Nurul Nur Azizah yang telah bekerja selama dua tahun tujuh bulan di Kumparan mendadak dikirimi surel dari Chief Executive Officer (CEO) tempat ia bekerja. Surat tersebut menyebutkan adanya pengurangan karyawan akibat pandemi, termasuk Nurul. Selang beberapa jam, ia dan rekan kerja lainnya dapat surel kembali. Isinya perintah untuk menemui Human Resource Department dan CEO keesokan harinya. Tak hanya itu, pesan juga ditambah dengan permintaan mengembalikan aset milik perusahaan.
Platform media berita tempat Nurul bekerja ini lakukan Pemutusan Hubungan Kerja atau PHK kepada 56 orang pegawainya. Namun, hanya Nurul yang berani menolak keputusan dari perusahaan. Alasannya, Kumparan tak menjelaskan alasan apapun kenapa ia mengalami PHK. Nurul jelaskan, ia hanya diberi tahu bahwa besok uang pesangonnya akan ditransfer. Kemudian, dilanjutkan dengan perintah untuk menandatangani surat pernyataan.
Nurul menolak dan lakukan mediasi. Tetapi, hasil mediasi tak sesuai degan keinginannya, sebab lebih memihak kepada perusahaan. Hal ini disampaikannya pada webinar Kisah Keberhasilan Jurnalis Menghadapi Perusahaan pada Sabtu (1/5).
Tak puas, Nurul membawa masalah tersebut ke pengadilan pada November 2020. Ia gugat Kumparan dengan opsi untuk bekerja kembali dan menginginkan efisiensi dari perusahaan. Setelah 10 bulan, akhirnya sidang dimenangkan sebagian oleh Nurul. Meskipun tak dipekerjakan kembali, Nurul mengaku senang. Sebab, gugatannya bahwa perusaaan tak melakukan efisiensi dibenarkan oleh perusahaan itu sendiri.
Hal serupa pernah dirasakan Zaky Yamani, bekas jurnalis Pikiran Rakyat. Ia diberhentikan oleh perusahaannya ketika sedang sakit. Dengan masa kerja selama 15 tahun, ia hanya diberi kompensasi sebanyak 15 juta. Akhirnya, Zaki bawa masalah ini ke ranah hukum dan menuntut perusahaan sekitar 280 juta. Beruntung, sidang yang berlangsung hampir dua tahun tersebut dimenangkannya pada Februari 2018. Ia dapatkan setengah dari tuntutan.
“Pelajaran yang dapat diambil dari seluruh proses ini adalah jika ingin menggugat perusahaan, siapkanlah fisik dan mental yang stabil,†tutur Zaky pada diskusi yang ditaja oleh Aliansi Jurnalis Independen atau AJI ini.
Karena ada tekanan yang kuat, ia bilang, ketika mencoba melawan perusahaan. Seperti dijauhi teman yang lain dan adanya kabar miring tentang dirinya. Selain itu, harus mempunyai jaringan atau koneksi, sehingga ada yang mendampingi. Menurutnya, proses itu akan berat dilewati jika sendirian dan lebih mudah jika ada yang mendampingi.
Selain Zaky dan Nurul, ada Indria Pramuhapsari Koordinator Tim Advokasi Serikat Pekerja Jawa Pos. Wanita yang akrab dipanggil Mba Hepi ini jadi bagian dalam memperjuangkan perjanjian kerja sama dengan Jawa Pos. Mba Hepi menyebut kisah suksesnya sebagai progress, “Karena banyak perkembangan yang terjadi sejak Serikat Pekerja melakukan aksi,†katanya.
Serikat Pekerja yang telah berlangsung selama setahunan ini, banyak membantu rekan pekerja memahami aturan dan undang-undang yang berkaitan dengan pekerjaan. Serikat Pekerja juga membantu memberi solusi. Selain itu, menjamin saran yang diberikan serta mendampingi rekan kerja untuk lakukan langkah selanjutnya. Serikat Pekerja Jawa Pos, dikatakan Mba Hepi sangat beruntung karena mendapatkan dukungan dari AJI Surabaya.
Ia ceritakan hambatan yang terjadi. Seperti surat bipartit yang dikirimkan tak diterima dan tak digubris. Surat ini adalah langkah awal untuk ajukan perundingan antara pekerja atau buruh dengan pengusaha. Gunanya untuk selesaikan perselisihan hubungan industrial dalam satu perusahaan, yang dilakukan dengan prinsip musyawarah untuk mencapai mufakat secara kekeluargaan dan keterbukaan.
Lanjut Mba Hepi, proses yang dijalankan juga sangat melelahkan hingga buat pekerja yang di-PHK menjadi down. Tetapi, setelah proses panjang akhirnya ada hasil yang memuaskan. Karena, perjanjian kerja sama akhirnya dalam proses pengesahan oleh Dinas Tenaga Kerja.
Mendukung kasus-kasus yang telah dibagikan, Mona Ervita anggota Lembaga Bantuan Hukum atau LBH Pers paparkan data kasus ketenagakerjaan. Selama pandemi, masalah meningkat tiga kali lipat dibanding tahun sebelumnya. Banyak perusahaan media lakukan pelanggaran. LBH sendiri tampung 150 pengaduan. Seperti melakukan PHK sepihak, mutasi, dan dirumahkan. Ada juga pemotongan atau penundaan upah, kontrak yang tak jalan, upah yang tak dibayar, pensiun dini, hingga pelanggaran hak kesehatan.
Mona juga jelaskan, pengaduan berasal dari pekerja tetap dengan 84 pengaduan dan terbanyak kedua berasal dari pekerja kontrak dengan 60 pengaduan. Karyawan yang di-PHK juga banyak berasal dari karyawan muda dengan masa kerja kurang dari tiga sampai enam tahun. Berdasarkan data juga, karyawan laki-laki lebih banyak mengalami PHK daripada perempuan.
Berdasarkan kasus pengaduan yang ditampung, perusahaan mempunyai alur baru dalam memutuskan untuk lakukan PHK terhadap karyawannya. Dimulai dengan merumahkan para karyawan, kemudian membuat karyawan bosan tanpa diberi tugas dan upah, serta berakhir dengan karyawan tersebut mengundurkan diri dengan sendirinya.
Selain itu, ketika kita dipanggil oleh perusahaan dan disodorkan surat, Mona ingatkan untuk membaca dengan saksama isi surat tersebut. Tujuannya agar tak terjadi kesalahpahaman di kemudian hari. Kemudian, harus memiliki jaringan atau serikat pekerja. Sebab, bila terjadi hal yang tak diinginkan, korban dapat mengadukannya ke serikat kerja dan berbuah solusi.
Mona harapkan, jika ada pengaduan pelanggaran hak-hak pekerja, dapat diselesaikan dengan cara somasi. Bisa juga dengan diskusi damai antara pekerja dengan perusahaan yang bersangkutan.
“Karena, fakta dalam lapangan, kalau melaporkan hak pekerja ke kepolisian sangat tidak efektif,†tutupnya.
Penulis: Denisa Nur Aulia
Editor: Andi Yulia Rahma