Kuliah Kerja Nyata atau Kukerta termasuk mata kuliah wajib dengan bobot empat SKS dan dibimbing oleh satu orang dosen yang biasa disebut Dosen Pembimbing Lapangan atau DPL. “Bedanya dengan mata kuliah biasa, Kukerta dilaksanakan langsung di lapangan,†kata Almasdi Syahza, ketua Lembaga Penelitian dan Pengembangan Masyarakat Universitas Riau.
Kegiatan ini rutin setiap tahun sebagai pelaksanaan Tri Dharma Perguruan Tinggi bidang pengabdian kepada masyarakat dikelola oleh LPPM.
Tahun 2019 dibuka beberapa pilihan untuk mengikuti Kukerta. Ada dua jenis yaitu internal dan eksternal. Internal di bawah LPPM seperti Kukerta Pendidikan Pemberdayaan Masyarakat (PPM) atau Reguler, Terintegrasi Pengabdian dan Tematik. Sedangkan eksternal merupakan kerjasama LPPM dengan pihak ketiga, diantaranya Revolusi Mental, Kemaritiman, Terintegrasi pengabdian, kebangsaan dan bersama.
“Kami tengah menunggu tawaran dan kepastian dari pihak eksternal. Termasuk diantaranya ENJ atau Kemaritiman yang paling sering ditanyakan mahasiswa,†kata Evi Nadhifah Prihatini, Kepala Bagian Tata Usaha LPPM.
Untuk kukerta Kebangsaan dan Bersama sedanng dibahas karena bersifat nasional.
“Tahun ini KKN Kebangsaan dilaksanakan di Ternate dan Bersama di Sumatera Utara, tepi Danau Toba,†kata Almasdi.
Bedanya ialah sumber dana untuk pelaksanaan Kukerta tersebut.
Minggu kedua Februari ini, LPPM melakukan survei pelaksanaan ke desa-desa. Teknisnya, pihak LPPM mendatangi kantor kecamatan. Kemudian camat yang akan merekomendasikan desa mana saja yang boleh mahasiswa melakukan pengabdian.
“Ini yang kemudian menjadi masalah karena terkadang Kades tidak berkoordinasi dengan Camat sehingga tidak tahu tentang desanya dipilih menjadi lokasi pengabdian,†tambah Almasdi.
Masalah itu menjadi salah satu yang dievalusi pada diskusi Kuliah Kerja Tak Tuntas “Kukertas†yang ditaja oleh Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Riau bersama LPPM, Satuan Pengawas Internal dan mahasiswa se-Universitas Riau Jumat (8/2) di Aula Rektorat.
Ada empat masalah yang disoroti oleh BEM mengenai pelaksanaan Kukerta tahun lalu. Pertama yaitu kuota mahasiswa per desa lantaran tidak ada kejelasan saat memilih desa.
LPPM tengah usahakan ada batasan untuk kuota laki-laki dan perempuan per desa. Temuan di lapangan tahun lalu ada desa seluruhnya perempuan untuk pengabdian atau bahkan hanya ada satu laki-laki.
Masalah kedua yaitu mengenai pelepasan mahasiswa Kukerta. Acara seremonial ini dihadiri lebih 6000 mahasiswa mengikuti pembekalan dan pelepasan Kukerta di Ballroom Hotel Labersa. Namun, kapasitas ruangan tidak memadai untuk menampung seluruh mahasiswa.
“Tahun lalu saat pembekalan saya tidak dapat masuk ke dalam karena tidak muat lagi,†kata Gusti Rahib, Menteri Hukum, Advokasi dan Kesejahteraan Mahasiswa.
Dari keluhan itu, LPPM merencanakan untuk pelepasan tahun ini tidak lagi ada pembekalan. Sebab, pembekalan dianggap tidak efektif.
“Kemungkinan tahun ini kita akan lakukan pelepasan saja di lapangan open space [Depan Faperta],†sambung Almasdi.
Ketiga, terlambatnya pembagian baju dan topi Kukerta. Tahun 2018 masalah muncul sebab terlambatnya lelang dan hanya ada dua perusahaan yang ikut dalam pelelangan. Sedangkan syaratnya untuk setiap proyek bernilai diatas Rp. 250 juta maka harus melalui pelelangan dan diikuti minimal 3 perusahaan.
Baca juga : Mengapa Baju dan Topi Kukerta Reguler UNRI Terlambat dibagikan ?
Kegagalan pelelangan ini menyebabkan baju baru tersedia pada minggu-minggu menjelang kepulangan pengabdian.
“Bahkan tahun lalu, ada yang baru mendapatkan baju setelah kembali ke Pekanbaru,†kata Randi Andiyana, Presiden Mahasiswa BEM UNRI.
Ade Firmansyah selaku Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) mengaku telah menyiapkan baju kukerta tahun 2019. Sementara itu, baju sedang dalam proses uji laboratorium.
“Tahun ini kami usahakan untuk mempercepat pelelangan mengingat kesalahan tahun lalu ialah keterlambatan pelelangan,†katanya.
Masalah keempat DPL dinilai kurang memperhatikan mahasiswa di desa pengabdian.
Selain Ade dan Almasdi, turut hadir pula Ikhsan ketua SPI. Sementara Warman Fatra ketua Unit Layanan Pengadaan berhalangan hadir sebab sedang berada diluar kota.
“Evaluasi-evaluasi ini akan kami jadikan permbenahan untuk Kukerta tahun 2019,†kata Almasdi. Selain itu, Almasdi juga mengaku bersyukur sebab dengan adanya diskusi yang diadakan BEM ia dan LPPM dapat memberikan informasi kepada mahasiswa secara langsung tentang isu-isu yang beredar terkait Kukerta.
Ini juga menjadi masukan bagi SPI untuk lebih meningkatkan pengawasan agar Kukerta tidak lagi dihinggapi masalah-masalah yang sama dengan tahun sebelumnya.
Diakhir diskusi, BEM bersama seluruh kelembagaan sepakat menuntut pihak yang hadir untuk menandatangani kesepakatan. Didalamnya ada delapan tuntutan :
Menuntut LPPM untuk memperbaiki sistem kuota dalam kelompok Kukerta yang Proporsional, menuntut ULP untuk menyelesaikan pengadaan baju dan atribut Kukerta selambat lambatnya 7 hari sebelum pelepasan mahasiswa Kukerta, menuntut LPPM untuk mengevaluasi desa yang direkomendasikan sebagai lokasi Kukerta.
Menuntut LPPM untuk selektif dalam menentukan DPL serta memberikan pembekalan secara intensif, menuntut LPPM untuk menyelenggarakan kegiatan pelepasan mahasiswa Kukerta yang efektif dan efisien, menuntut LPPM untuk mengeluarkan timeline Kukerta 2019 dalam waktu 3 hari kerja.
Menuntut PPK dan SPI untuk serius dan profesional dalam menjalankan tugas dan fungsinya dalam kukerta UNRI. Dan apabila tuntutan tidak terpenuhi maka pejabat terkait harus turun dari jabatannya.
Usai diskusi kembali muncul informasi yang tidak sesuai dengan hasil diskusi. Beredar pesan suara diantaranya terkait kelompok Kukerta.
“Kelompok Kukerta Tematik yang benar ialah 10 orang dari 5 Fakultas,†kata Evi Nadhifah Prihatini, Kepala Bagian Tata Usaha LPPM. Jumlah 12 orang yang beredar diperuntukkan kepada Kukerta Reguler.
Penulis : Reva Dina Asri
Editor : Eko Permadi