“SELAIN memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pendirian rumah ibadat harus memenuhi persyaratan khusus meliputi: (a) daftar nama dan Kartu Tanda Penduduk pengguna rumah ibadat paling sedikit 90 (sembilan puluh) orang yang disahkan oleh pejabat setempat sesuai dengan tingkat batas wilayah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (3); (b) dukungan masyarakat setempat paling sedikit 60 (enam puluh) orang yang disahkan oleh lurah/kepala desa; (c) rekomendasi tertulis Kepala Kantor Departemen Agama kabupaten/kota; dan (d) rekomendasi tertulis FKUB kabupaten/kota.â€
Begitu bunyi Pasal 14 ayat (2) Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri nomor 8 dan nomor 9 tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadat. Peraturan bersama itu ditanda tangani Menteri Agama Muhammad M. Basyuni dan Menteri Dalam Negeri H. Moh. Ma’ruf pada 21 Maret 2006.
Sebuah peraturan bersama dua menteri yang membuat tiga komunitas organisasi Kristen tak bisa mendirikan rumah ibadahnya di Kabupaten Kuantan Singingi Propinsi Riau.
UMAT Muslim menjalani ibadah puasa pertama 1432 Hijriah pada 1 Agustus 2011. Keluarga Lasni Simanjuntak tak menjalaninya karena bukan Muslim. Mereka beranjak tidur saat orang-orang tengah melaksanakan sholat Tarawih. Pukul 22.26 Lasni terbangun oleh suara roda sepeda motor yang menabrak pintu rumahnya. Tak lama kemudian terdengar suara orang membanting bangku-bangku diiringi teriakan “Allahu Akbarâ€.
Rumah Lasni Simanjuntak bersebelahan dengan Gereja Pentakosta Di Indonesia (GPDI). Dinding rumah dan gereja menyatu. Suami Lasni adalah pendeta gereja GPDI. Rumah dan gereja tersebut terletak di Kecamatan Pangean Kabupaten Kuantan Singingi.
Lasni membuka pintu rumah. Ia melihat 15-20 orang mengobrak-abrik gereja. Bensin disiram di sekeliling gereja. “Ada apa Bang ribut-ribut?†tanyanya.
“Gereja mau dibakar. Kalau mau selamat, keluar.â€
“Tunggu Bang, jangan dibakar dulu. Anak saya masih tidur di dalam.â€
Lasni masuk ke dalam rumah, membangunkan Abjon Sitinjak suaminya dan Josua anaknya. Lalu mengangkat barang-barang yang bisa diselamatkan. Mereka beranjak keluar rumah, berdiri sekitar 10 meter dari rumah dan gereja tersebut.
“Dari jarak segitu masih terasa sekali panasnya. Api sangat besar,†cerita Lasni.
Rumah dan gereja terbuat dari kayu. Lantai semen, atap seng. Luas gereja 6 x 9 meter. Rumah Lasni terletak di belakang gereja dengan luas 5 x 6 meter. Gereja dibangun pada Mei 2009 hasil swadaya masyarakat. Jemaat gereja sekitar 80 orang.
Sebulan kemudian Lasni dan keluarga diberi uang 5 juta Rupiah oleh Camat Pangean sebagai bantuan mengganti rumah yang habis terbakar. Mereka terima uang itu. Rumah Lasni dibangun kembali. Rumah juga dijadikan tempat ibadah jemaat GPDI.
“Selama beribadah di sana, empat kali kami dapat teguran. Kami diancam jangan lagi beribadah di sana,†kata Jon Saprianto Purba.
Jon Saprianto Purba salah seorang jemaat GPDI. Menurutnya, teguran itu dilaporkan oleh jemaat yang beribadah di gereja tersebut. “Ada orang yang mengancam jemaat kami, jangan lagi melaksanakan ibadah di sana.â€
Merasa terancam, pendeta Abjon Sitinjak beserta jemaat GPDI sepakat pindah ke Kecamatan Logas Tanah Darat. Ia bersebelahan dengan Kecamatan Pangean. “Di Logas warganya lebih toleran. Kami boleh beribadah meskipun tak boleh mendirikan gereja,†kata Jon Saprianto Purba. Hingga kini, setiap minggunya jemaat GPDI berpindah dari satu rumah ke rumah lain untuk beribadah.
SEBELUMNYA di Logas Tanah Darat pernah berdiri satu gereja milik komunitas organisasi Gereja Batak Karo Protestan (GBKP). Ia mengalami nasib serupa dengan GPDI pada hari yang sama—hari pertama bulan puasa tahun 2011—dibakar warga.
Waktu menunjukkan pukul 23.30. Beberapa jemaat GBKP masih di dalam gereja. Mereka ada kegiatan mengecat gereja. Tengah mengecat, tiba-tiba atap gereja dilempari batu. Salmon Ketaren seorang jemaat keluar melihat situasi. “Dari jauh terlihat orang ramai berdatangan pakai sepeda motor. Ada yang bawa parang,†kata Salmon.
Takut terjadi apa-apa, Salmon memilih balik badan, lari ke semak-semak di belakang gereja.
“Jangan lari, kami bunuh kalian!†Salmon mendengar teriakan massa yang berdatangan tersebut. Salmon makin takut. Ia lari makin cepat menjauhi massa yang mulai beringas. “Mereka ramai sekali. Saya tak kenal satupun. Bukan orang di sekitar gereja,†katanya.
Tiba-tiba Salmon teringat isterinya yang masih ditinggalkan di rumah tetangga. Khawatir dengan nasib isteri, Salmon kembali mendekati gereja. Dari jarak 50 meter, ia melihat gereja dirusak dan dibakar. Api makin membesar. Salmon lari lagi karena terlihat oleh massa yang membakar gereja.
Bangunan gereja semi permanen. Ukuran 8 x 16 meter terbuat dari kayu. Jemaatnya sekitar 60 orang. Panitua GBKP Sinta Tarigan katakan kini mereka beribadah sementara di Gedung Serbaguna yang dibangun organisasi GBKP Pekanbaru. Sejak awal tahun 2012 mereka mulai beribadah di sana. Panitua adalah pendamping pendeta ketika melayani jemaat maupun mengurus segala pekerjaan di gereja.
“Bagaimanapun kami tetap ingin bisa beribadah di dalam gereja. Ibaratkan orang Islam yang terpaksa sholat di Gedung Serbaguna karena tak bisa mendirikan masjid, bagaimana perasaannya? Itu juga yang kami rasakan sekarang,†ujar Salmon Ketaren.
GEREJA Methodist Indonesia (GMI) alami nasib serupa dengan GPDI maupun GBKP. Gereja mereka dibakar pada 2 Agustus 2011 sekitar pukul 23.00. Bangunan gereja GMI di Kecamatan Pangean berukuran 8 x 12 meter, terbuat dari kayu beratap seng. Gereja dibangun pada Maret 2010 dan selesai Juli 2011. Sebanyak 16 kepala keluarga beribadah di gereja tersebut.
Pendeta GMI Goklas Mian Tambunan cerita saat ini GMI sudah pindah di Kecamatan Logas Tanah Darat, mengikuti jejak GPDI. Mereka beribadah di sebuah rumah yang dibeli secara cicil. Rumah tersebut berukuran 5 x 7 meter. Jemaatnya makin berkurang. Kini tinggal 12 kepala keluarga. “Karena ada intimidasi itu,†kata Goklas Tambunan.
“Saya pun sudah capek sebetulnya. Namun karena semangat jemaat, kami akhirnya dapat tempat ibadah baru, di rumah cicilan sekarang ini. Masih ada teguran, namun orang-orang tua di sini (Kecamatan Logas Tanah Darat) mengizinkan kami tetap beribadah asalkan tempatnya tidak di pinggir jalan besar,†lanjut Goklas Tambunan.
PERATURAN Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 8 dan 9 Tahun 2006 membuat organisasi gereja GPDI, GBKP dan GMI sulit membangun gereja kembali setelah dibakar warga. “Mendapatkan 60 tanda tangan dari warga sekitar amat sulit,†kata Goklas Mian Tambunan Pendeta GMI.
Hal senada diungkapkan Sinta Tarigan Panitua GBKP. “Setahun ini sudah 3 kali kami datangi orang yang dituakan di Logas ini. Namun ia belum mau tanda tangan. Alasannya dirembukkan dulu dengan yang lain. Warga sekitar tak ada yang mau tanda tangan sebelum datuk di sini tanda tangan,†jelas Sinta Tarigan.
“Bagaimana kita bisa minta orang Islam tanda tangan? Keluarga Muslim terdekat tinggal 500 meter dari gereja kami. Lainnya sekitar dua kilometer. Bagaimana kita bisa cari 60 orang? Peraturan itu mungkin cocok di kota-kota. Tapi tak mungkin dijalankan di sini, di tengah kebun,†kata Abjon Sitinjak Pendeta GPDI.
Menurut sebuah laporan berjudul Atas Nama Agama, pemberlakuan Peraturan Bersama 2006 diawali dari perintah Susilo Bambang Yudhoyono Presiden Republik Indonesia kepada Menteri Agama Maftuh Basyuni untuk mengevaluasi Surat Keputusan Bersama (SKB) tahun 1969 tentang pembangunan rumah ibadah. Laporan tersebut dirilis oleh organisasi Hak Asasi Manusia Human Rights Watch pada awal Maret 2013.
Maftuh Basyuni berembuk bersama Ma’ruf Amin, Ketua Komisi Fatwa dari Majelis Ulama Indonesia untuk merancang SKB baru. Situs Tempo memuat beritanya dengan judul Draf Surat Keputusan Rumah Ibadah Sudah Kelar pada 9 Februari 2006. Dalam situs tersebut, Ma’ruf Amin mengatakan bahwa panitia perumusan SKB baru sudah selesai bekerja. Panitia sudah merumuskan 29 pasal selama 10 kali rapat dalam kurun 3 bulan.
Ma’ruf Amin menjelaskan syarat utama mendirikan tempat ibadah yang tercantum dalam draft. Syarat itu antara lain, minimal memiliki 100 pemeluk suatu lingkungan, mendaftarkan pendirian ke kelurahan, didukung minimal 70 warga di lingkungan itu dan memiliki rekomendasi dari Departemen Agama serta Forum Komunikasi Umat Beragama Kabupaten.
Pada 21 Maret 2006 keluarlah Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri nomor 8 dan nomor 9 tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadat.
Dalam wawancara Human Rights Watch dengan Andreas Yewangoe, Ketua Persekutuan Gereja-gereja Indonesia (PGI) Jakarta yang dimuat dalam laporan Atas Nama Agama, PGI menganggap peraturan bersama tahun 2006 ini lebih represif dari pada peraturan 1969. Dampaknya pun sudah terasa hingga ke daerah. Terbukti organisasi Gereja Pentakosta di Indonesia (GPDI), Gereja Batak Karo Protestan (GBKP) dan Gereja Methodist Indonesia (GMI) hingga kini sulit mendirikan rumah ibadah karena tersangkut aturan 2006 tersebut.
“MEMBERI peringatan dan memerintahkan kepada penganut, anggota, dan/atau anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI), sepanjang mengaku beragama Islam, untuk menghentikan penyebaran penafsiran dan kegiatan yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran Agama Islam yaitu penyebaran faham yang mengakui adanya nabi dengan segala ajarannya setelah Nabi Muhammad SAW.â€
Kalimat itu tertera pada diktum kedua Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Agama, Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri Nomor 3 tahun 2008, Nomor Kep-033/A/JA/6/2008 dan Nomor 199 tahun 2008 tentang Peringatan dan Perintah kepada Penganut, Anggota Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan Warga Masyarakat. Surat ini lebih dikenal dengan sebutan SKB 3 Menteri tentang pelarangan terhadap kegiatan Ahmadiyah. Ia ditanda tangani Menteri Agama Muhammad M. Basyuni, Jaksa Agung Hendarman Supandji serta Menteri Dalam Negeri H. Mardiyanto pada 9 Juni 2008.
Pada diktum ketiga dalam SKB yang sama dinyatakan apabila penganut atau anggota pengurus JAI tidak mengindahkan peringatan tersebut, akan dikenai sanksi sesuai ketentuan yang berlaku.
DI Propinsi Riau, sebuah masjid dihancurkan pasca keluarnya SKB 3 Menteri. Masjid milik Jemaat Ahmadiyah tersebut terletak di Kampung Sukamaju Kilometer 5 Dusun Seimenanti, Desa Tanjung Medan, Kecamatan Pujud, Kabuparen Rokan Hilir. Kejadiannya pada 5 Oktober 2008, 5 hari setelah Idul Fitri.
Webblog isamujahid.wordpress.com memuat kronologis kejadian. Judulnya Pasca SKB dan Idul Fitri Masjid di Mahato Riau Diruntuhkan ditulis oleh Heri. Video perusakan masjid tersebut bisa dilihat di situs Youtube dengan judul Kronologi Perusakan Masjid Mubarak Mahato. Ia diupload oleh akun ibupertiwimenangis pada 13 Oktober 2008.
Heri menulis pada 5 Oktober 2008 enam orang tamu datang ke Masjid Mubarak untuk berdialog. Mereka diterima Ilham Ketua Cabang Ahmadiyah Mahato bersama beberapa pengurus Jemaat Ahmadiyah lainnya. Dalam rekaman video terlihat enam tamu tersebut berpeci, salah satunya berbaju koko putih disapa Pak Haji. Mereka mengatas namakan utusan dari masyarakat. Dari rekaman mereka jelas meminta kegiatan Jemaat Ahmadiyah di Mahato dihentikan dan Masjid Mubarak tidak digunakan untuk beribadah.
“Kami minta kegiatan Ahmadiyah diberhentikan di dusun ini. Bapak boleh sholat dimanapun, asal jangan di masjid ini. Masjid ini akan disegel. Sudah ada 150 orang dari dua tempat yang berkumpul. Kami hanya punya waktu 2,5 jam,†ujar seorang wakil massa berbaju dan berpeci cokelat, berjanggut.
Perwakilan massa itu juga menuntut Jemaat Ahmadiyah menanda tangani pernyataan yang isinya antara lain melarang jemaat untuk sholat, azan dan melaksanakan kegiatan.
“Apakah Bapak-bapak sanggup mendapat kutukan dari Allah Ta’ala bila melarang kami sholat di sini?â€
“Kami siap!†ujar beberapa wakil massa serentak.
Karena itu surat pernyataan pun ditanda tangani perwakilan Jemaat Ahmadiyah dan dibacakan di depan massa yang sudah berkumpul di sekeliling masjid.
“Surat pernyataan. Tuntutan masyarakat kilo 5. Kami Jemaat Ahmadiyah: (1) untuk ini tidak melaksanakan sholat jamaah di masjid; (2) untuk tidak melaksanakan kegiatan pengembangan Jemaat Ahmadiyah, tidak menggunakan masjid sampai kapanpun,†kata Rusli salah satu pengurus Jemaat Ahmadiyah membacakan surat pernyataan tersebut.
Belum selesai dibacakan masyarakat mulai anarkis. Mereka melempar masjid dengan batu, balok kayu sudah siap di tangan. “Ini macam mana. Kami sudah mengalah. Kok masih anarkis,†kata perwakilan Jemaat Ahmadiyah mencoba menenangkan warga.
Tiba-tiba massa menghancurkan kaca-kaca masjid. Situasi makin riuh. Pembacaan surat pernyataan pun tak bisa dilanjutkan. Dalam video rekaman terlihat jelas massa menggunakan kayu panjang mendobrak sisi-sisi masjid hingga roboh. Mereka meneriakkan “Allahu Akbar†terus-menerus.
Dalam waktu satu jam, tulis Heri dalam blog isamujahid.wordpress.com, masjid roboh. Massa bersorak sambil bertepuk tangan. Terakhir lafadz Allah bertuliskan huruf Arab di puncak masjid dicopot.
TAK hanya di Kecamatan Pujud Kabupaten Rokan Hilir. Di Pekanbaru, Masjid Mubarok milik Jemaat Ahmadiyah Kelurahan Tuah Karya Kecamatan Tampan juga disegel. Mereka dilarang beribadah dan berkegiatan di masjid. Pelarangan tesebut dilegitimasi oleh Herman Abdullah Walikota Pekanbaru saat itu.
Herman Abdullah mengeluarkan surat yang ditujukan kepada Agus Sumarsono Ketua Jemaat Ahmadiyah Tuah Karya. Surat dikeluarkan tanggal 12 Oktober 2010 berisi penghentian kegiatan Jemaat Ahmadiyah.
Landasan peraturan yang digunakan Herman Abdullah yakni SKB 3 Menteri tahun 2008, rekomendasi Tim Pengawasan Aliran Kepercayaan Masyarakat (Pakem) Pekanbaru pada 7 Oktober 2010 yang meminta Walikota Pekanbaru menghentikan kegiatan Jemaat Ahmadiyah Tuah Karya.
Herman juga memperhatikan rekomendasi Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pekanbaru tanggal 2 September 2010. Tertulis MUI bentuk tim melakukan investigasi dan peninjauan langsung ke tempat aktivitas Jemaat Ahmadiyah Tuah Karya. Alasan terakhir Herman Abdullah menerbitkan surat larangan yakni untuk mengantisipasi keresahan masyarakat terhadap keberadaan Jemaat Ahmadiyah di Gang Ahmadi Jalan Sudirman Kecamatan Pekanbaru Kota dan Jalan Cipta Karya Kecamatan Tampan.
Pada 16 November 2010 Herman Abdullah kembali mengeluarkan surat berisi perintah penghentian kegiatan Jemaat Ahmadiyah di Tuah Karya. Surat ini adalah penegasan untuk surat yang dikeluarkan sebelumnya. Ia meminta Agus Sumarsono selaku Ketua Cabang Ahmadiyah Tuah Karya untuk mematuhi surat keputusan Walikota Pekanbaru yang dikeluarkan 12 Oktober 2010.
Surat keputusan menyatakan Pemerintah Kota Pekanbaru sudah mengadakan rapat koordinasi dengan Ketua Kejaksaan Negeri Pekanbaru, Kapolresta Kota Pekanbaru, Camat Tampan, Kapolsek Tampan, Ketua MUI Pekanbaru, Ketua FKUB Pekanbaru dan Kepala Kantor Kementerian Agama Pekanbaru pada 27 Oktober 2010. Dalam surat dinyatakan, bila Jemaat Ahmadiyah Tuah Karya tidak mematuhi surat keputusan tersebut, persoalan akan diselesaikan sesuai ketentuan hukum yang berlaku.
“Sejak itu kita tidak lagi beribadah di Masjid Mubarok,†kata Agus Sumarsono. Jemaat Tuah Karya beribadah dan melaksanakan kegiatan dari rumah ke rumah.
Menurut Agus, Jemaat Ahmadiyah di Tuah Karya sudah mulai melaksanakan kegiatannya sejak 1990. “Selama itu baik-baik saja. Sampai datang surat Walikota tahun 2010 melarang kami menggunakan masjid. Landasannya SKB 3 Menteri,†katanya.
Agus cerita Masjid Mubarok mulai dibangun tahun 2008 dari dana swadaya masyarakat. “Selesai tahun 2010 sebelum bulan puasa. Kita gunakan masjid untuk sholat Tarawih,†ujar Agus. Tak sampai sebulan digunakan, datang surat larangan dari Walikota Pekanbaru. “Kita pernah minta pengamanan Polsek Tampan untuk melaksanakan sholat Idul Fitri maupun Idul Adha di masjid. Tapi Kapolsek tak berani kasih izin sebelum surat Walikota dicabut.â€
“TIDAK ada lagi kegiatan Ahmadiyah di Propinsi Riau dan di Kota Pekanbaru. Seandainya masih ada melakukan kegiatan, InsyaAllah FPI akan turun bersama masyarakat Pekanbaru untuk memberantas pengkhianat-pengkhianat Islam ini,†kata Feli Rizieq, Ketua FPI Kota Pekanbaru.
Selasa, 19 April 2011 pukul 10.00. Sekitar 10 orang mengatas namakan Front Pembela Islam (FPI) dan Laskar Pembela Islam (LPI) Kota Pekanbaru menyegel Masjid An-Nasir di Gang Ahmadi Nomor 2 Jalan Sudirman Kecamatan Pekanbaru Kota milik Jemaat Ahmadiyah.
Kegiatan penyegelan disimbolkan dengan pemasangan spanduk di pintu dan jendela sekeliling masjid menggunakan paku. Salah satu tulisan pada poster: Masyarakat Kota Pekanbaru mendukung Gubernur Riau dan Walikota Pekanbaru Bubarkan Ahmadiyah yang telah Merusak Islam. Penyegelan disaksikan pejabat pemerintah Kota Pekanbaru dan pihak kepolisian.
Selain memaku semua pintu dan jendela serta memasang poster, FPI dan LPI juga merusak gembok pintu pagar masjid dan mencabut aliran listrik. Dalam orasinya merka mendesak Gubernur Riau keluarkan SK Pelarangan Ahmadiyah di Propinsi Riau.
Empat hari sebelum penyegelan, 15 April 2011, Muhammad Daud penghuni Masjid An-Nasir sekaligus Ketua Cabang Jemaat Ahmadiyah Kecamatan Pekanbaru Kota menceritakan bahwa ia diajak Ketua RW untuk membicarakan soal keberadaan dan kegiatan Jemaat Ahmadiyah di Gang Ahmadi tersebut. Pertemuan diadakan di rumah Ketua RW. Hadir Ketua RT, Lurah, Camat, serta pihak kepolisian.
Inti dari perbincangan tersebut meminta Jemaat Ahmadiyah untuk menghentikan kegiatan karena meresahkan masyarakat. “Kegiatan kami hanya sembahyang. Apakah Bapak-bapak mau melarang kami sembahyang?†tanya Daud. Daud pun diminta tanda tangan surat pernyataan tentang penghentian kegiatan Ahmadiyah yang sudah dipersiapkan sebelumnya. Ia tidak mau.
Penyegelan pun dilakukan pada Selasa 19 April 2011 tanpa perlawanan. Daud dan keluarga saat itu tidak berada di rumah. “Kebetulan kami sekeluarga ada di Padang. Namun sebelum penyegelan saya ditelepon Kanit Intel, disuruh jangan pulang dulu karena masjid mau disegel,†kata Daud.
Hingga kini Jemaat Ahmadiyah Pekanbaru Kota masih belum bisa menggunakan masjid mereka untuk beribadah. Muhammad Daud pun terpaksa cari tempat tinggal baru karena rumahnya sudah disegel.
SATU lagi masjid Jemaat Ahmadiyah yang disegel pemerintah daerah terletak di Desa Koto Bangun dan Koto Baru Kecamatan Tapung Hilir Kabupaten Kampar. Tanggal 16 Februari 2011 Bupati Kampar Burhanuddin Husin mengeluarkan surat keputusan penghentian kegiatan Jemaat Ahmadiyah di kedua desa tersebut.
Surat keputusan juga berlandaskan pada SKB 3 Menteri tahun 2008. Dalam SKB tersebut Menteri Agama Maftuh Basyuni, Menteri Dalam Negeri Mardiyanto dan Jaksa Agung Hendarman Supandji memerintahkan komunitas Ahmadiyah “menghentikan penyebaran penafsiran dan kegiatan yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran Agama Islam†termasuk “penyebaran faham yang mengakui adanya nabi dengan segala ajarannya setelah Nabi Muhammad SAWâ€. Pelanggaran atas SKB ini dapat diancam lima tahun penjara.
SKB 2008 membuka pintu Bupati Kampar dan Walikota Pekanbaru membuat ketentuan peraturan anti Ahmadiyah. Mereka berdalih ketentuan dikeluarkan agar tak terjadi gangguan keamanan maupun mencegah timbulnya tindakan anarkis dari masyarakat.
Padahal jika menilik Undang-undang Pemerintah Daerah Nomor 32 tahun 2004 Pasal 10 ayat (3) huruf f secara tegas menyatakan bahwa urusan pemerintahan yang menjadi urusan pemerintah pusat meliputi politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional serta agama. “Dari situ saja sudah terlihat bahwa pelarangan kegiatan Jemaat Ahmadiyah yang dikeluarkan pemerintah daerah telah melanggar aturan. Urusan agama adalah urusan pemerintah pusat, bukan pemerintah daerah,†tegas Daud.
TANGGAL 16 Februari 2011 Menteri Agama Suryadharma Ali mengeluarkan instruksi nomor 2 tahun 2011 tentang Antisipasi terhadap Timbulnya Kerawanan/Konflik Kerukunan Umat Beragama. Dalam instruksinya, Suryadharma Ali meminta Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama Propinsi dan Kabupaten/Kota berkoordinasi dengan pemerintah daerah serta instansi terkait untuk melakukan tiga kegiatan. Dalihnya meningkatkan kerukunan umat beragama.
Kegiatan pertama, melakukan pembinaan umat beragama guna mengantisipasi timbulnya gejolak kerawanan kerukunan umat beragama. Kegiatan kedua, melakukan sosialisasi Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Agama, Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri Nomor 3 tahun 2008, Nomor Kep-033/A/JA/6/2008 dan Nomor 199 tahun 2008 tentang Peringatan dan Perintah kepada Penganut, Anggota Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan Warga Masyarakat. Alias SKB 3 Menteri tahun 2008.
Terakhir, melakukan sosialisasi Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri nomor 8 dan nomor 9 tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadat. Ini peraturan soal kewajiban mendapatkan 90 tanda tangan dari jemaat dan 60 tanda tangan dari warga sekitar bila hendak mendirikan rumah ibadah.
Sejak dua SKB tersebut diberlakukan, Persekutuan Gereja-gereja Indonesia (PGI) mencatat 430 gereja dipaksa ditutup antara Januari 2005 dan Desember 2010. Sementara itu, Jemaat Ahmadiyah Indonesia, organisasi nasional bagi para Ahmadi, dalam laporan Atas Nama Agama, mencatat sedikitnya 33 masjid Ahmadiyah dirusak, disegel, diduduki, atau dipaksa ditutup oleh pihak berwenang setempat.
Menurut Setara Institute, sebuah organisasi yang mempromosikan pluralisme, demokrasi dan hak asasi manusia, terdapat 216 kasus serangan terhadap minoritas agama pada 2010, 244 kasus pada 2011, dan 264 kasus pada 2012. Wahid Institute, pemantau lain di Jakarta, mendokumentasikan 92 pelanggaran terhadap kebebasan agama dan 184 peristiwa intoleransi beragama pada 2011, naik dari 64 pelanggaran dan 134 peristiwa intoleransi pada 2010. Data ini dimuat dalam laporan Atas Nama Agama Human Rights Watch.
Di Propinsi Riau, gereja komunitas GPDI, GBKP dan GMI yang dibakar maupun Masjid Ahmadiyah Kota Pekanbaru yang disegel serta kegiatannya yang dilarang baru terjadi setelah instruksi Suryadharma Ali nomor 2 tahun 2011 tersebut dikeluarkan. #