Sejak awal Oktober, kabut asap tipis menyelimuti Riau. Mengganggu jarak pandang serta kualitas udara jadi buruk. Kabut asap diduga kiriman dari provinsi tetangga, diperparah pula dengan kebakaran hutan.
Humas Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Riau, Dwi Yana ungkapkan bahwa mungkin asap dari beberapa provinsi tetangga. Sebab arah angin masih dari arah selatan.
“Karena nengok arah mata angin, mungkin [asapnya] bisa dari Sumatra bagian Selatan,” kata Dwi.
Sejak itu, kualitas udara mulai tak sehat. Bahkan Pemerintah Kota Pekanbaru sempat mengeluarkan surat edaran memakai masker jika keluar rumah.
Kebakaran Hutan dan Lahan (Karhutla) di beberapa kabupaten di Riau turut sumbang kabut asap. Merujuk data dari Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Pekanbaru, titik panas sebagai indikator kebakaran lahan di Riau ada 86. Titik terbanyak di Kabupaten Indragiri Hulu sebanyak 65 titik panas. Lalu, di Kabupaten Indragiri Hilir 12 titik panas dan Kabupaten Pelalawan 9 titik panas.
Titik panas atau hotspot belum mengartikan terjadinya kebakaran. Indikasi titik panas akan diperiksa oleh Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD), satgas Karhutla. Juga oleh Masyarakat Peduli Api dan Kesatuan Pengolahan Hutan. Jika ada kebakaran, tim akan langsung turun ke lapangan.
“Mereka pasti akan memantau, di mana saja hotspot, mereka akan crosscheck,” tambah Dwi
Kabut asap bukan hal baru bagi Riau, terparah terjadi pada tahun 2014. Akibatnya sekolah diliburkan, bandara ditutup, dan puluhan ribu warga mengalami gangguan pernapasan. Walaupun begitu, masalah kabut asap di Riau tak kunjung tuntas hingga saat ini.
Memang, fenomena El Nino turut berkontribusi pada Karhutla kali ini. Namun Karhutla terparah hanya terjadi di beberapa provinsi saja, salah satunya Riau.
Dwi jelaskan bahwa hal itu dipicu karena hampir 50 persen wilayah Riau rawan terhadap Karhutla. Lantaran sebagian besar wilayahnya adalah gambut. Bahkan tahun 2020, BPBD Riau sebutkan 99 kecamatan di Riau rawan Karhutla.
Walaupun demikian, menurutnya Karhutla Riau tidak ada yang terjadi karena bencana alam. Melainkan, akibat ulah manusia.
“Diatas 90 persen karena faktor manusia, baik secara sengaja atau tidak sengaja,” ungkapnya.
Sejalan dengan ungkapan tersebut, Aldo, Staf Kampanye dan Advokasi Jikalahari sebut bahwa kondisi gambut sekarang sudah menurun dan kering. Akibatnya, kebakaran mudah terjadi dan lama padamnya. Sebelumnya saat gambut masih basah, kebakaran yang terjadi dapat padam dengan sendirinya.
“Budaya membakar itu udah dari dulu, tapi kenapa sekarang membakar itu menjadi asap,” ucapnya.
Kabut asap punya dampak negatif seperti terganggunya aktivitas ekonomi hingga kesehatan masyarakat.
“Kerugiannya jelas dari ekonomi, lingkungan, termasuk kerugian masyarakat dari sisi kesehatan,” ujar Dwi
Sanksi tegas diterapkan bagi pelaku Karhutla, secara pidana maupun perdata. Penegakan hukum pidana dilakukan oleh kepolisian, sementara DLHK bertanggung jawab dalam pengusutan perdata.
Dalam proses perdata, DLHK melakukan tuntutan ganti rugi atas kerusakan lingkungan hidup dan pemulihan lahan. Bila gugatan DLHK menang, pelaku pembakar hutan wajib memulihkan lingkungan hidup tersebut. Dibawah pengawasan dari DLHK.
Perusahaan yang dituntut DLHK secara perdata, misalnya PT. Jatim Jaya Perkasa di Rokan Hilir. Dengan nilai total putusan Rp 491 miliar. Lalu PT National Sago Prima di Kepulauan Meranti dengan nilai total tuntutan Rp 1 Triliun.
Upaya dan Tantangan Pencegahan Karhutla
Non-Governmental Organization, Jikalahari turut dalam pencegahan Karhutla. Melakukan advokasi dan kampanye. Mulai dari memberikan pemahaman kepada masyarakat mengenai pentingnya hutan. Hingga aktivitas pembakaran hutan tidak dilakukan masyarakat.
“Kita berikan advokasi bagaimana pentingnya hutan ini untuk dijaga, hutan untuk masa depan,” terang Aldo.
Aldo tuturkan, Jikalahari berusaha terlibat dalam diskusi-diskusi pembuatan Peraturan Daerah (Perda) terkait Karhutla.
“Disahkannya itu jadinya [Perda] penanggulangan Karhutla, tapi isinya tidak jauh berbeda dengan rekomendasi kita,” ucapnya.
Walaupun sudah ada Perda, Aldo keluhkan bahwa Karhutla masih terjadi sebab realisasinya yang tak maksimal. Ia nilai bahwa pemerintah sering bertindak setelah terjadinya kebakaran, bukan sebelumnya.
“Yang kita inginkan sebenarnya, pemerintah ini berbuat sebelum terjadi kabakaran,” tegasnya.
Berbeda dengan peranan DLHK yang berupaya dalam pemasangan papan-papan pengumuman, patroli serta sosialisasi. Dwi Yana sebut bahwa sosialisasi dilakukan kepada masyarakat juga pelaku usaha. Fokus sosialisasi biasanya mengingatkan masyarakat perihal dilarang membakar lahan.
Tambahnya, sosialisasi juga beri tahu masyarakat untuk turut mempertahankan gambut supaya tetap basah. Dimana, maksimal tinggi muka air tanah 40 cm. Maka akan bantu mengurangi potensi kebakaran meluas. Sebaliknya, jika air tanah kering potensi meluasnya lebih besar.
Namun kerap kali sosialisasi sia-sia. Mengingat masyarakat yang kerap nomanden, berpindah tempat. Belum tentu masyarakat yang saat ini mendapat sosialisasi akan tetap di daerah tersebut, tentu ada orang baru.
“Kita sosialisasi udah bertahun-tahun. Tapi yang menguasai lahan atau perusahaan itu kan belum tentu orang yang dulu pernah kita sosialisasi. Pasti berubah ganti orang, datang membakar dan merusak, kan gitu,” ucap Dwi miris.
Harap Dwi, upaya pencegahan Karhutla harus jadi prioritas. Baik pemerintah, akademisi, dan masyarakat. Demi Riau yang bebas asap.
“Harapan kita di Riau ndak ada lagi Karhutla,” tutupnya.
Penulis: Kristina Natalia
Editor: Najha Nabila