Belajar Literary Journalism oleh Alfian Hamzah di Kenal Sastrawi VI

“Bagaimana media mampu bersaing dengan kemunculan kanal-kanal yang memantik insting manusia?” tanya Alfian Hamzah kepada para peserta Pelatihan Jurnalistik Tingkat Lanjut Nasional (PJTLN), pada Selasa (19/7). 

Penulis Kejarlah Daku Kau Kusekolahkan ini membuka kegiatan dengan materi Literary Journalism. Sebelum masuk ke materi, Alfian jelaskan munculnya jurnalisme ini dilatarbelakangi oleh keinginan pembaca akan bacaan yang mendalam di Amerika Serikat. 

Pada tahun 1960-an, bermunculan wartawan yang berkreasi dengan mengadopsi gaya penulisan novel. Salah satunya adalah Tom Wolfe, yang menyajikan berita seakan-akan pembaca berada di lokasi.

“Jadi, semuanya itu fakta. Tapi penyajiannya seperti kita membaca novel,” jelasnya.

Tulisan yang panjang menjadi ciri utama Literary Journalism. Sebab, isi tulisannya yang bersifat mendalam. Jurnalisme ini menarik karena mampu mengajak para pembaca untuk berpikir panjang. 

Ciri unik yang dimiliki Literary Journalism juga terdapat pada wartawannya. Karena saat turun ke lapangan, para wartawan dekat dengan subjek liputannya. Disebut sebagai jurnalisme sastrawi sebab menawarkan kesempatan kepada media untuk menghadirkan sesuatu yang tidak pasaran.

Alfian turut sampaikan bahwa tulisan memiliki dua unsur penting. Yaitu pesan dalam tulisan dan bagaimana cara menyampaikannya. Pada Literary Journalism, pesan disampaikan dengan teknik bercerita. Layaknya sebuah film atau novel, penulis dapat menceritakan fakta semenarik mungkin. Unsur suasana, adegan, serta menceritakan sisi kemanusiaan menjadi ciri khas lain jurnalisme ini.

Di balik sifat manusia yang senang bercerita, jurnalisme di era saat ini mengalami tantangan yang besar. Menurut Alfian, kehadiran media sosial menekan media massa. Kemunculan kanal ini memantik insting manusia yang pada dasarnya senang bercerita. 

Jurnalisme sastrawi dapat digunakan sebagai salah satu cara bagi media untuk mempertahankan eksistensi serta menunjukkan relevansinya di era sekarang.

Usai jeda makan siang, Alfian lanjutkan materi Deskripsi. Deskripsi tidak hanya mengenai suatu objek benda. Tetapi, bagaimana penulis dapat melukiskan suatu adegan di kepala pembaca. Dalam penulisannya, wartawan harus dapat menggunakan sinematografer. 

“Dengan takaran yang pas dan tepat, tulisannya dapat menteleportasi pembaca ke mana saja,” ujarnya.

Lanjutnya, deskripsi yang dibuat bukanlah deskripsi kering. Bukan pula hanya mengenai sesuatu, tetapi bagaimana menuliskan pesan di kepala pembaca. Sehingga pembaca seperti merasakan reportase secara langsung. Kemudian Alfian menunjukan bagaimana sinematografi pada film yang berpindah-pindah, ia jabarkan dalam deskripsi pun harus begitu.

Saat menuliskan deskripsi diperlukan dialog. Pada penulisan deskripsi tempat, hindari tulisan yang bertele-tele. Deskripsinya ditulis dengan detail, tetapi tidak semua. Rincian yang digunakan hanya seperlunya, sesuai dengan pesan yang ingin disampaikan.

Mengacu resensi pada buku Richard Lioyd Parry yang berjudul Zaman Edan: Indonesia di Ambang Kekacauan, Buku reportase dari junalis The Times ini mengulik pembataian etnis dan kanibalisme di Kalimantan pada 1997 dan 1999. Serta demonstrasi dan kerusuhan di ibukota pada 1998, juga pelanggaran HAM oleh militer Indonesia di Timor Timur yang berakhir dengan merdekanya negara tersebut pada 1999.

Alfian juga menyarankan untuk menggunakan buku dan pena saat wawancara. Dengan ini, wartawan dapat mengatur wawancara. Seperti meminta narasumber untuk mengulangi jawabaan jika terlalu cepat dalam menjawab pertanyaan.

“Seni dalam menuliskan deksripsi ialah memilih detail yang tepat,” tutup Alfian. 

Detail yang berlebihan dan tanpa pesan akan membuat pembaca kebingunan serta tulisan menjadi rancu. Bagian tersulit dalam menulis ialah keberanian. Pesan pada deksripsi itu dituliskan dengan sederhana tapi berkesan.

Keesokan harinya, Alfian Hamzah sambung pelatihan dengan materi Teori dan Struktur Narasi. Peserta tanyakan apakah tulisan seperti Straight News bisa dibuat menjadi tulisan jurnalisme sastrawi. 

“Tidak semua berita bisa dibuat tulisan panjang,” jawabnya.

Kata Alfian, penulisan narasi dapat menggunakan alur kronologis, alur flashback, ataupun bolak balik. Alur kronologis merupakan penyajian tulisan sesuai dengan urutan waktu berjalannya peristiwa. Alur flashback atau alur mundur biasanya mendahulukan akhir cerita sebagai pembuka tulisan.

Alur bolak-balik menyajikan cerita dengan urutan peristiwa maju mundur. Contohnya seperti penulisan yang diawali klimaks. Kemudian menceritakan masa lampau dan kembali ke masa sekarang. 

Dalam menjelaskan struktur narasi, Alfian ajak peserta menelaah tulisan Kejarlah Daku Kau Ku Sekolahkan karyanya. Selain itu, tulisan oleh Chik Rini juga mereka kaji. Chik Rini adalah seorang aktivis lingkungan yang dulunya pernah menjadi wartawan di Majalah Pantau. 

Pada beberapa tulisan Chik Rini, mereka bahas bentuk penulisan narasi yang disajikan. Chik Rini gunakan kalimat-kalimat sederhana yang mudah dipahami pada tulisannya. Alfian katakan hal itulah yang patut ditiru dari tulisan Chik Rini.

“Gunakan kalimat sederhana namun informatif,” kata Alfian pada peserta PJTLN.

Penulis: Najha Nabilla, Marchel Angelina, Fani Oktafiona

Editor: Denisa Nur Aulia