Berdasarkan survei literasi digital, Komunikasi dan Informatika (Kominfo), televisi menduduki posisi pertama dengan perolehan angka 49,5 persen. Media ini masih menjadi sumber terpercaya bagi masyarakat untuk memperoleh informasi. Lalu, disusul media sosial 20,3 persen. Terakhir, situs web resmi pemerintah sebanyak 15,3 persen.

Yovantara Arief selaku Direktur Eksekutif Remotivi, jelaskan mengenai dampak cek fakta. Kegiatan ini merupakan kolaborasi antarmedia untuk melawan berita palsu. Masih pada survei yang sama, diperoleh 1.400 responden. Di dalamnya diketahui bahwa informasi dari jagat internet jurnalisme tak lagi menjadi rujukan masyarakat Indonesia.

“Aktivitas yang diakses oleh warga Indonesia ialah membaca pesan singkat, googling, media sosial, menonton YouTube dan mengakses portal berita dengan persentase dua persen pengaksesan dan 32 persen tidak mengaksesnya,” jelas Yovan.

Lebih jauh, ia menyayangkan sebagian besar orang masih menganggap informasi di media sosial adalah lengkap, pun terjamin kebenarannya. Padahal, sebanyak 11 persen koresponden justru mengaku pernah menyebarkan berita bohong. Malangnya, kata Yovan, masyarakat justru tertipu dan meneruskan informasi terebut tanpa dicek terlebih dahulu.

Singkatnya, jurnalis tak banyak mendapat kepercayaan. Namun, upaya pendeteksian berita bohong terus menjadi tantangan besar.

Yovan juga berpendapat, masih banyak kesalahpahaman tentang praktik cek fakta. Alasannya, kepercayaan masyarakat kepada jurnalis yang tergolong rendah. Fakta bahwa kebenaran menjadi mata uang utama, masih dikedepankan.  Agar industri junalisme berkembang, apresiasi dari masyarakat mengenai pentingnya informasi sangat diperlukan.

“Jurnalis yang baik itu mahal, bukan hanya dari segi produksi tetapi juga marketing. Dengan kata lain, jurnalisme harus menciptakan demand atau kebutuhan,” tambahnya.

Alice Budisatrijo, Manajer Kebijakan misinformasi Facebook turut menjelaskan, terdapat tiga pilar dalam Facebook. Gunanya, untuk mengatasi masalah konten misinformasi melalui platform. Pertama, hapus konten yang melanggar standar komunitas Facebook. Hal ini mencakup konten negatif seperti terorisme, pornografi, dan lainnya.

“Kebijakan ini dijalankan dengan kombinasi mesin learning dan konten reviewer yang bekerja selama 24 jam di seluruh Indonesia. Tidak memperbolehkan adanya akun palsu karena ini memiliki imbas yang cukup besar mencegah misinformasi,” papar Alice.

Kedua, upaya mengurangi distribusi. Biasanya dilakukan kerjasama dengan pemeriksaan fakta pihak ketiga di seluruh dunia. Cakupannya sekitar 80 negara dengan 60 bahasa di dunia. Semua pemeriksa fakta yang bekerja, telah mendapatkan akreditasi dari International Fact Checking Network.

Ketiga, melakukan penginformasian. Facebook menyediakan fitur pemberitahuan kepada pengguna. Fungsinya untuk memilah berita agar terbukti kebenarannya.

Kata Alice, Terkait Covid-19, Facebook berkonsultasi dengan World Health Organization untuk mendapatkan kepastian dari konten berbahaya. Dengan ini, pengguna tidak termakan berita bohong dan menyebarluaskannya. Terkhusus mengenai pandemi.

“Terdapat sebanyak 167 juta konten selama setahun belakang ini. Ketika konten tersebut ditandai sebagai berita palsu, pihak Facebook menyiapkan sistem untuk pendeteksiannya,” tukasnya.

Wahyu Dhyatmika dari Tempo dan Inisiator Cekfakta.com juga menilai, selama satu tahun tidak ada data riset yang memadai tentang peta penyebaran. Pun metode menyoal hoaks infodemi. Diakui Wahyu, pada cek fakta, belum adanya kecukupan proses sharing konten yang lebih efisien dan distribusi hoaks yang efektif. Ditambah lagi, dari sisi publik, belum ada ketepatan metode untuk mendeteksi hoaks yang menyebar. Oleh karena itu, diperlukan perluasan kolaborasi terhadap media pers lokal yang belum terekspos. Terlebih lagi, membangun dan memperluas pihak yang berkepentingan.

“Bagi jurnalis, masih banyak tugas yang harus diselesaikan terkait cek fakta,” tutup Wahyu dalam diskusi virtual bertajuk Jelang setahun pandemi : Berhasilkah Media dan Platform Mengatasi Infodemi? pada Senin (8/2).

Penulis: Febrina Wulandari

Editor: Firlia Nouratama