Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Riau (UNRI) nonaktif—Syafri Harto—berjalan masuk ke Ruang Sidang Mudjono, Pengadilan Negeri Kota Pekanbaru. Rompi merah membungkus tubuh bagian atas dan borgol mengunci kedua tangannya. Langkah Syafri diikuti oleh kuasa hukumnya. Rombongan Jaksa Penuntut Umum atau JPU pun turut mengiringi masuk ke ruangan.Â
Hari itu sidang lanjutan perkara dugaan pelecehan seksual terhadap mahasiswi Hubungan Internasional UNRI, Jumat (4/3). Agendanya adalah pemeriksaan terhadap tiga saksi ahli. Ada ahli poligraf dan ahli pidana. Terakhir, hadir pula ahli jiwa. Ketiga berikan kesaksian secara daring.Â
Ahli Poligraf bernama Aji Fibrianto Arrosyid mendapat giliran pertama. Sebelum JPU memberikan pertanyaan kepada terdakwa Syafri Harto, alat pendeteksi kebohongan sudah terpasang lengkap di empat bagian tubuhnya.
Ia mendapatkan tiga pertanyaan. Ketiga pertanyaan itu berturut-turut meliputi Apakah terdakwa mencium korban?Apakah terdakwa ada mencium kening korban? dan Apakah terdakwa ada mencium kening korban di ruang kerjanya?
Syafril selaku JPU membenarkan bahwa alat tersebut tampak bekerja saat pertanyaan dilemparkan ke Syafri Harto. Aji pun ungkapkan hal yang sama. Ketika terdakwa menjawab tidak atas pertanyaan JPU, detak jantung yang terdeteksi pada alat tampak meningkat.
Usai pemeriksaan oleh ahli poligraf, dilanjutkan dengan pemeriksaan ahli pidana. Ia adalah Ismansyah, seorang dosen Fakultas Hukum Universitas Andalas. Menurutnya, terjadi perkembangan pada pergerakan hukum pidana. Ia menyebutnya sebagai asas unus testis nullus testis. Artinya, satu orang keterangan saksi, bukanlah saksi.
Syafril berikan perumpaaan untuk menerangkan kondisi tersebut. Misalnya, ketika ada perbuatan cabul yang diterima oleh seseorang, akan tetapi tidak ada yang melihatnya. Kemudian, penyintas menceritakan hal tersebut kepada orang lain yang ia percayakan. Maka, orang tersebut akan didengar pendapatnya sebagai saksi baru.
“Hal ini dipandang sebagai terobosan baru oleh Mahkamah Konstitusi,†jelas Syafril pada sidang yang digelar di Pengadilan Negeri Pekanbaru.Â
Saksi terakhir yang dipanggil ialah Ahli Jiwa Andreas Xaverio. Ia bekerja sebagai dokter kejiwaan di Rumah Sakit Jiwa Tampan. Menurutnya, tidak ditemukan adanya halusinasi pada diri korban dan terdakwa. Artinya, baik penyintas maupun terdakwa, dalam keadaan sadar terjadi hal tersebut.
“Jadi, kalau sadar, masih bisa diminta pertanggungjawaban,†simpul Syafril.
Lebih lanjut, Syafril sampaikan bahwa sidang akan dilanjutkan pada Selasa esok hari (08/03). Agendanya ialah pemanggilan saksi yang akan meringankan terdakwa. Kuasa hukum terdakwa yakni Dodi Fernando bocorkan langkah yang akan diambil pada sidang selanjutnya.Â
Pihaknya akan menghadirkan ahli bahasa dan ahli pidana sebagai ahli pembanding. Ia berpendapat bahwa tindakan itu merupakan kesempatan bagi terdakwa, sebab akan mengajukan bukti saksi yang menguntungkan.Â
Bahkan, Dodi mengaku sangat optimis Syafri Harto bisa bebas dari tuntutan. Menurutnya, dari beberapa hasil persidangan, tidak ada bukti yang kuat bahwa kliennya melakukan pelecehan. Â
“Kami sangat berkeyakinan bisa membuat Pak Syafri Harto bebas. Karena, tidak ada bukti sampai hari ini untuk mengatakan ia melakukan perbuatan itu,“ tutup Dodi saat diwawancarai usai persidangan.
Penulis: Sakinah Aidah, Marcel Angelina
Editor: Andi Yulia Rahma