Menteri Keuangan Sri Mulyani melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan, menetapkan kebijakan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12 persen. Kebijakan ini akan berlaku mulai 1 Januari 2025.
“Perlu dipertimbangkan keadaan pertumbuhan ekonomi Indonesia yang masih sekitar 5 persen akan tergerus akibat adanya beban kepada barang dan jasa yang dibeli masyarakat,” ucap Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Riau Dahlan Tampubolon, Sabtu (28/12).
Secara sosial-ekonomi Dahlan menyatakan kenaikan PPN 12 persen memiliki beberapa risiko. Seperti meningkatkan jumlah penduduk miskin, memperlebar ketimpangan, menekan usaha kecil, dan potensi gejolak sosial.
Hal ini mempengaruhi daya beli masyarakat. Menambah tekanan bagi kelompok masyarakat berpenghasilan rendah, mengubah pola konsumsi kelompok masyarakat berpenghasilan menengah. Bahkan membebani pelaku usaha dalam menyesuaikan aktivitas bisnisnya.
Menurut Dahlan yang terdampak dari kenaikan PPN adalah masyarakat kelas menengah, pelaku usaha mikro, dan ultra mikro. Mereka akan kesulitan menyesuaikan harga saat persaingan semakin ketat dan konsumen cenderung mengurangi konsumsi.
“Mahasiswa dan pelajar akan menghadapi kenaikan biaya pendidikan dan kebutuhan sehari-hari, terutama anak kos yang tinggal di kota dan jauh dari orang tua. Biaya transportasi dan konsumsi akan lebih tinggi,” ujar Dahlan.
Kenaikan pajak ini berguna untuk penguatan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Kata Dahlan penguatan ini untuk pembiayaan pembangunan, pengurangan ketergantungan utang luar negeri, serta penguatan kapasitas fiskal guna tantangan ekonomi global.
Dampak baiknya, PPN dapat meningkatkan pendapatan pajak APBN. Juga penguatan basis perpajakan nasional, peningkatan kapasitas fiskal pemerintah, hingga fleksibilitas pengalokasian anggaran untuk pendidikan dan kesehatan. Juga kemampuan lebih besar dalam pembiayaan proyek dan pengurangan ketergantungan dengan utang.
Masyarakat umum pun mendapatkan perbaikan infrastruktur publik, fasilitas pendidikan dan kesehatan, serta penguatan program perlindungan sosial.
Masyarakat Belum Siap untuk PPN 12 Persen
Dahlan berpendapat sekarang bukan waktu yang tepat untuk menaikkan PPN. Mulai dari kenaikan harga barang dan jasa, penurunan daya beli dan tekanan pada pengeluaran rutin rumah tangga.
“Banyak pihak menentang kenaikan ini karena membebani ekonomi masyarakat,” tegasnya.
Waktu yang tepat untuk menaikkan PPN ialah mempertimbangkan beberapa indikator ekonomi. Pertimbangan meliputi pertumbuhan ekonomi yang harus stabil di atas 5 persen (dalam fase ekspansi yang stabil), inflasi terkendali di bawah 4 persen, nilai tukar rupiah yang relatif stabil, dan tingkat pengangguran terbuka yang menurun.
Kata Dahlan pemerintah harus mengintegrasikan sistem administrasi perpajakan. Seperti sosialisasi yang memadai ke seluruh lapisan masyarakat, sistem digitalisasi yang matang, hingga pendampingan pelaku usaha.
PPN berdampak pada barang dan jasa yang masyarakat konsumsi, maka sektor yang paling terdampak adalah ritel dan konsumsi. Terlihat dari pusat perbelanjaan yang menghadapi penurunan volume penjualan, serta pasar tradisional mengalami tekanan pada perputaran barang. Bisnis makanan dan minuman mengalami penyesuaian harga yang signifikan, pun e-commerce perlu menyesuaikan strategi penetapan harga dan promosi.
“Sebenarnya saya lebih setuju kenaikan PPN hanya karena mereka yang berpendapatan tinggi yang terkena, sedangkan masyarakat berpendapatan rendah memperoleh pelayanan dan subsidi dari pengenaan pajak tersebut. Sedangkan pada PPN, barang dan jasa yang dikenakan pajak tidak mempertimbangkan siapa yang mengonsumsinya,” ujar Dahlan.
Dahlan berharap implementasi pengenaan PPN 12 persen perlu memperluas kelompok barang dan jasa yang tidak dikenai PPN dan pelaksanaannya harus terencana dan bertahap.
“Pemerintah harus melakukan sosialisasi yang menyeluruh ke semua lapisan masyarakat, dengan transisi yang smooth dengan panduan teknis yang jelas, dengan monitoring atas dampak secara berkala dan sistematis,” ucapnya.
Dahlan melanjutkan harus ada evaluasi implementasi untuk perbaikan berkelanjutan. Dia juga menyarankan agar pemerintah menguatkan sistem pendukung. Sistem ini dimulai dari digitalisasi sistem administrasi pajak yang handal, penyederhanaan prosedur pelaporan dan pembayaran, serta sistem pengawasan yang efektif dan transparan.
Masyarakat yang tergolong kelompok rentan dan penerima program bantuan sosial harus tepat sasaran. “Mereka harus mendapatkan subsidi kebutuhan pokok yang terjangkau, pendampingan usaha mikro kecil serta jaring pengaman sosial yang komprehensif,” tutupnya.
Penulis: Farziq Surya
Editor: Fitriana Anggraini