Lembaga Pers Mahasiswa Bahana Mahasiswa Universitas Riau (LPM Bahana Mahasiswa Unri) resmi membuka Pendidikan dan Latihan Kenal Jurnalistik atau Diklat Kenal Bahana 2025. Mengusung tema Tajam dalam Tulis, Kritis dalam Analisis, kegiatan berlangsung di Aula Unit Kegiatan Mahasiswa Unri pada Jumat, 3 Oktober 2025.
Ketua Aliansi Jurnalis Independen atau AJI Pekanbaru, Eko Faizin menjelaskan tentang Sepuluh Elemen Jurnalisme dan Kode Etik Jurnalistik. Jurnalis Suara.com itu menjelaskan sejumlah prinsip dasar kode etik. Mulai dari kewajiban wartawan untuk bersikap independen hingga menghasilkan berita yang akurat dan berimbang.
Ia mengingatkan agar jurnalis tak menulis berita fitnah, bohong, maupun detail yang merugikan korban. “Khususnya anak dan korban kekerasan seksual,” jelas Eko.
Kode etik jurnalistik tidak bersifat kaku. Bisa berubah seiring dengan perkembangan teknologi dan media. “Misalnya kita tidak relevan dengan perkembangan zaman, posisi segala macam bisa berubah. Mungkin nanti tergantung kesepakatan dewan pers,” jelasnya.
Perihal sepuluh elemen jurnalisitik Bill Kovach, Alumnus Bahana Mahasiswa itu mengatakan elemen ini menjadi panduan bagi jurnalis guna menjalankan tugas. Elemen pertama bahas kewajiban jurnalis untuk menyampaikan kebenaran. Selanjutnya menjunjung loyalitas kepada masyarakat. Kemudian, jurnalis harus memastikan bahwa setiap informasi yang disampaikan memiliki dasar yang jelas dan berpihak pada kepentingan publik.
Eko menekankan pentingnya disiplin verifikasi sebagai pembeda utama antara berita dan informasi biasa. “Ketika mendapati informasi tidak boleh diterima begitu saja, harus klarifikasi terhadap pihak-pihak yang terlibat,” ujarnya.
Jurnalis juga harus menjaga independensi dari pihak yang diliput agar berita yang dihasilkan tetap objektif. Eko menambahkan kemampuan kritis untuk memilah platform media. Menurutnya tidak semua situs atau halaman yang menampilkan berita dapat dikategorikan sebagai media. “Media yang sah memiliki redaksi, struktur organisasi, dan identitas perusahaan yang jelas,” ujarnya.
Eko juga menyoroti pentingnya hati nurani dalam setiap peliputan. Seorang jurnalis harus mengerti kondisi narasumber, terutama dalam peristiwa yang menyangkut duka atau tragedi. “Penggunaan empati dan tanggung jawab moral menjadi bagian yang tak terpisahkan dari tugas jurnalistik,” tutupnya.
Public Speaking Jadi Pondasi Utama Podcast
Ada pula materi podcast. Pemateri dari Radio Republik Indonesia (RRI) Pekanbaru, Mintarsih dan Fitra Yati menjelaskan podcast adalah radio yang bisa diunduh atau diputar melalui internet.
Mereka memaparkan perbedaan keduanya. Terletak pada waktu, jangkauan, dan bidang konten. Radio bersifat langsung sementara mendengarkan podcast dapat lebih fleksibel. Jangkauan radio tergantung seberapa jauh jangkauan pemancarnya, sementara podcast bergantung pada internet penonton. “Pun konten yang disajikan radio lebih beragam, sedangkan podcast lebih spesifik,” ucap Mintarsih.
Kemampuan public speaking atau berbicara di depan khalayak ramai menjadi pondasi utama. Penguasaan emosi sebelum memulai podcast hingga perlunya perbendaharaan kosakata yang luas. “Menjadi seorang podcaster merupakan suatu hal yang mudah. Dasarnya rajin membaca agar menambah wawasan dan lancar dalam berbicara,” ujar Fitra.
Guna Riset dan ToR dalam Peliputan
Materi ketiga datang dari Jurnalis Mongabay, Nurul Fitria. Wanita yang akrab disapa Yaya itu memberikan materi tentang Riset, Term of Reference (ToR) dan Interview. “Riset menjadi dasar utama sebelum turun ke lapangan. Tanpa riset, ide liputan sulit berkembang dan rawan kehilangan arah,” ujarnya.
Riset tidak hanya berasal dari media sosial. Bisa dari diskusi, bacaan, atau sumber langsung di lapangan, “Riset bisa dijadikan alat untuk pengecekan fakta,” kata Yaya.
Jurnalis harus mampu menggali informasi melalui sumber yang valid. Seperti pada lingkaran pertama atau A1. Melihat kejadian secara langsung atau bertanya kepada narasumber terkait. Pun pewarta dapat mendapatkan informasi tambahan dari media-media terpercaya.
Setelah riset, materi beralih ke ToR atau kerangka acuan. Tahapan ini membantu jurnalis memahami tema, masalah utama, dan sudut pandang liputan. ToR berisi topik, latar belakang, narasumber, foto pendukung, literatur, daftar pertanyaan, hingga jangka waktu (deadline). “ToR berisikan garis-garis besar yang menjadi panutan penulisan dan berguna untuk mengetahui arah berita,” jelasnya.
Implementasi ToR dilakukan melalui wawancara. Yaya menjelaskan tiga jenis wawancara. Di antaranya tatap muka (one by one), door stop atau wawancara spontan, dan press conference atau konferensi pers.
Wawancara juga bisa dilakukan secara tidak langsung melalui telepon, email, atau pesan aplikasi. “Wawancara tidak langsung biasanya diakibatkan oleh keterbatasan waktu, tempat dan lainnya,” terangnya
Yaya menekankan pentingnya persiapan sebelum wawancara. Beberapa hal yang perlu disiapkan antara lain ToR atau daftar pertanyaan, pemahaman terhadap topik, kesiapan mental, serta alat perekam. Jurnalis juga harus menjaga etika, sopan, datang tepat waktu, memperkenalkan diri, dan menjelaskan apakah wawancara bersifat on the record atau off the record.
Menyoal sumber anonim, yakni narasumber yang tidak ingin identitasnya diketahui publik. Yaya menekankan harus benar-benar berada di lingkaran pertama peristiwa. Layaknya pelaku, korban, atau saksi mata.
Keterangan anonim baru bisa diterima jika diverifikasi oleh minimal dua sumber independen yang menyatakan hal serupa. “Jika terbukti informasi yang diberikan bohong, maka dia harus bersedia dibongkar identitasnya,” tutupnya.
Bahana Jadi Sumber Warta Sejarah Riau
Kali ini peserta diklat menyelami sejarah panjang LPM Bahana Mahasiswa bersama Abu Bakar Siddik. Ia membuka cerita lahirnya Bahana Mahasiswa pada 1983. Kantor sekretariat dahulu ada di Kampus Unri Gobah, Jalan Pattimura. “Fakhrunnas sebagai pimpinan pertamanya,” ucap pria itu.
Abu bilang Rektor Pertama Unri, Muchtar Luthfi menginginkan Unri punya lembaga pers mahasiswa. Guna jadi alat penegak kebenaran dengan prinsip dakwah. Ia juga singgung nama Bahana, katanya nama ini merujuk pada tempat mahasiswa berteriak dengan suara yang keras agar dapat didengar orang lain. “Itu yang membedakan Bahana Mahasiswa dengan UKM lain,” paparnya.
Setelah menjabat selama kurang lebih dua tahun, mendiang Bakhtiar menggantikan posisi Fakhrunnas. Sebelum akhirnya dilanjutkan oleh Abu sendiri.
Sebagai pimpinan Bahana yang baru, Abu mengaku bahwa kepengurusannya mengalami banyak pergolakan. Kegiatan aktivisme kampus banyak merujuk pada berita yang ditulis oleh Bahana.
Tak sampai di situ, tulisan-tulisan mereka juga menjadi referensi utama bagi masyarakat luas yang ingin lebih mengenal sejarah Riau. Namun, hal ini menarik perhatian beberapa pejabat kampus yang dibayangi oleh Rezim Orde Baru. “Mereka menilai tulisan aku terlalu sensitif. Puncaknya ketika aku dicabut dari jabatan sebagai pimpinan redaksi,” ceritanya.
Pewarta: Gusra Cahyati, Talita Nur Havizah, Tutiarna Grace, Gary Andreas
Penyunting: Amelia Rahmadani Handayanis