Bertepatan dengan hari kemerdekaan Indonesia ke-78, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia atau Walhi Riau taja diskusi. Bertajuk Gerakan Perempuan di Indonesia: Sejarah dan Kondisinya Hari Ini. Berlokasi di Rumah Gerakan Rakyat Walhi Riau, pada Kamis (17/8).

Dua pembicara dihadirkan. Pertama Umi Ma’rufah dari Walhi Riau sendiri. Ia ceritakan lahirnya gerakan perempuan di Indonesia yang mulai muncul di awal abad 20.

Berawal dari adanya ketidakadilan yang menimpa perempuan di Indonesia, lahirkan berbagai organisasi berlatar perempuan. Ialah Putri Mahardika (1912), Keutamaan Istri (1913), Putri Budi Sedjati (1915), dan organisasi perempuan lainnya.

Setelah munculnya beberapa organisasi perempuan, dilakukan pula Kongres Perempuan Indonesia I pada 22-25 Desember 1928. Yang jadi latar belakang ditetapkanya Hari Ibu tiap 22 Desember. Hingga pasca kemerdekaan dan sampai saat ini, gerakan perempuan pun banyak menyuarakan isu-isu. Semacam poligami, hak pilih, hak bekerja dan hak atas pendidikan.

Pada masa orde baru tahun 1965 menjadi titik balik gerakan perempuan Indonesia. Umi katakan,organisasi perempuan menjadi pelengkap rezim militer yang patriarkis. Juga menghilangkan stigma kedudukan perempuan lebih rendah terhadap laki-laki.

Berkembangnya gerakan perempuan ini pun tak terlepas dari ratifikasinya The Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women, atau CEDAW pada 1984. Mendorong terbentuknya gerakan lain seperti Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) dan Komisi Nasioal (Komnas) Anti Kekerasan terhadap Perempuan.

“Mulai ada keterbukaan untuk gerakan perempuan Indonesia yang aktif menyuarakan isu perempuan setelah diratifikasinya CEDAW yang dapat membantu dalam mewujudkan tujuan dari gerakan perempuan Indonesia,” tambahnya.

Lalu muncul pula berbagai isu yang dihadapi para gerakan perempuan setelah reformasi. Ialah banyaknya kasus kekerasan dan pelanggaran hak yang timpa perempuan. KPI, KUPI, dan Rahima pun berperan aktif membela hak perempuan kala itu.

Pembicara selanjutnya ialah Puspa Dewy dari Walhi Nasional. Ia kupas perjuangan gerakan perempuan di Indonesia. Mulai dari  kesehatan reproduksi, pelayanan publik, juga perempuan dan hukum. Isu keagamaan dan pendidikan para perempuan pun tak luput dari diskusi.

Isu-isu tersebut pun munculkan Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) tentang tindak pidana kekerasan seksual.

“Adanya UU TPKS menjadi suatu keberhasilan gerakan perempuan,” terang Dewy.

Banyaknya kasus kekerasan seksual menampakkan tantangan perempuan dalam memperjuangkan keadilan sangat  tinggi. Dewy ungkap ada dua tantangan gerakan perempuan saat ini.

Pertama, tantangan eksternal berupa kebijakan yang tidak berpihak pada perempuan. Mulai dari fundamentalisme agama yang hambat perjuangan perempuan, sampai negara yang belum tuntas menyelesaikan masalah.

“Pemerintah hanya melimpahkan tugas-tugas rumah tangga kepada perempuan saja,” ungkap Dewy.

Tantangan kedua ialah tantangan internal. Yakni tantangan menyatukan isu perempuan dengan gerakan sosial lainnya.

Dewy jelaskan lima hal yang perlu dilakukan untuk membela hak perempuan. Pertama perlunya memperkaya narasi-narasi keadilan bagi perempuan di berbagai konteks. Lalu, memperkaya analisis penindasan dan ketidakadilan pada perempuan.

Kemudian, membuka ruang-ruang bagi perempuan untuk bersuara dan mengadvokasi hak-haknya. Tak lupa dengan menyebarluaskan narasi-narasi situasi dan pengalaman perempuan yang mengalami ketidakadilan dan penindasan. Terakhir, berupa membuka ruang-ruang yang menghubungkan gerakan perempuan dengan gerakan lainnya.

“Dalam melihat situasi negara saat ini, dengan sistem hukum yang belum berpihak maka kita sebagai masyarakat perlu melihat dan memperjuangkan secara bersama-sama dan perlunya memainkan irama dalam memperjuangan perubahan sosial yang lebih adil,” tutupnya.

 Penulis: Rusmawati Angelica

Editor: Arthania Sinurat