Kehadiran program Kampus Merdeka dapat respon berbeda-beda dari mahasiswa UNRI yang pernah mengikutinya. Efektivitasanya juga dipertimbangkan. Ada yang merekomendasikan program ini. Sebagiannya kapok tak ingin mengikuti kembali

Oleh Tegar Pamungkas

Sebuah pesan masuk ke email Clara Aurelia Putri Januari lalu. Pengirimnya Ruang Guru, sebuah perusahaan digital Indonesia yang bergerak di bidang pendidikan nonformal. Senyum terukir di bibir Clara. Hari itu, ia dinyatakan jebol pada program Studi Independen, bagian dari Kampus Merdeka besutan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud-Ristek).

Mahasiswa Jurusan Akuntansi ini akan bergelut dengan bidang data analis. Program Studi Independen memungkinkan para peserta ikut kelas yang diampu langsung oleh praktisi, sesuai bidangnya. Ia amat bersemangat, tak sabar menjemput ilmu serta pengalaman baru. Terlebih, kesempatan untuk bertemu di layar dengan mahasiswa dan mentor dari seluruh tanah air.

Sebulan kemudian, ia jalankan program dengan sepenuh hati. Tak hanya ilmu dan pengalaman yang Clara harapkan. Lebih dari itu, ia terpacu dengan janji Menteri Nadiem Anwar Makarim bahwa keikutsertaannya dapat dikonversi menjadi pengganti satuan kredit semester (sks) mata kuliah. Porsinya maksimal 20 sks.

Clara manfaatkan kesempatan ini layaknya emas. Selain belajar banyak hal baru, ia juga dapat selesaikan kuliah lebih cepat. Pasalnya, proses perkuliahan tak terhambat meski tengah ikuti program.

Mulanya, mahasiswi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Riau (UNRI) ini tak meragukan perihal konversi tersebut. Ia yakin sepenuh hati. Apalagi, pihak jurusan dan program studinya mendukung penuh peluang yang diambil Clara. Ia juga sudah minta izin pada dosen pengampu mata kuliah semester itu. Clara tinggal duduk manis di depan laptop dan menerima transfer ilmu dari mentor Ruang Guru.

Hingga suatu hari, 5 Maret, ia tak fokus belajar. Perkataan ketua program studi membuat pikirannya sibuk.

“Katanya, belum tentu bisa dikonversi,” ucap Clara mengingat.

Pikiran Clara makin kusut. Ia tak mau tinggal diam. Ia temui Kamaliah, Wakil Dekan I Bidang Akademik.

Hampir sebulan Clara perjuangkan janji Mas Menteri itu. Akhirnya, datang kabar dari Kamaliah. Kamaliah bilang, jurusannya siap mengonversi dengan syarat tertentu. Tanpa pikir lama, Clara ambil langkah cepat. Ia penuhi seluruh persyaratan yang disebutkan. Salah satunya membuat Learning Jurnal, berupa ringkasan materi dari awal pertemuan sampai akhir. Semuanya ia kerjakan sembari mengikuti kelas dari perusahaan milik Belva Devara itu.

Kecemasan Clara belum hilang begitu saja. Jelang batas input nilai di UNRI, nilai dari Ruang Guru belum keluar. Alasannya, proses pembelajaran belum selesai. Nilai itu baru bisa keluar sekira 14 Agustus. Padahal, seluruh nilai mahasiswa harus sudah masuk ke sistem paling lama 31 Juli.

Pikirannya berkecamuk. Bahkan, berat badannya turun drastis. Ia mengaku lelah mengurus haknya tersebut.

Tak ada hal yang sia-sia, begitupun perjuangan Clara. Ia akhirnya dapat nilai akhir dan sertifikat pada 25 Juli.

“Sebelumnya, nilai aku E untuk semua mata kuliah,” katanya.

Seberapa Mangkus Program Kampus Merdeka?

Sejalan dengan tujuannya, dambaan utama mahasiswa terhadap program Kampus Merdeka ialah meningkatkan kapasitas diri, menambah relasi, serta perbanyak pengalaman. Itu pula yang jadi pendorong bagi Zikri Mahendra. Ia Menteri Sosial dan Masyarakat Badan Eksekutif Mahasiswa UNRI Kabinet Lentera Bertuah.

Zikri dan timnya ikuti Program Holistik Pembinaan dan Pemberdayaan Desa atau disingkat PHP2D. Melalui program ini, mereka mengembangkan pertanian dengan metode hidroponik dan akuaponik di Desa Pulau Sarak, Kampar. Bagi Zikri, kegiatan tersebut sangat cocok bagi mahasiswa yang aktif di kelembagaan. Khususnya, mengabdi dan mengembangkan desa di sekitar. Selain itu, sebagai wujud implementasi Tri Dharma Perguruan Tinggi.

Di program lain, ada Asrol Fickri yang bergabung dalam program Pejuang Muda. Mahasiswa Ilmu Pemerintahan itu ikuti program yang berada di bawah naungan Kementerian Sosial dan bekerja sama dengan Kemendikbud-Ristek. Selama program, Asrol ditugaskan membantu kegiatan dinas sosial yang terjun ke masyarakat.

Asrol punya ambisi untuk mengasah hard skill dan soft skill-nya. Lewat program ini, menurutnya, mahasiswa mampu beradaptasi di lingkungan kerja. Hal itu didukung dengan pengalaman dan pengembangan kerja yang baik.

Kehadiran program Kampus Merdeka dapat respon berbeda-beda dari mahasiswa UNRI yang pernah mengikutinya.

“Program Pejuang Muda ini sudah cukup efektif, apalagi saya masuk di angkatan pertama program ini. Perlu ada perbaikan di bidang administrasi dan juga koordinasi,” kata Asrol Fickri kepada Bahana Mahasiswa.

Begitu pula dengan Zikri. Meski tidak linear dengan jurusannya, ia mengaku dapat banyak pengalaman dari PHP2D. Terutama di bidang sosial, seperti terjun langsung ke lapangan dan berbaur dengan warga desa.

Melalui sosialisasi dengan warga desa, Zikri dapat mendengarkan cerita dan aspirasi mereka. Juga, menampung harapan mereka kepada mahasiswa. Hal-hal seperti itulah yang tak ia jumpai di kelas.

“Secara umum program ini sangat bagus. Namun, untuk efektif saya rasa belum. Karena tidak semua kampus dan pihak terkait melaksanakan dengan ketentuan yang telah diberikan. Ada yang sudah paham dan juga ada kampus yang masi meraba-raba,” tutur Zikri menilai.

Sementara Clara tak begitu menyarankan mahasiswa untuk ikuti program Kampus Merdeka. “Sistem konversi belum jelas, sehingga mahasiswa akan ketar-ketir sendiri. Jadi, saya tidak merekomendasikan karena melelahkan dan saya melihat bahwa kampus kita belum siap untuk MBKM [Merdeka Belajar Kampus Merdeka].”

Ihwal konversi memang jadi satu masalah bagi mahasiswa yang ikut. Pasalnya, tak semua SKS bisa dikonversi. Penyesuaian antara mata kuliah yang dikonversikan dengan program yang dijalankan adalah akarnya.

Bila mahasiswa telah menyelesaikan program, mereka dapat ajukan konversi SKS kepada pihak program studi atau jurusannya.

Zikri dapat porsi konversi sebanyak 10 SKS. Namun, ia tak dapat mengonversikan satupun jatahnya. Sebab, mata kuliah dan kegiatan yang ia jalankan tak berhubungan.

Setali tiga uang, Asrol juga dihadapkan dengan persoalan yang sama.

“Karena pada dasarnya, jurusan juga harus memilah dan memilih jurusan yang bisa dikonversikan ke dalam mata kuliah pilihan,” cerita Asrol.

Senada dengan mereka, Utari Chantika Azhari juga mengisahkan hal serupa. Ia ikut program yang sama dengan Clara, namun di tempat dan bidang berbeda. Awalnya, mahasiswi Teknik Lingkungan itu tak tahu menahu soal konversi SKS. Namun, ia tak terlalu ambil pusing. Ia sudah semester akhir, sehingga tak perlu lagi ambil mata kuliah.

“Terkait efektif atau belum, ini masih perlu tindak lanjut, sih. Karena kemarin masih angkatan pertama dan masih banyak hal yang belum tahu harus ngapain dan mengurusnya ke mana gitu,” ucap Utari.

Kacamata Ki Darmaningtyas—pengamat pendidikan—melihat ada faktor yang memengaruhi tingkat efektivitas program Kampus Merdeka. Satu di antaranya adalah kesiapan masing-masing kampus sebagai penyelenggara. Terlebih karena program diluncurkan ketika pandemi Covid-19 menerpa. Hal itu ia anggap turut berperan.

“Masalahnya, Kampus Merdeka ini adanya kan pas pandemi. Jadi, sistem pembelajaran juga berubah. Tidak bisa langsung dinilai efektivitasnya,” demikian pendapat pria Kelahiran Gunung Kidul tersebut.

Di luar dari perkara konversi, ada perkara lain. Mahasiswa yang dedikasikan dirinya pada program tertentu dalam Kampus Merdeka, akan dapat insentif. Umumnya, uang akan langsung dibayarkan kepada mahasiswa melalui rekening bank. Namun, kenyataannya, pencairan insentif cenderung lama dan macet.

“Kalau untuk insentif, apakah lancar atau tidak, ya tentunya tidak,” cerita Asrol.

Asrol harusnya dapat insentif Rp260 ribu perhari. Namun, keseluruhan uang tersebut baru ia terima di akhir. Ia mesti selesaikan logbook, semacam catatan harian sebagai bukti progres selama kegiatan.