Korupsi Hingga Nepotisme di Riau, Pemberantasannya Perlu Ditinjau Kembali

Gubernur Riau Syamsuar dinyatakan sebagai pejabat yang aktif dalam memberi Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara. Penghargaan diberikan langsung oleh Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK. Namun sayang, hal tersebut tidak berdampak pada anggotanya. Pernyataan ini disampaikan Jeffri Sianturi selaku Koordinator Umum Senarai, Kamis (9/12).

Menurutnya, kalaupun gubernur memiliki komitmen dalam memberantas korupsi, angka korupsi mestinya berkurang atau bahkan tidak ada lagi. Hal ini sejalan dengan data yang dipaparkan Jeffri.

Data itu tunjukkan tren kasus korupsi yang masuk ke peradilan. Khususnya di Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Pekanbaru. Jumlahnya mencapai 48 kasus. Kemudian meningkat menjadi 52 kasus. Berdasarkan riset yang dilakukan Senarai, hanya sekitar 30 putusan yang sudah berjalan.

Mirisnya, kasus korupsi terbanyak di Riau terjadi di sektor-sektor vital.  Seperti di Dinas Kesehatan, bahkan sampai ke desa. Bentuk kasusnya kebanyakan suap serta pengadaan barang dan jasa.

Hemat Jeffri, tak hanya korupsi saja, anak buah Syamsuar bahkan melalukan nepotisme. Mulai dari kader hingga Aparatur Sipil Negara.

“Seharusnya bapak Syamsuar itu selain membuat surat edaran, dia harus melakukan kebijakan-kebijakan yang lain. Mengeluarkan semacam Peraturan Gubernur atau  Peraturan Daerah. Atau segala macam yang terkait aturan-aturan yang memang itu menuntut dan menghalangi terjadinya korupsi,” pungkasnya.

Koordinator Media dan Penegakan Hukum Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Provinsi Riau, Ahlul Fadli, ikut beri pendapat. Ia soroti tren korupsi di sektor sumber daya alam. Relasi adalah penyebab utama yang memengaruhi penyelewengan pada bidang itu. Biasanya terjadi antara pihak tertentu dengan pihak yang berkuasa.

Pada 2017, KPK sebut kalau korupsi struktural menjadi persoalan paling tinggi. Pasalnya, kontrol Sumber Daya Alam (SDA) sepenuhnya di tangan pemerintah. Alhasil masyarakat hanya sebagai penonton.

Lebih jauh, kata Fadli, 82 persen daerah yang didanai sponsor turut menyebabkan terjadinya korupsi di bidang SDA. Dampaknya, pembangunan tidak berfokus pada masyarakat menengah ke bawah. Ada pihak ketiga yang turut berkontribusi dalam korupsi jadi dugaan.

Contohnya perkara yang terjadi pada 2019. Badan Pemeriksa Keuangan mencatat sebanyak 2,7 hektar perkebunan sawit beroperasi tanpa izin.

“Secara aplikasi di lapangan, mereka punya jaringan untuk mengeksplor SDA di daerah, tapi secara izin mereka tidak resmi,” ucapnya pada diskusi bertajuk Arah Pemberantasan Korupsi di Bumi Lancang Kuning.

Lebih lagi, arah pembangunan cenderung memperkaya kaum elite dan pengusaha. Terutama di Riau. Didukung fakta dari Badan Pusat Statistik Maret 2021, masyarakat miskin berjumlah 77,2 persen. Sebanyak 7,12 persen atau sekitar 500 ribu jiwa adalah masyarakat adat. Pernyataan menunjukkan jika pembangunan suatu daerah tinggi dan daerahnya meningkat, dampaknya tak dapat dirasakan langsung masyarakat. Khususnya masyarakat adat.

Parahnya, ungkap Fadli, masyarakat adat turut dikriminalisasi. Contohnya suku Sakai yang dijebloskan ke penjara. Ia tertuduh mengutip sepuluh batang kayu untuk membangun pondok.

“Hal tersebut membuat mereka kebingungan dalam mengeksplorasi sumber daya alam, apakah daerah itu wilayah mereka atau bukan,” lanjutnya.

Lagi, hadirnya Omnibus Law menjadi tantangan baru. Timbul banyak kebijakan yang merugikan masyarakat, khususnya masyarakat adat. Pengelolaan SDA yang lebih sentralistik picu masyarakat yang ada di lokasi tidak memiliki wewenang untuk mengelola.

Padahal, kata Ahlul, mereka lebih paham. Alhasil, pembangunan ini memperoleh dampak buruk dari hasil eksplorasi pengelola. Mulai dari banjir, tanah longsor, hingga kebakaran hutan. “Jangan sampai sumber daya alam dikuasai mereka untuk kepentingan-kepentingan tertentu.”

Beralih ke Noval Setiawan, ia jelaskan dua poin penting mengenai dampak peningkatan angka korupsi. Terkhusus bagi masyarakat Riau serta korupsi di sektor legislasi.

Advokat Lembaga Bantuan Hukum Pekanbaru ini ceritakan akar masalah utama korupsi. Ada pada regulasi yang dibuat melalui proses yang tidak ideal. Jika proses legislasi yang dilakukan dengan tujuan tidak benar, kata Noval, maka akan berpotensi menimbulkan dampak tertentu. Seperti kerusakan lingkungan. Misalnya banjir dan tanah longsor.

Ketidaktegasan negara dalam menangani pemulihan hak-hak asasi manusia  juga jadi persoalan. “Saat ini penegakan hukum di bidang korupsi hanya menyasar pada kerugian negara dan juga pemidanaan,” kata Noval.

Komitmen Riau dalam memberantas korupsi juga dipertanyakan. Menjadi tuan rumah peringatan Hari Anti Korupsi 2016 silam tak membuat Riau bersih dari kasus korupsi. Misalnya masalah pembangunan tugu integritas. Tugu itu dibuat sebagai pengingat untuk pengadaan pelayanan publik yang lebih transparan. Namun, tetap saja ada tindakan rasuah di dalamnya. Disebutkan oleh Taufik Manager Advokasi dan Jaringan Fitra Riau.

Ia sampaikan keganjalan dalam penanganan kasus korupsi di Bumi Lancang Kuning. Mulai dari kasus Sekretaris Daerah Yan Prana yang di pidana soal kasus dana rutin di Siak. Kejaksaan hanya penjarakan Yan saja.

“Bosnya siapa?,” tambah Taufik.

Ia juga senggol kejaksaan yang hanya pencitraan di awal saja. Faktanya, tidak ada tindak lanjut. Seperti kasus korupsi bantuan sosial. Sampai sekarang, perkembangannya tidak diketahui publik. Tak heran, timbul dugaan jika ada unsur politis di dalamnya.

Selain itu, ia juga keluhkan KPK yang belum berkomitmen dalam penegakan hukum. Contohnya kasus korupsi jembatan Bangkinang di Kampar. Perkembangannya tak transparansi sehingga tidak diketahui publik sampai sekarang. Padahal sudah ada tersangka dan saksi.

Dalam lingkup lebih sempit, Haby Frisco selaku Pimpinan Umum Lembaga Pers Mahasiswa Bahana juga sampaikan kasus korupsi yang terjadi di lingkungan kampus. Khususnya Universitas Riau.

Ia ungkit persoalan Tes Wawasan Kebangsaan di KPK September lalu. Saat itu, Bahana adakan riset mengenai tanggapan guru besar ihwal kasus tersebut. Namun, dari 75 Guru Besar Universitas Riau, hanya tujuh yang berikan komentar.

“Bagaimana mahasiswa bisa mendapatkan edukasi anti korupsi sementara guru besar kampus saja tidak mau bersikap?,” pungkasnya dalam dialog yang ditaja di Hotel Pangeran.

Menurut Haby, kampus perlukan badan kajian anti korupsi. Kemudian juga aktif menyuarakan dan berbagi riset soal ini.

Reporter: Marchel Angelina

Editor: Andi Yulia Rahma