27 tahun 1999 tentang Amdal pasal 16 ayat 4 instansi yang bertanggung jawab wajib menolak Kerangka Acuan (KA) dokumen Amdal RAPP.

Raflis juga nilai rekomendasi Bupati Bengkalis 522.1/Hut/820 pada 11 Oktober 2005 tak sesuai RTRW Kabupaten. Lalu analisis fungsi kawasan terbitan Dishut Bengkalis saat itu tak sesuai TGHK.

Selain itu, Santo persoalkan SK Menhut 327 tahun 2009, tak gunakan keputusan Gubri No.Kpts/326/VII/2006 soal kelayakan lingkungan. Tapi, masih gunakan keputusan Gubri soal kelayakan lingkungan No.Kpts/667/XI/2004. “Tegas sudah Gubri tulis dalam keputusan 2006 bahwa putusan rekomendasi 2004 tak berlaku lagi. Artinya keputusan kelayakan lingkungan pada SK Menhut 327 kadaluarsa.”

Santo merujuk PP No.27 tahun 1999 tentang Amdal pasal 24 ayat 1; keputusan kelayakan lingkungan hidup suatu usaha dan/atau kegiatan dinya- takan kadaluwarsa apabila rencana usaha dan/atau kegiatan tak dilaksanakan dalam jangka waktu tiga tahun sejak diterbitkannya kelayakan lingkungan tersebut. Pasal 2; apabila kelayakan lingkungan hidup dinyatakan kadaluwarsa sebagaimana dimaksud pada ayat 1, maka untuk melaksanakan rencana usaha dan/ atau kegiatannya, pemrakarasa (RAPP, red) wajib ajukan kembali permohonan persetujuan atas Analisis Dampak Lingkungan Hidup (Andal), Rencana Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Rencana Pemantauan Lingkungan HIdup pada instansi yang bertanggung jawab.

Selanjutnya, Raflis sampaikan penyimpangan SK Menhut 327 tahun 2009 dari sisi hukum. Pertama, soal kriteria Pulau Kecil. UU No.27 tahun 2007 pasal 1 ayat 3; Pulau Kecil adalah pulau dengan luas lebih kecil atau sama dengan 2.000 kilometer persegi beserta ekosistemnya. Melihat luas Pulau Padang hanya 111.500 hektar atau 1.115 kilometer persegi, Pulau Padang masuk kriteria Pulau Kecil.

Pasal 23 ayat 1; Pemanfaatan pulau- pulau kecil dan perairan di sekitarnya dilakukan berdasarkan kesatuan kesatuan ekologis dan ekonomis secara menyeluruh dan ter padu dengan pulau besar di dekatnya. Pasal 23 ayat 2; Pemanfaatan pulau-pulau kecil dan perairan di sekitarnya diperioritaskan untuk salah satu atau lebih kepentingan berikut: a. Konservasi b. Pendidikan dan Pelatihan c. Penelitian dan Pengembangan d. Budidaya Laut e. Pariwisata f . Usaha perikanan dan kelautan dan industry perikanan secara lestari g. Pertanian organik h. Peternakan “Artinya tak diperioritaskanuntuk kegiatan kehutanan,” kata Raflis.

Kedua, Raflis mengacu pada UU No.26 tahun 2007 tentang Tindak Pidana Penataan Ruang. Pasal 73 ayat 1; Setiap pejabat pemerintah yang berwenang yang menerbitkan izin tak sesuai dengan rencana tata ruang sebagaimana dimaksud dalam pasal 37 ayat 7 (Setiap pejabat pemerintah yang berwenang menerbitkan izin ppemanfaatan ruang dilarang menerbitkan izin yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp 500 juta rupiah. Ayat 2; Selain sanksi pidana sebagaimana dimaksud pada ayat 1 pelaku dapat dikenai pidana tambahan berupa pemberhentian secara tidak hormat dari jabatannya.

“Ini jelas, bahwa pejabat yang memberi izin bisa dipidanakan lewat UU No 26 Tahun 27 pasal 1 dan 2, karena SK Menhut 327 tahun 2009 me-langgar rencana tata ruang,” kata Raflis.

Melihat persoalan ini, pada 5 Januari 2012, di sekretariat Jikalahari, gabungan LSM, Ormas dan organisasi mahasiswa taja diskusi. Hasilnya, Kementerian Kehutanan harus ambil langkah bentuk Tim Verifikasi Independen dan multipihak, untuk meninjau kembali perizinan S K . 3 2 7/Menhut-II/ 2009. Kedua, mensinergikan berbagai pihak dan inisiatif guna menjadikan pengelolaan ekosistem lahan gambut dalam oleh masyarakat Pulau Padang yang terbukti mampu menopang kehidupan lebih 32 ribu orang.

PAGI di Pengadilan Negeri (PN) Pelalawan, 25 Januari 2012. Sekitar pukul 11.00, 12 orang aktivis LSM di Riau hadir. Mereka tergabung dalam Tim Pendukung Penyelamat Semenanjung Kampar (TP2SK). Anggota TP2SK; Greenpeace, Jikalahari, Walhi Riau, Scale Up, TII Riau, Kaliptra Sumatera, JMGR, KBH Riau dan LBH Pekanbaru.

Pagi itu, TP2SK dampingi enam warga Teluk Meranti lakukan gugatan Perbuatan Melawan Hukum (PMH) terkait terbitnya SK Menhut 327 tahun 2009 areal Teluk Meranti, Pelalawan terhadap Menteri Kehutanan dan Bupati Pelalawan. Agendanya, pembacaan gugatan TP2SK. Ali Husin Nst, salah satu Kuasa Hukum, bacakan gugatan. Menhut tergugat I dan Bupati Pelalawan tergugat II.

Proses ini dilanjutkan pasca sidang mediasi di PN Pelalawan 9 Juni 2012 tak temukan kata sepakat. Saat itu, kuasa hukum Penggugat Suryadi, SH dan Alamsyah SH. TP2SK ajukan usulan perdamaian pada para Tergugat. Intinya merevisi SK Menhut 327 tahun 2009 dan jadikan hutan negara tidak lagi kawasan HTI PT RAPP melainkan konsesi seluas 43.400 hektar di Semenanjung Kam- par dijadikan Hutan Desa, Hutan Tanaman Rakyat atau Hutan Ke- masyarakatan, dengan catatan tanah milik warga terlebih dahulu dikeluarkan (inclave). Namun ditolak oleh Tergugat I dan Tergugat II. Alasan Tergugat I menolak karena tidak ada dasar hukum yang kuat untuk merevisi SK 327 tahun 2009 tersebut, dan Tergugat II hanya mengikuti apa yang menjadi keputusan Menhut RI.

Usulan perdamaian Penggugat ditolak Tergugat I (Menteri Kehutanan). Alasanya, untuk poin revisi SK Menhut 327 tahun 2009, tak ada alasan yuridis untuk merevisi.

Terkait usulan Hutan Desa, Hutan Tanaman Rakyat atau Hutan Kemasyarakatan, menurut Tergugat, soal Hutan Desa harus di dalam hutan negara yang belum dibebani izin. Soal Hutan Tanaman Rakyat (HTR) juga hampir serupa; HTR dilakukan Menhut pada kawasan hutan pro- duksi yang belum dibebani hak atau izin pemanfaatan hutan. Dengan alasan di atas, Tergugat menolak permohonan Penggugat.

Terakhir, Tergugat sampaikan PT RAPP sudah lakukan kewajibannya dengan alokasikan lahan seluas 2.300 hektar di kelurahan Teluk Meranti dengan bangun tanaman kehidupan. Dan, Tergugat meminta Penggugat cabut gugatannya.

Waktu itu, Tergugat I diwakili kuasa hukumnya: Drs. Afrodian Lutoifi, SH., M.Hum dan Yudi Ariyanto, SH.,MT. Tergugat II me- wakili Bupati Pelalawan: Devitson, Saharuddin SH, M.N, Alfirdaus, SH.,MH dan Nasarudin, SH.,MH. Tentu saja, Penggugat tak mau. Mediasi pun gagal.

PADA 26 OKTOBER 2011, TP2SK antar berkas gugatan ke Pengadilan Negeri (PN) Pelalawan. Surat terdaftar bernomor 15/PDT.G/2011/PN. PLW tanggal 26 Oktober 2011. Ada delapan Kuasa Hukum. Mereka dari Kantor Bantuan Hukum (KBH) dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pekanbaru. Mereka wakili lima orang warga Teluk Meranti, Kelurahan Teluk Meranti, Kabupaten Pelalawan, yang berikan kuasanya pada 6 April 2011.

Dalam gugatan itu, Menteri Kehutanan RI jadi Tergugat I dan Bupati Pelalawan Tergugat II. Dalam gugatan ditulis, terbitnya SK Menhut 327 Tahun 2009 melanggar beberapa aturan. Zulkifli Hasan, Menteri Kehutanan RI Pertama, terbitnya SK Menhut 327, berada dalam kawasan lindung gambut. Ini sesuai peta pola Ruang Wilayah Nasional lampiran tujuh berdasarkan PP No. 26 tahun 2008; hutan gambut di Semenanjung Kampar adalah kawasan lindung gambut. Kedua, melanggar UU No. 41 tahun 1999 pasal 28 ayat 1; usaha pemanfaatan hutan tanaman diu- tamakan pada hutan produksi yang tak produktif, kenyataan sebaliknya; hutan sangat produktif.

Ketiga, adanya aturan kadaluarsa yang digunakan Menhut guna terbitkan SK Menhut 327. Yakni, SK Gubri No. Kpts 667/XI/2004 tentang kelayakan lingkungan. Artinya sesuai PP No.27 tahun 1999 tentang Amdal pasal 24 ayat 1 nyatakan keputusan kelayakan lingkungan dinyatakan kadaluarsa apabila kegiatan usaha tak dilakukan selama tiga tahun sejak terbitnya kelayakan lingkungan tersebut. Buktinya, pihak yang gunakan SK Menhut 327 sampai 2009 belum juga lakukan usaha kegiatan.

Keempat, terjadinya kerugian pada warga Teluk Meranti. Seperti, perubahan suhu, banyaknya binatang keluar dari hutan dan masuk perkampungan sehingga mencemaskan warga. Punahnya ekosistem sungai akibat masuknya air gambut kedalam sungai warga, sehingga pengaruhi mata pencaharian warga. Terancamnya petani padi. Hilangnya mata pencaharian warga yang mencari satwa liar di hutan serta musnahnya hasil hutan; rotan, damar, madu lebah.

Melihat kelima poin di atas, ada lima tuntutan dalam pokok perkara. Pertama, menerima gugatan penggugat seluruhnya. Kedua, menyatakan tergugat lakukan perbuatan melawan hukum. Ketiga, menyatakan tidak berharga dan punya kekuatan hukum tetap SK Menhut 327 tahun 2009. Keempat, memerintahkan tergugat lakukan penyelamatan dan perbaikan hutan yang telah rusak akibat SK Menhut 327 tahun 2009. “Kami sadar kemungkinan menang sulit, tapi kami tak punya pilihan dengan kondisi lingkungan di Teluk Meranti,” kata Efendi, warga Teluk Meranti.

Ini tentu jadi persoalan warga Teluk Meranti dan Pulau Padang yang selama ini sering lakukan aksi penolakan. “Kami ingin tenang hidup di kam pong kami. Tak ade lagi gangguan RAPP. Kami dah cukup lemah, lunglai, pulang balek Selat Panjang, pakai biaya, anak ditinggalkan, semua dikorbankan. Ngadu ke Bupati, Bupati lontar kami ke Pekanbaru, ngadu ke Pekanbaru kami dilontar ke Jakarta. Jadi, masyarakat ni untok ape? Kami seperti binatang. Ade yang bilang Pulau Padang tak berpeng- huni, jadi kami ini memang dianggap binatang. Tolong katekan pade Bupati, kami di sini menolak seratus persen RAPP, anak kami berani mati di Jakarta, kami pun berani mati di sini,” kata Ramlah, 45 tahun, warga Desa Bagan Melibur, Pulau Padang. Anak Ramlah sampai kini masih lakukan aksi penolakan terhadapa HTI RAPP di depan Gedung DPR RI, Jakarta.

“Bilang same Presiden di sane, Menhut di sane, jangan kan kebun, rumah pun tak ada suratnye. Kalau nanti kami digusur nak cari makan kemane? Lihat rumah di sini, tak ade dari beton, semua dari kayu, kalau hutan habis mau gimane nanti anak-anak kami?”#

*Tulisan pernah dimuat di Majalah Bahana Mahasiswa Akhir Tahun 2011