Multitafsir Pasal dalam UU ITE

Undang-Undang (UU) Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) semula memberikan perlindungan terhadap usaha digital. Namun kini, beralih ke tindak pidana. Pola pidana demikian dimanfaatkan sebagai ajang balas dendam. Ada juga tukar menukar kasus, pembungkaman kritik, shocktherapy, dan pemburuan ekspresi. Pernyataan tersebut disampaikan Noval Setiawan– Pengacara Lembaga Bantuan Hukum (LBH)

“Sebisa mungkin UU ITE harus direvisi,” lanjutnya.

Kata Noval, masyarakat dituntut bijak menggunakan media digital. Penegak hukum di Indonesia tidak sepenuhnya bisa memilah kasus yang terjadi. Misalnya pada pasal 27 ayat 1, yang berbunyi setiap orang dapat dengan sengaja dan tanpa hak membuat, mengirim dan menyebarkan informasi dokumen elektronik yang melanggar kesusilaan. Pasal tersebut sering ditafsirkan secara berbeda.

Noval beri contoh lain berupa kasus pencurian video pribadi. Pemilik video dianggap bersalah oleh penegak hukum. Berangkat dari sini, UU ITE masih belum bertindak sebagai pelindung pihak yang dirugikan.

Singkatnya, UU ITE tidak sepenuhnya menjawab keresahan masyarakat. Sebab, banyak pasal yang belum direvisi dan dapat diuraikan secara luas. Pun menyisakan berbagai polemik serta kasus balas dendam.

“Tafsiran dalam UU ITE kita masih belum bisa menjadi perlindungan bagi teman-teman yang ingin menyampaikan pendapat secara lebih luas,” pungkas Noval.

Eko Faizin dan Ary Sandy juga dihadirkan dalam dalam diskusi bertajuk Literasi Keamanan Digital dan Jebakan UU ITE,  pada kamis (28/10).

Eko selaku Redaktur Suara.com bahas cara menangkal hoaks. Dia bilang, hoaks bukanlah hal yang harus hindari. Baiknya disaring dan tidak disebarkan.

“Segala informasi itu ada di gadget dan tidak semuanya benar, tidak semuanya valid,” ucapnya.

Lebih lanjut, eko jelaskan dua jenis hoaks. Seperti malinformasi dan disinformasi. Untuk deteksi hoaks, ada beberapa cara yang dilakukan. Pertama, gunakan aplikasi yang biasa dipakai dan dipahami pengguna. Untuk validasinya, gunakan kaca kunci berita melalui pencarian di google sebagai cara kedua. “Pastikan juga berita berasal dari sumber media tepercaya. Pun terdaftar di Dewan Pers.”

Ary dari Jawara Internet Sehat dan Relawan TIK Riau ambil bagian terakhir. Ia paparkan terkait keamanan digital. Beberapa platform seperti Kalimasada, Cek Fakta, dan TurnBack Hoax memang dibuat untuk cek kebenaran berita.

Terkait cara menyikapi keamanan digital, Ary bagikan beberapa langkah. Antara lain, identifikasi tiap aset digital yang dimiliki. Lalu, lindungi aset dengan kata sandi yang baik. Aktifkan autentikasi untuk mengenal pengguna yang masuk ke akun digital.

Kemudian, deteksi insiden terkait keamanan data pribadi. Cek akun apabila terjadi pembobolan. jika terdeteksi, segera ganti kata sandi akun.Terakhir, ambil alih akun jika terjadi peretasan pihak tak bertanggung jawab.

“Hati-hati dalam penggunaan media digital. Ibarat dua mata pisau. Jika tidak digunakan secara baik maka dapat melukai dan jika digunakan dengan baik dapat memudahkan kehidupan sehari-hari,” tukas Ary.

Penulis: Marchel Angelina

Editor: Febrina Wulandari