Beberapa mahasiswa Universitas Riau (UNRI) berpakaian hitam berdiri di tepi jalan sekitar Jembatan Kupu-kupu UNRI. Mereka melakukan Aksi Kamisan UNRI ke-2 bertajuk Iuran Ghaib Institusi 10-115 Juta pada Kamis (7/3).
Mahasiswa Fakultas Pertanian (Faperta UNRI) Khariq Anhar jelaskan Aksi Kamisan ini mulanya digagas oleh orang tua korban tragedi 1998 yang hingga kini jejak korban belum ditemukan. Aksi ini juga sebagai pengingat agar negara bertanggung jawab. Namun, Aksi Kamisan ini berkembang tak hanya mengenai tragedi 1998 tetapi juga untuk berbagai tindakan perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM). Misalnya dalam bidang pendidikan, seperti yang dilakukan kali ini, ucapnya.
Aksi ini menuntut 3 hal. Pertama mencabut surat edaran Nomor 496/UN19/KPT/2024 mengenai Uang Pengembangan Institusi (IPI). Kemudian pengkajian kembali Perguruan Tinggi Negeri-Berbadan Hukum (PTN-BH). Terakhir melakukan perbaikan pada fasilitas kampus dengan menyediakan minimal kipas angin di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP).
IPI ialah biaya yang dikenakan kepada mahasiswa sebagai kontribusi untuk pengembangan institusi. Penetapan IPI dilandaskan pada surat kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia (Kemendikbud RI) Nomor 54 tahun 2024. IPI akan dikenakan bagi mahasiswa asing, kelas internasional, jalur kerjasama, dan mahasiswa seleksi mandiri berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) nomor 23 tahun 2020. Berdasarkan surat keputusan rektor, IPI sudah ditetapkan untuk 21 program studi sarjana dari sembilan fakultas di UNRI dan akan terus bertambah dengan kisaran biaya 10-115 juta.
Aksi ini dimulai dengan meletakkan almamater di tepi jalan dengan penambahan label harga sebagai penggambaran penjualan kursi oleh pihak UNRI. Juga membentangkan spanduk dan tulisan-tulisan propoganda mengenai penolakan IPI.
Dilanjutkan dengan menyebarkan brosur dan orasi di sekitar danau UNRI. Mereka menyuarakan kerugian yang akan dialami mahasiswa serta menyuarakan keprihatinan karena tidak sesuainya tujuan pendidikan di lingkungan UNRI.
Khariq dalam orasinya sampaikan perubahan dari Perguruan Tinggi Negeri – Badan Layanan Umum (PTN-BLU) menjadi PTN-BH yang keuangannya mandiri ini menjadi alasan ditetapkannya IPI. Disinyalir pula akan menyebabkan Uang Kuliah Tunggal (UKT) dinaikkan. Pun ini sudah terjadi di beberapa kampus di Indonesia yang statusnya sudah PTN-BH.
“Contoh aja UI dan UGM itu walaupun di Jawa udah yang paling tinggi, itu mereka [besar] UKT sekitar 11-25 juta yang normal [reguler],” pungkasnya.
Kebanyakan mahasiswa yang dimintai pendapat juga mengutarakan ketidaksetujuannya akan adanya IPI. Salah satunya Muhammad Marzuq Sa’ad yang merupakan Mahasiswa Manajemen UNRI. Menurutnya jumlah yang ditetapkan tidak masuk akal atau terlalu mahal bagi mahasiswa.
Yang jadi sorotan dari kebijakan ini adalah tidak terbukanya institusi dalam penetapan keputusan. Hal ini diungkapkan oleh MFS, seorang Mahasiswa Fisika yang turun langsung dalam aksi kamisan ini.
“Pihak kampus mestinya mencari tahu pandangan dari mahasiswa apakah mereka setuju atau tidak, dijelaskan juga transparansi dari dana ini mau dikemanakan. Memang dari mereka bilang untuk fasilitas, tetapi fasilitas apa dulu, karena mengingat di UNRI sendiri sedang berjalan pembangunan 10 gedung, dan saya rasa bukanlah sebuah urgency [untuk adanya IPI],” keluhnya.
Aksi lanjutan dari penolakan ini ialah akan dibuatnya petisi terbuka. Ketika ditanyakan, beberapa mahasiswa mengungkapkan ketersediannya.
Salah satunya Desi Ayu Fitria Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) sampaikan ketersediannya, “Insya Allah kalau ada info (petisi)nya, saya mau aja,” tutupnya.
Penulis: Ahsan Dzul Fahmi
Editor: Arthania Sinurat