Departemen Sejarah Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya (FIB) Universitas Indonesia atau UI gelar Seri Bincang Sejarah Rempang XVII. Bertajuk Dilema Rempang dalam Perspektif Sejarah dan Budaya. Diskusi berlangsung secara daring melalui platform Zoom pada Selasa (10/10).

Azhar Ibrahim Alwee, pemateri dari National University of Singapore awali diskusi.

Ia katakan bahwa bila ada suatu masalah, maka akan berujung dengan mencari bagaimana akar budaya dari permasalahan tersebut. Tambahnya, penjelasan budaya harus disandingkan dengan sejarah dan kebudayaan yang terstruktur.

“Penjelasan budaya harus disandingkan dengan sejarah dan kebudayaan yang terstruktur,” kata Azhar.

Didik Pradjoko, dari Departemen Sejarah FIB UI ujarkan, Masyarakat Maritim Nusantara dapat dibagi dalam tiga kelompok yaitu Orang Laut, Bajak Laut, dan Raja Laut.

“Orang Laut adalah semua kelompok masyarakat yang belum atau tidak mengenal bentuk organisasi kerajaan atau negara. Bajak Laut merupakan kelompok pelaut yang melakukan kekerasan, sedangkan Raja Laut adalah kekuatan laut raja-raja di Asia Tenggara,” jelas Didik.

Didik sebutkan di Kepulauan Riau, Suku Rempang termasuk bagian dari Orang Laut tersebut. Menurut sejarahnya, Orang Laut diartikan sebagai kategori sosial budaya dan identitas yang digunakan orang Melayu.

Hal ini merujuk kepada corak kehidupan dan budaya manusia dari kumpulan Orang Melayu yang mendiami pesisir pantai dan hidup di atas sampan atau perahu.

Sejalan dengan Didik, Dedi Arman tambahkan informasi dari catatan Elisha Netscher dalam Beschrijving van Een Gedeelte Der Residentie Riouw tahun 1854. Dalam catatan tersebut disampaikan bahwa ada Orang Laut, Orang Bugis, dan Orang Darat yang menetap di Pulau Rempang.

Peneliti dari Pusat Riset Kewilayahan Badan Riset dan Inovasi Nasional tersebut juga mengutip informasi dari P Wink, seorang Pejabat Belanda di Tanjungpinang pada tahun 1930.

P Wink tuliskan bahwa Orang Darat di Pulau Rempang hidup di pondok-pondok tanpa dinding dan hanya beratap.

Dedi juga jelaskan bahwa Orang Darat tersebut sempat dimukimkan. Namun kabur ke hutan karena tidak mampu beradaptasi dengan lingkungan.

“Orang Darat dipindahkan ke Pulau Rempang tahun 1973 dan dibangun 35 rumah, rumah ibadah dan fasilitas kesehatan dan pendidikan. Namun pada tahun 1977, Orang Darat kabur ke hutan karena tidak terbiasa hidup di rumah permanen beratap seng,” tutup Dedi.

Penulis: Alvin Arfinaldo

Editor: Fitri Pilami