Populasi gajah saat ini hampir di tahap kepunahan. Ada 36 kasus yang ditangani Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Riau (BBKSDA) akibat spesies interaksi negatif satwa. Menurut data, jumlah konflik terbanyak ada di Kabupaten Pelalawan. Kabupaten Rokan Hilir paling minim konflik. Hal tersebut disampaikan Plt. Kepala Seksi Konservasi Wilayah IV BBKSDA Gunawan.
“Ini disebabkan karena habitatnya banyak di Pelalawan,” katanya dalam sampaikan materi Konservasi dan Perlindungan Satwa di Riau dalam kegiatan Training Jurnalis Konservasi Milenial Kampus, Kamis (16/3).
Seluas 423.578,08 hektar ada dalam pengelolaan BBKSDA Riau. Dengan dua cagar alam, 10 suaka marga satwa, tiga taman wisata alam dan kawasan suaka alam. Ditambah taman nasional dan taman buru masing-masing satu yang belum ditetapkan peruntukannya.
Ia turut sampaikan saat ini populasi gajah sudah masuk ke pemukiman warga. Banyak gajah merusak tanaman petani, perumahan warga, dan berkeliaran di jalan raya.
Bukan tanpa alasan, masuknya gajah ke pemukiman akibat habitatnya yang rusak dan rantai makanannya yang sudah berkurang. Pemburuan gading gajah juga menjadi sebab menurunnya populasi satwa yang dilindungi ini.
Lanjut Gunawan, masuknya gajah ke pemukiman warga membuat gajah terjerat jaring yang sengaja dibuat petani untuk menjaring babi hutan. Gajah yang terjebak itu pun mengalami luka, menjadi cacat dan akhirnya mati.
“Ada juga gajah yang sedang mengandung, memakan nanas beracun menyebabkan dua gajah itu mati dalam waktu bersamaan,”
Ia bilang ada upaya mendasar untuk konservasi melalui 3M. Mulai dari mutual respect atau kepedulian, mutual trust atau menjaga kepercayaan, dan mutual benefit atau memberi manfaat.
Menurutnya konservasi tidak seperti eksakta. Konservasi harus dilakukan lintas batas, humanis, dan memberi manfaat pada masyarakat.
Sementara itu, Humas BBKSDA Riau Dian Indriarti mengajak para milenial untuk bekerja sama lestarikan satwa liar. Ia juga sampaikan bahwa semua kalangan masyarakat bertanggung jawab menjaga kelestarian satwa liar ini.
Selaras dengan Gunawan, ia ajak para peserta pelatihan untuk sama-sama paham kalau gajah tidak bisa disalahkan akibat kerusakan tersebut.
Selain dari BBKSDA Riau, pelatihan ini juga hadirkan pembicara dari Yayasan Kehati Yudha Arif Nugroho. Ia sampaikan tentang program Tropical Forest Conservation Act. Sebuah usaha untuk melestarikan hutan tropis Sumatera dari ancaman deforestasi alias penggundulan hutan.
Ia jelaskan tugas dan fungis TFCA. Dimulai dengan penguatan kelembagaan dan penguatan upaya intervensi. Lalu kemudian memastikan keberlangsungan dan penguatan masyarakat serta komunitas lokal. Baik dalam konservasi, perlindungan, dan pengelolaan hutan.
Materi selanjutnya diisi oleh Rimba Satwa Foundation M. Rafhi Hardanto. Ia jelaskan bagaimana upaya RSF dalam konservasi gajah dan habitatnya di Balai Raja sampai ke Giam Siak Kecil.
Rafhi jelaskan bagaimana pemasangan tiga unit GPS Collar untuk memantau posisi dan pergerakan kelompok gajah. Upaya lainnya menyiapkan staf ranger. Berfungsi memantau pergerakan, kesehatan gajah, dan perilaku gajah di alam.
“Dengan difasilitasi aplikasi smart-RBM untuk pendataan patroli di kawasan kantong populasi gajah Sumatra,” jelas Rafhi.
Ia juga sampaikan usaha lainnya seperti agroforestri, manajemen pemanfaatan lahan secara optimal dan lestari. Hal ini mampu menambah pemasukan bagi masyarakat sehingga gajah dan manusia dapat hidup berdampingan.
Selain itu, adanya pendampingan masyarakat dalam mitigasi konflik dan Conservation Goes to School atau CGS. Ia katakan CGS ini program edukasi kepada tingkat sekolah dasar.
Tak ketinggalan, Winahyu Dwi Utama dari Aliansi Jurnalis Independen Pekanbaru juga paparkan materinya. Tentang penyusunan straight news dan feature.
Winahyu bilang untuk menulis berita perlu beberapa unsur. Seberapa penting berita tersebut, aktualisasinya, dampak atau akibat, juga kedekatan berdasarkan geografis tempat terjadinya berita tersebut. Lalu, berita juga dilihat dari kecepatan, kelengkapan, dan akurasi.
Selain itu, Winahyu jelaskan kalau berita mengandung ketokohan. Narasumber atau orang yang terlibat. Lalu, ada nilai kemanusiaan. Seberapa besar dampaknya dari aspek kemanusiaan. Selain itu, ada konflik atau masalah yang terjadi. Terakhir keluarbiasaannya berita tersebut.
Ia katakan untuk penulisan straight news dan feature harus memperhatikan 5W + 1H. Juga memperhatikan perbedaan straight news dan Feature. Straight news tidak boleh beropini sedangkan feature diperbolehkan tetapi dalam konteks faktual. Lalu, straight news menggunakan bahasa formal. Berbeda hal dengan feature yang menggunakan bahasa informal.
“Penulisan feature itu seperti kita bercerita, bermakna dalam, dan cepat sedangkan straight news langsung to the point, singkat, dan lugas, dan beritanya gak mudah basi.” tutup Winahyu pada pelatihan yang dilaksanakan dalam empat hari.
Kegiatan ini berkolaborasi dengan Pundi Sumatera. Diikuti oleh peserta dari berbagai lembaga pers di Riau. Ada dari Bahana, Aklamasi, Aksara, Visi, dan Gagasan.
Penulis: Artha Sinurat
Editor: Andi Yulia Rahma