Dina tak bisa bermain lompat tali, mengejar teman hingga berenang. Namun Dina jagonya menghapal, menulis hingga punya suara merdu untuk bernyanyi
Oleh Wilingga*
“Kak, aku titip uang, nanti kalau mau jajan aku minta,” kata Dina. Sejam lalu, saya mengantarnya pergi sekolah. Ia menginjak kelas empat sekolah dasar,meminta saya untuk berjanji menunggu hingga kelas berakhir. Merasa kurang yakin, Dina menitipkan uang saku Rp. 12.500 sebagai jaminan saya tidak ingkar janji.
Saya menolak. Lantaran takut Dina benar-benar tidak jajan selama di sekolah.
***
Dina, tinggal di sebuah desa wilayah Kabupaten Bandung Barat. Ia Anak Dengan Disabilitas fisik. Lengan kanannya kaku. Hanya bisa digerakkan mulai dari pergelangan tangan hingga jari-jari.
Selain itu, kaki sebelah kanan juga sulit digerakkan. Hal ini membuat Dina tak bisa beraktivitas berat menggunakan kaki. Seperti bermain lompat tali, mengejar teman hingga berenang di sungai.
Saat Dina berusia dua tahun, terkena demam tinggi. Keluarganya tidak langsung membawa ke dokter. ‘Orang pintar’ di desa mengurut Dina. “Orang dulu belum percaya sama dokter,” kata Wiwin kakak kandung Dina.
Tak kunjung sembuh, keluarga bawa Dina ke dokter. Namun, dokter buru-buru kibarkan bendera putih–Dina terlambat mendapat tindakan medis. Belakangan jadi sulit menggerakkan tangan dan kaki sebelah kanan.
“Awalnya gigi juga gak tumbuh, susah buat makan,” Kenang Narsih, ibu Dina. Katanya, hanya bisa memakan nasi sekepal tangan. Butuh waktu lama nasi berada dimulutnya sebelum habis ke tenggorakan.
Delapan bulan terakhir, Narsih tidak dapat merawat Dina sepenuhnya. Dokter vonis ia mengidap kanker rahim dan kerusakan ginjal. Perlu cuci darah saban minggu. Belakangan, biaya rumah sakit terlalu mahal buat Narsih. Cuci darah pun berhenti lima bulan terakhir. Sebab itu, bibir Narsih membiru dan pecah-pecah. Kulitnya kering dan keriput. Lebih tua dibanding umurnya yang masih kepala empat.
Hari-hari Narsih dihabiskan tak jauh dari rumah. Wiwin bantu masak. Sedang Dina membersihkan rumah. Setali tiga uang, ayahnya juga tak dapat beri perhatian lebih. Pagi-pagi sekali, sudah berangkat untuk berjualan sayur di kabupaten sebelah. Ia baru pulang jelang senja.
Dina lebih banyak bermain seorang diri. Kalau pun berteman, hanya dengan anak dibawah usianya. Ibunya bercerita pernah mendapat ejekan dari teman sebaya. Lantas Dina mengunci rapat mulut dan gelengkan kepala saat saya menanyakan perihal itu.
Sepulang sekolah, Dina main ke rumah Wiwin, tepat di sebelah rumah. Biasanya Wiwin memutar lagu dangdut di pemutar kaset. Ia ikut bernyanyi. “Satu album bisa dia hapal dalam sekejab,” Kata Wiwin.
“Satu, dua, tiga,..”
Kemampuan menghafal tak sampai di situ. Ia dapat menyebutkan huruf A hingga Z dalam sekali tarikan nafas. Begitu juga menyebut angka dari satu sampai sepuluh. Jelang malam, Dina mengajak saya menemani mengaji di rumah Enung Atikah, 50 meter dari rumahnya. Enung sampaikan Dina punya hafalan shalat dan ayat pendek yang bagus. “Tapi untuk membaca huruf didalam Alquran agak sedikit sulit.”
Sajatkahula Solat fardu isya ampat rakaat mada ka kiblat tina waktuna karana Allah taala. Aii Allah eta nun maha agung.
Dina membaca niat shalat wajib dalam Bahasa Arab dan Sunda. Keras-keras.
Selain itu, Dina menulis dengan rapi. Biasanya ia meniru bentuk huruf di buku, koran bekas dan spanduk. “Habis bukunya di coret-coret. Minta beli lagi,” keluh Narsih.
Meski ia tak sepenuhnya lulus kompetensi, pihak sekolah tetap pertimbangkan naik kelas lantaran aktif dan berani dalam proses belajar. “Dia memang sulit membaca, tapi kemampuannya yang lain membuat kami salut,” kenang Aan Kurnia, gurunya di sekolah. “Paling rajin sekolah.”
Kabar baik buat dunia seperti Dina, sekolah ini menyediakan tempat bagi orang yang mau belajar. Pendidikan adalah hak segala bangsa. Di tempat lain, sekolah sudah menerapkan pendidikan inklusif salah satunya sediakan guru khusus untuk bimbing anak disabel. Mereka tetap sekolah dengan anak pada umumnya.
Sebuah kelompok Rehabilitasi Berbasis Masyarakat (RBM) Kabupaten Bandung Barat beri terapi setiap bulan kepada Dina dan penyandang disabilitas lain. Berkat kerjasama dengan Save The Children menambah gembira hari-hari Dina.
RBM punya program pembinaan wilayah dalam hal pencegahan disabilitas, deteksi dan rehabilitas meliputi rehabilitasi pendidikan, kesehatan, keterampilan dan sosial. Sebagai usaha memberi perlindungan penyandang disabilitas. Ia juga menyandarkan kekuatannya pada upaya masyarakat. Contoh yang baik untuk dapat diterapkan dimana pun.
Tak hanya itu, Yayasan Tunas Cilik mendesak pemerintah kecamatan naikkan anggaran buat RBM. Hasilnya, ada Rp. 25 juta setiap tahun buat membantu orang-orang penyandang disabilitas.
Gayung bersambut, Kepala Desa di tempat Dina tinggal berjanji akan menaikkan anggaran pembinaan RBM. Jadi tak hanya fisioterapi, ia akan kembangkan fasilitas sesuai hobi anak penyandang disabel agar dapat lebih mandiri sesuai kelebihannya.
Yayasan Sayangi Tunas Cilik tidak boleh dibiarkan bekerja sendiri. Mengingat UU Nomor 8 Tahun 2008 tentang disabilitas. Kehadiran peraturan ini diharapkan mampu beri kesempatan baik buat Dina dan penyandang disabilitas lainnya. Mulai dari pendidikan, pekerjaan serta kesetaraan.
Bahwa dalam bernegara, seluruh elemen masyarakat beserta si pembuat aturan haruslah menaati UU tersebut.
Pemerintah haruslah lebih peduli terhadap hak-hak disabilitas.
“Maulana yaa maulana”
“Yaa sami’ du’aanaa”
“Dina belajar nyanyi dari siapa?”
“Dari Pak Yasep.”
Yasep, pengasuh RBM meyakinkan Dina untuk tidak malu bernyanyi. “Ada yang suka make up, kami hadirkan kelasnya supaya dia semangat kembangkan hobi,” ujar Lalan menambahkan.
Kata Yasep, anak-anak seperti Dina perlu diperhatikan pendidikannya. Akses kesehatan serta fasilitas umum juga tak luput. Kini, Yasep bersama teman-temannya di RBM, fokus perjuangkan hak-hak anak seperti Dina.
***
Jelang siang, matahari begitu terik, panasnya menusuk hingga ke tulang. Saya menunggu di sudut sekolah. Beberapa meter didepan, saya melihat Dina berlari menghampiri. Kami berdua menunggu delman untuk pulang ke rumah. Delman tak ramah buat Dina, berhimpit dengan anak lainnya. Saya memutuskan hubungi teman buat jemput gunakan motor. Menikmati jalan pulang, Dina membuka pembicaraan.
“Kak, uang jajan Dina belum kakak kasih semua”
“Oh ya.”
“Kembaliin dong, jangan bohong.”
Saya meringis sambil mengeluarkan pecahan seribu rupiah yang sengaja saya simpan untuk menguji ingatannya.
*Sebuah program dari Yayasan Sayangi Tunas Cilik bekerja sama dengan Tempo Institute. Ada 19 anak muda se-Indonesia dua malam tinggal di rumah penyandang disabilitas. Seluruh nama dalam tulisan ini disamarkan demi melindungi identitas anak.