Kekerasan seksual menjadi satu di antara isu yang menyita perhatian publik belakangan ini. Pelakunya bisa siapa saja. Ditambah dengan beragam bentuk kekerasan pula. Lingkungan kampus justru termasuk sarang predator kekerasan seksual.
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) pun mengungkapkan fakta kelamnya. Menilik hasil survei Kemendikbud Ristek, kampus menempati urutan ketiga sebagai lokasi terjadinya tindak kekerasan seksual. Jumlahnya mencapai 15 persen. Menyusul jalanan dan transportasi umum dengan masing-masing 33 dan 19 persen.
Sebulan sudah sejak seorang mahasiswi Universitas Riau (UNRI) menguak kasus kekerasan seksual yang dilakukan oleh dosen pembimbingnya. Dialah Syafri Harto, Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik atau FISIP. Kini, statusnya masih tersangka. Sementara itu, ia masih menjabat sebagai dekan.
Bahana Mahasiswa (BM) merasa perlu menggali bagaimana warga kampus memandang kasus kekerasan seksual, terutama dari perempuan. BM mulai dengan minta pandangan seorang dosen perempuan perfakultas.
Pertama, ada Risdayati. Ia Dosen Sosiologi, FISIP. Menurutnya, konteks kekerasan seksual di kampus itu nyata adanya. Ia singgung frasa “dengan persetujuan korban” dalam Permendikbud-Ristek Nomor 30 Tahun 2021 Pasal 5. Menurutnya, isu kekerasan seksual bersifat subjektif. Ketika korban merasa terintimidasi, baik melalui perkataan atau perlakuan, itu adalah salah satu bentuk pelecehan seksual.
Lebih lanjut, tindak kekerasan seksual yang terjadi kerap berdasarkan posisi dominan dan sub-ordinan. Ia contohkan, misal hubungan pejabat dengan bawahan. Pejabat masuk dalam posisi dominan, sedangkan posisi sub-ordinan adalah bawahannya.
Hal serupa juga disampaikan Ari Sulistyo Rini, dosen Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Ia bahkan mengaku beberapa kali menerima aduan tindakan kekerasan seksual yang dilakukan oleh dosen laki-laki kepada mahasiswi.
Kata Rini, kemungkinan terjadinya tindakan asusila ini biasanya diawali dengan komunikasi antara korban dan pelaku. Dalam lingkungan kampus, kebanyakan korban memiliki kepentingan yang melibatkan pelaku. Misalnya saja urusan akademik. Perempuan, menurut Rini, harus bisa membatasi diri. Caranya dengan tidak berdua-duaan dengan lawan jenis.
”Saya mengamati kekerasan seksual di lingkungan kampus dapat terjadi apabila korban berada pada posisi yang lemah atau pelaku merasa berada pada posisi yang lebih tinggi. Sehingga, sewenang-wenangnya melakukan kekerasan seksual,” tulis dosen fisika ini dalam pesan WhatsApp pada 23 November.
Menyoal sanksi terhadap pelaku kekerasan seksual, Ari Sulistyo Rini tekankan harus ada sanksi keras. Terlebih bila pelaku memanfaatkan kelemahan perempuan. Ditambah lagi, bila menjebak mahasiswi ke dalam posisi sulit, sehingga tidak berdaya dilecehkan oleh laki-laki.
Pada beberapa kasus, Risda tambahkan, sebagian orang bahkan tidak percaya dengan pengakuan korban. Sering kali, kebanyakan orang berprasangka jika penampilan korban yang memicu terjadinya kekerasan tersebut. Padahal tak, ada korelasi antara pakaian atau tampilan fisik korban dengan tindakan kekerasan seksual.
“Sekalipun ia berpakaian terbuka, bukan berarti ia boleh dilecehkan,” ucap Risda dalam sambungan telepon pada 19 November lalu.
Sementara itu, Yustina dosen Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan menganggap etika berpakaian di lingkungan kampus harus diperhatikan. Terkhusus bagi perempuan. Ia bilang, pakaian juga dapat menstimulus adanya pelecehan seksual. Belum lagi lawan jenis—yang dalam hal ini laki-laki—sudah terkontaminasi oleh hal-hal sensual.
Ia menyangkan kegiatan kampus yang berlangsung hingga malam hari. Contohnya rapat di kampus. Kegiatan semacam ini bisa memicu terganggunya keselamatan dan kesehatan mahasiswa. Menurutnya, UNRI perlu terapkan jam aktivitas mahasiswa di kampus. Pun juga menggunakan perizinan yang jelas.
Namun Yustina tak bisa dipungkiri, kadang kala kegiatan yang padat memaksa untuk beraktivitas di kampus hingga larut malam. Pun jika itu terjadi, jangan berikan kesempatan niat jahat orang lain terlaksana.
Evelyn, salah satu dosen Fakultas Teknik berpendapat, perempuan harus bisa menjaga norma kesopanan yang berlaku. Antara lain dengan berlaku tegas dan tidak mengundang reaksi berlebihan dari kaum pria. Selain itu, menghindari pertemuan yang hanya melibatkan dua orang. Baik dengan dosen, teman sebaya, serta orang yang dipercaya sekalipun.
Shorea Khaswarini dari Fakultas Pertanian (FP) memandang bahwa kekerasan seksual identik dengan perempuan. Namun, tak menutup kemungkinan bahwa laki-laki juga bisa alami kasus traumatis ini.
Ia jelaskan, FP sudah terapkan etika interaksi antara mahasiswa dan dosen yang tak boleh berdua saja. Dosen harus sadar akan posisinya sebagai orangtua bagi mahasiswa. Sejatinya posisi dosen dan mahasiswa itu sama, tidak ada yang lebih membutuhkan. Hanya saja, dosen sebagai orangtua di kampus dan mahasiswa sebagai anak di kampus. Hendaklah keduanya saling membutuhkan.
“Anggaplah mahasiswa itu anak kita,” lanjut Shorea. Menarik kasus di FISIP, Shorea memuji korban yang berani mengungkapkan. Peristiwa itu jadi peringatan.
Pendapat juga muncul dari Dosen Fakultas Hukum. Dessy Artina menyebut, sudah seharusnya ada regulasi yang mengatur bagaimana seseorang harus bertindak dan berperilaku. Permendikbud-Ristek Nomor 30 Tahun 2021, dianggap sebagai jawaban atas kekhawatiran di tengah maraknya isu kekerasan seksual.
Tambah Dessy, Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual kini masih dalam pembahasan. Akibatnya, aturan tersebut belum bisa dijadikan landasan hukum. Bentuk perlindungan hukum di kampus idealnya melindungi hak korban. Seperti dengan adanya lembaga advokasi yang bisa mendampingi penyintas.
”Hal yang mungkin biasa saja, kadang mengarah pada pelecehan seksual,” ungkap Dessy saat diwawancarai kru BM pada 20 November.
Arfianti Dekan Fakultas Kedokteran (FK) ungkapkan bahwa fakultasnya telah terapkan kode etik dalam kondisi belajar-mengajar. Antara dosen dengan mahasiswa. Tiap orang mesti patuh atas aturan yang sudah resmi dikeluarkan. “Kita pintar buat aturan, tapi juga harus menjamin bagaimana civitas kampus bisa mengerti.”
Mestinya, harap Arfianti, UNRI juga demikian. Perlu punya program khusus untuk menyosialisasikan aturan seperti itu. Misalnya saat momen Perkenalan Kehidupan Kampus Mahasiswa Baru, perlu sisipan materi pembulian dan kekerasan.
Sementara itu, Jumaini yang mengajar di Fakultas Keperawatan ungkapkan keinginannya agar kampus serius menangani isu kekerasan seksual. Harus merujuk pada Permendikbud-Ristek Nomor 30 Tahun 2021. Ia takut nama kampus akan tercoreng bila aturan itu tidak ditindaklanjuti. Belum lagi, mengingat dampak terhadap psikologis korban.
Beralih ke Sri Endang Kornita, seorang dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis. Ia sampaikan bahwa dirinya juga dilibatkan oleh pimpinan kampus dalam menangani kasus Syafri Harto yang santer dibincangkan. Hal ini lantaran Endang tergabung dalam Pusat Studi Kependudukan dan Peranan Wanita di Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat UNRI.
Hemat Endang, UNRI sudah lakukan upaya serius menanggapi permasalahan ini. buktikan dengan pembentukan Tim Pencari Fakta. “Kita juga berikan pendampingan kepada korban yang mengadu,” aku Endang.
Di sisi lain, Risda mengaku ikut ambil bagian dalam pencegahan kekerasan seksual. Ia terlibat menggerakkan kelembagaan kampus untuk vokal terhadap isu ini. Pada bidang pemberayaan perempuan di kelembagaan mahasiswa, misalnya. Ia arahkan untuk buat pengaduan kekerasan seksual. Ia memantau langsung.
Dari hasil pengaduan, beberapa korban mengaku tak ingin aduannya dipublikasi. Meski begitu, korban akan dirujuk untuk dapat pendampingan bersama psikolog jika ditemui kasus yang cukup problematis. Tujuannya memulihkan kesehatan mental. Risda berpesan, korban perempuan harus bisa mengetahui dan mewaspadai gerak-gerik orang yang mengarah ke sensual.
Morina Riauwaty tegaskan, kampus adalah wadah pencetak insan akademis. Lingkungannya harus bersih dari segala hal yang menghambat kemajuan mahasiswa. Dosen Budidaya Perikanan Fakultas Perikanan dan Kelautan ini berpesan bahwa komunikasi antara dosen dan mahasiswa harus memegang norma kesopanan.
“Seorang tenaga pendidik yang profesional haruslah menjaga kaidah tersebut,” ujarnya.
Penulis: Novita Andrian
Editor: Firlia Nouratama