“Media massa saat ini cenderung lebih banyak menggunakan bahasa asing,†kata Umar Solikhan, Kepala Balai Bahasa Provinsi Riau dalam kegiatan Penyuluhan Bahasa Indonesia Untuk Media Massa, Selasa (11/4).
Program kerja dari Balai Bahasa Provinsi Riau ini dilaksanakan tiga hari kedepan di  Hotel Alpha, Harapan Raya, membahas penggunaan kaidah bahasa Indonesia yang baik dan benar bagi media massa yang ada di Provinsi Riau.
Acara dimulai dengan menyanyikan lagu Indonesia Raya.  Kemudian dilanjutkan kata sambutan oleh Kepala Balai Bahasa—Drs. Umar Solikhan.  Dalam sambutannya kegiatan ini bertujuan untuk lebih mendekatkan Balai Bahasa dengan media massa khususnya di Riau.
Dari penilaian Badan Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, belum ada media di Riau mendapat penghargaan media yang menggunakan bahasa yang baik dan benar. “Hal ini menjadi salah satu alasan kita mengundang kawan-kawan media,†jelas Umar.
Peserta dari berbagai media cetak, online, radio dan pers mahasiswa.
Di hari pertama diisi oleh dua pemateri. Materi pertama diisi langsung oleh Kepala Balai Bahasa, berjudul “Kebijakan bahasaâ€. Ia bercerita tentang asal terbentuknya bahasa Indonesia. Saat kongres pemuda yang pertama, Bahasa Melayu diusulkan oleh Mohammad Yamin sebagai bahasa persatuan. Hal ini karena menurutnya Bahasa Melayu sudah lama di Indonesia dan sudah tersebar di nusantara.
Tapi hal ini ditentang oleh seorang tokoh yang waktu itu profesinya sebagai wartawan. Beliau adalah Mohammad Tabrani. Karena beberapa perdebatan, untuk menetapkan bahasa persatuan ditunda hingga kongres pemuda kedua. Saat kongres kedualah bahasa Indonesia akhirnya ditetapkan sebagai bahasa persatuan.
Sepanjang sejarah pengunaan bahasa Indonesia, menurut Umar, Â pada masa orde baru, tepatnya tahun 1995 hingga 1998, bahasa Indonesia benar-benar mencapai puncak keemasan. Pada masa inilah bahasa Indonesia banyak digunakan di ruang publik. Namun, kejayaan ini mulai menurun saat masa reformasi. Di ruang publik lebih sering menggunakan bahasa asing.
Pemakaian bahasa  Indonesia salah satunya diatur dalam Undang-Undang No. 24 Tahun 2009.
Adapun kondisi bahasa di Indonesia saat ini, terdapat 659 bahasa daerah, bahasa nasional dan bahasa asing. Saat ini, Balai Bahasa mulai mempromosikan beberapa kata baru dan unik yang bermunculan di Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Beberapa kata diantaranya kata Gadget diganti menjadi Gawai. Online menjadi Daring, Offline menjadi Luring. Selain itu juga ada beberapa kata lainnya yang juga digunakan untuk menyeimbangkan penggunakaan bahasa asing di Indonesia. Misalnya kata Selfie yang sering dipakai orang-orang yang berarti foto sendiri, sekarang berubah menjadi kata Swafoto. Microphone menjadi Pelantang.
Sesi kedua diisi oleh Dr. Fatmawati, ia peneliti muda di Balai Bahasa Provinsi Riau. Materinya tentang Ejaan Bahasa Indonesia. Ada beberapa perkembangan ejaan di Indonesia. Ejaan Van Ophuijsen tahun 1901, Ejaan Republik atau Ejaan Soewandi (1947), Ejaan yang Disempurnakan (1972), dan sejak 2015 hingga sekarang dikenal dengan Ejaan Bahasa Indonesia. Untuk pedoman umum Ejaan Bahasa Indonesia bisa diunduh secara bebas di internet.
Sesi kedua ini lebih banyak diskusi. Peserta sampaikan beberapa permasalahan di media masing-masing. Salah satunya tentang pemenggalan kata. Fatmawati menganggap bahwa banyak pemenggalan kata yang salah di media massa saat ini.
Fajar Windiarto dari Harian Pagi Metro Riau katakan masalah pemenggalan kata tak terlepas dari kesalahan sistem. Saat proses tata letak, pemenggalan terjadi secara otomatis. Hal ini bisa dihindari dengan cara manual. Masalahnya apakah mau melakukan secara manual atau tidak.
“Jika malas, ya jadinya seperti itu,†ujarnya.
Selain itu Fajar juga usulkan Balai Bahasa membuat  kamus bahasa khusus media massa. Di sesi ini, pemateri juga meminta setiap peserta menulis tiga kata asing yang diserap menjadi bahasa Indonesia.  Sesi ini juga mengakhiri pelatihan pada hari pertama.
Chrisna Putri Kurniati—Ketua Panitia katakan kegiatan ini mengundang 50 peserta yang berasal dari media massa di Pekanbaru. Bertujuan untuk meningkatan kemampuan menggunakan bahasa indonesia oleh para insan media massa.
Awalnya pihak panitia ingin menambah jumlah peserta. Karena keterbatasan dana, jadi hanya bisa 50 orang saja. Setiap media diminta dua perwakilan.
“Semoga para wartawan yang merupakan penulis berita, bisa menerapkan ilmu yang didapatkan disini ke media masing-masing,†harapnya. #Eka Kurnia