Protokol Keamanan Jurnalis, Lampu Hijau Meliput Isu lingkungan

Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers bersama kemitraan merilis sebuah buku bertema Protokol Keamanan dalam Meliput Isu Kejahatan Lingkungan di tahun ini. Mereka juga adakan program pengarusutamaan perlindungan pembela Hak Asasi Manusia  di sektor lingkungan melalui advokasi media. Dalam buku tersebut, setidaknya ada lima protokol keamanan yang menjadi acuan. Hal ini berguna melindungi keamanan jurnalis dan perusahaan dalam melakukan peliputan maupun publikasi berita.

Pertama, dimulai dengan melakukan perencanaan dan persiapan. Sebelum melakukan peliputan, seorang jurnalis harus memahami risiko di lapangan terlebih dahulu. Kemudian, menyiapkan rencana keselamatan saat meliput.

Merujuk pada Undang-Undang (UU) Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers, Bab III pasal 8 berbunyi “dalam melaksanakan profesinya wartawan mendapatkan perlindungan hukum. Namun, hal tersebut justru berbanding terbalik dengann kenyataannya. Di Indonesia, kasus kekerasan terhadap jurnalis masih merajalela. Tercatat, terdapat 53 kasus kekerasan kepada jurnalis sepanjang 2019. Setahun kemudian naik lagi menjadi 84 kasus.

Kedua, memerhatikan keselamatan pada saat meliput. Wartawan dituntut memahami karakter wilayah yang akan dituju. Salah satu cara melindungi diri dari kejahatan adalah dengan memisahkan nomor telepon pribadi dan nomor telepon saat meliput.

Ketiga, memastikan keamanan digital. Menurut Rory Peck Trus terdapat beberapa ancaman digital bagi jurnalis. Di antaranya komunikasi yang tidak terenkripsi, metadata, dan Geo-Tracking. Selain itu, pencurian perangkat, peretasan, dan lainnya.

Keempat, berita dan kode etik jurnalistik. Sepatutnya, seorang jurnalis harus patuh terhadap kode etik jurnalistik. Kode etik ini sebagai rambu untuk menjamin hak, kewajiban dan peranan pers. Dalam kitab UU Perdata terdapat 2 pasal yang menjadi dasar gugatan perdata ke pers. Ada pasal 1365, mengatur perbuatan melawan hukum, yang menimbulkan kerugian bagi pihak lain. Selanjutnya, pasal 1372 yang mengatur secara khusus perbuatan melawan hukum karena penghinaan.

Akan tetapi, jika penyelesaian sengketa ingin diajukan ke Dewan Pers, langkah awal yang harus dilakukan dengan pengaduan dari pihak yang merasa keberatan atas pemberitaan.

Langkah selanjutnya, pengaduan tersebut akan diklarifikasi. Caranya, pers yang diadukan juga wajib menunjukan bukti upaya konfirmasi ke narasumber. Penanggung jawab redaksi lalu berkoordinasi dengan Dewan Pers jika ada laporan ke kepolisian dan gugatan perdata. Redaksi bisa mengajukan permohonan perlindungan kepada Dewan Pers.

Kelima, melakukan publikasi. Penyelesaian melalui prosedur hukum, bukan cara yang tepat menyelesaikan serangan. Jika jurnalis mendapatkan ancaman atau serangan, perusahaan media dapat menyiapkan Safehouse atau rumah aman. Regulasinya ini pun sudah  diatur dalam UU Komisi Pemberantasan Korupsi.

Ade Wahyudin selaku Direktur Eksekutif LBH Pers dalam diskusi yang dilakukan pada Rabu (24/3) katakan, protokol keamanan dapat berjalan maksimal dan efektif jika dilaksanakan dengan baik, antara pihak jurnalis dengan perusahaan media.

Tak hanya Ade, diskusi ini turut menghadirkan Laode M. Syarief  sebagai Direktur Eksekutif Kemitraan, Firdaus selaku Ketua Sertifikat Media Siber Indonesia, dan Irna Gustiawati dari Asosiasi Media Siber Indonesia. Ada pula H. M Nasir dari General Secretary of Indonesian Cyber Media Union, Joris Ramm selaku perwakilan Kedutaan Belanda di Indonesia, serta Peter Ter Velde seorang jurnalis asal Belanda.

Bagi Irna Gustiawati, tidak semua jurnalis mampu melakukan liputan lingkungan. Alasannya, biaya yang dikeluarkan tidak murah. Sementara itu, iklan menjadi sebuah bisnis yang dibutuhkan media.

“Hampir semua berita lingkungan tidak diminati oleh klien yang ingin beriklan. Hal tersebut menjadi tantangan tersendiri saat hendak menulis investigasi lingkungan,” ucapnya.

Nasir menambahkan, buku protokol keamanan yang diterbitkan LBH Pers dan Kemitraan disinyalir sangat bagus dan membantu. Apalagi, di era sekarang tantangan menjadi semakin besar. Terutama kondisi yang serba online menyasar dengan cara digital.

“Hal ini dapat, memberi kesadaran baru bagi wartawan untuk menerapkannya,” pungkas Nasir.

Penulis: Almuhaimin Kembara Elmarbuni

Editor: Firlia Nouratama