Koalisi Kebebasan Berserikat atau KKB menyelenggarakan pelatihan bertajuk Mitigasi, Pemantauan, dan Advokasi Kebebasan Berekspresi, Berkumpul, dan Berorganisasi. Acara ini berlangsung di Hotel Grand Zuri Jalan Teuku Umar pada Selasa hingga Kamis, 16 – 18 September 2025.
Fasilitator dari Yayasan Penguatan Partisipasi, Inisiatif, dan Kemitraan Masyarakat Indonesia atau YAPPIKA, Riza Imaduddin Abdali menjelaskan materi Pengantar Hak Asasi Manusia (HAM). Riza mengatakan ada kontrak sosial antara pemerintah dan warga negara dalam HAM. Perlu alat represi untuk menjaga stabilitas dalam politik. Seperti Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dan UU Cipta Kerja. “Namun hal ini sering disalahgunakan oleh pemerintah untuk meminggirkan HAM dan kelompok minoritas,” ucapnya.
Ia singgung kasus Hizbut Tahrir Indonesia. Organisasi yang dibubarkan pemerintah karena tak punya izin resmi. Masyarakat sipil harus menilik tujuan pemerintah sebenarnya. “Apakah itu memang semata untuk meminggirkan kelompok minoritas atau memang hal tersebut tidak sesuai dengan ketentuan yang ada,” ujar Riza.
Selanjutnya Fasilitator Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Indonesia, Violla Reininda membahas Dinamika Kebebasan Berekspresi, Berkumpul, dan Berorganisasi. Violla menyatakan hak setiap manusia untuk berekspresi telah diatur dalam UU Dasar Negara Republik Indonesia 1945 Pasal 28A dan Pasal 28J. “Ketika kebebasan berekspresi, berkumpul dan berorganisasi dianggap ancaman oleh negara, maka ini bentuk penyempitan ruang gerak masyarakat sipil,” ujar Violla.
Kebebasan berekspresi menjadi pondasi utama untuk masyarakat yang bebas dan demokratis. Termasuk kebebasan dalam bergaya, memilih kepercayaan, serta kebebasan berkumpul dan berorganisasi.
Violla juga bahas Mitigasi Risiko dan Perlindungan Masyarakat Sipil. Mitigasi menjadi langkah penting untuk mengurangi risiko terjadinya pelanggaran berat saat menjalankan hak sipil dan politik. “Ketika terjadi pelanggaran maka sudah tersedia mekanisme yang tepat untuk menanganinya,” ucapnya.
Kata Violla ancaman itu dapat berasal dari State Actor dan Non-State Actor. State Actor adalah lembaga atau individu yang mewakili pemerintah dan memiliki kewenangan yang telah ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan. Sedangkan Non-State Actor adalah individu atau kelompok, baik berbadan hukum maupun tidak berbadan hukum dan tidak berhubungan secara langsung dengan pemerintahan.
Ia menjelaskan cara menyusun strategi mitigasi risiko dan perlindungan masyarakat. Pertama adalah mengidentifikasi dan memetakan potensi risiko dan aktor terkait. Kemudian melakukan penilaian terhadap potensi risiko dan tingkat keparahannya. Lalu memetakan upaya proaktif untuk menangkal risiko. Terakhir, melakukan pemantauan dan evaluasi mitigasi secara reguler untuk melihat efektivitas upaya.
Kemudian Fasilitator YAPPIKA, Ajeng Larasati membahas Analisis Interseksionalitas: Memahami Komunitas dan Marjinalisasi yang Dihadapi Korban dalam Pembatasan Kebebasan Sipil. Interseksionalitas berarti setiap individu tidak memiliki identitas yang tunggal.
Identitas dapat berupa gender, perbedaan fisik, agama, cara hidup, ras, etnis, usia bahkan ekonomi. Hal ini membentuk kerentanan berlapis seseorang untuk mengalami marginalisasi, eksklusi, dan diskriminasi. “Bisa jadi dari segala macam identitas yang melekat pada kita adalah bagian dari kelompok minoritas,” jelas Ajeng.
Tak sampai di sana, Ajeng juga menjelaskan soal Pemantauan Implementasi Hak Kebebasan Berekspresi, Berkumpul, dan Berorganisasi. Pemantauan kebebasan sipil itu penting untuk menjaga resiliensi ruang sipil. Memastikan hak-hak terlindungi, dan mengidentifikasi pola pelanggaran. Pemantauan ini dapat menjadi advokasi berbasis bukti dan memperkuat kapasitas masyarakat sipil. “Kita mengutamakan pengalaman korban atau masyarakat yang terdampak pelanggaran kebebasan sipil,” pungkas Ajeng.
Setelahnya hadir pula Fasilitator LBH Pekanbaru, Wilton Amos Panggabean mengenai Advokasi Kebebasan Berekspresi, Berkumpul, dan Berorganiasi. Ia menjelaskan advokasi harus ada tindakan, sistematis, dan terjadwal.
Prinsip dasar advokasi yaitu tanpa kekerasan, memusatkan perhatian pada manusia, non-diskriminatif, transparan dan dapat dipertanggungjawabkan. “Output [hasil] yang diharapkan dari advokasi yaitu dapat mempengaruhi kebijakan,” ujar Wilton.
Lalu ia juga menjelaskan teknik advokasi. Pertama mengumpulkan data dengan memasukkan unsur 5W + 1H (what, why, who, when, where, how). Kemudian merencanakan strategi advokasi. Membentuk lingkar inti serta penguatan dan pemberdayaan masyarakat. Menggalang dukungan publik dengan cara kampanye, konferensi pers, petisi, dan sebagainya.
Selanjutnya dapat dengan memperluas jaringan, mempengaruhi kebijakan dengan kertas posisi, melancarkan tekanan dengan aksi, melakukan upaya hukum serta menggalang pembiayaan. “Setiap kasus berbeda-beda, jadi urutan advokasinya pun tidak akan sama,” jelas Wilton.
Beralih ke Fasilitator dari Konsultan Kampanye Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Dania Joedo menjabarkan kampanye sebagai serangkaian aktivitas memberi nilai kepada khalayak. Bentuknya bisa dalam jaringan maupun luar jaringan.
Selama sesi, Konsultan KontraS itu menekankan pentingnya membuat rencana kampanye yang sistematis guna mobilisasi massa. Kampanye dapat memberikan kesadaran bagi publik dan meningkatkan partisipasi mereka dalam gerakan. “Penting untuk menempatkan masyarakat sebagai acuan dari keberhasilan kampanye,” ucapnya.
Fasilitator, Riza Imaduddin Abdali berharap peserta kelas yang diisi berbagai orang muda ini dapat membuat aksi kolektif di Pekanbaru. “Semoga menjadi penghubung seluruh gerakan antara satu kolektiva dengan kolektiva lain, supaya gerakan masyarakat sipilnya menguat dan lebih substantif,” tutupnya.
Penulis: Amelia Rahmadani Handayanis dan M. Rizki Fadilah
Penyunting: Fitriana Anggraini