Pilar Mazhab Sastra Riau: Antara Raja Ali Haji dan Sutardji

“Bahasa melayu disyairkan sudah

Sekalian kita tidaklah gundah

Mencari pahamnya jadilah mudah

Tiada pankang tunduk tengadah”

Lantunan syair tersebut dibacakan oleh Duta Bahasa Riau Laposa Mirta Dea Roja. Pada pembuka kegiatan Festival Sastra Melayu Riau 2023 oleh Rumah Kreatif Suku Seni Riau (RK-SSR).

Wahai Kaum Muda, pilih mazhab raja ali haji atau sutardji? (Telisik Karya Generasi Baru Sastra Riau), jadi tema pembahasan bincang pada sore di Studio RK-SSR pada Minggu (01/10).

Ketua RK-SSR Marhalim Zaini membuka kegiatan diskusi dengan rasa keprihatinan. Regenerasi penyair di Riau dirasakan kurang, tuturnya. Ia pun bandingkan dengan generasi muda daerah tetangga. Kegiatan sayembara Dewan Kesenian Jakarta dan media massa jadikan tolak ukur ketinggalan penyair Riau.

“Tentunya kita agak terseok-seok,” kata Marhailim.

Mazhab di Riau perlu dipertimbangkan kembali menjadi alasan dilaksanakannya bincang-bincang. Dirinya membedakan mazhab di Riau jadi dua poros, ialah Raja Ali Haji dan Sutardji. Kesastraan kedua tokoh ini sangat bertolak belakang .

“Raja Ali Haji mazhab yang rapi dan sopan, pemberontakannya pada Sutardji,” ucap pria 47 tahun itu.

Perlu adanya pendobrakan beserta narasi besar demi sastra Melayu. Pembahasan mazhab kedua tokoh ini menjadi salah satu caranya.

“Mari kita diskusi untuk membicarakan ini, sebebas-bebasnya dan seluas-luasnya.”

Lalu ada Hary B Kari’un,  redaktur budaya Riau Pos.

Hary—sapaan akrabnya ajak peserta diskusi mengenai prosa. Kehadiran prosa di tanah lancang kuning berawal dari karya-karya Mohammad Kasim dan Soeman Hasiboean. Tak sejalur namun sejalan. M Kasim banyak menulis cerpen ringan jenaka, sedangkan Soeman HS menulis novel bertema detektif serta romantika.

Menurut Hary generasi prosais Riau mulai menonjol pada saat generasi Sudarno Mahyudin, Hasan Junus, BM Syamsuddin, Ediruslan PE Amanriza, Fakhurnas MA Jabbar, dan Taufik Ikram Jamil.

Dimasa mereka mazhab perlawanan pada sastra Riau mulai hadir. Jika disatukan pada sebuah muara, perlawanan mereka akan bersuara sama. Yakni mengapa Riau yang kaya sumber daya alam ini menjadi miskin secara sosial dan sumber daya manusia, tutur Hary.

Mazhab perlawanan memiliki pemahaman atas gerakan sosial, pembangkangan, pemberontakan. “Pemberontakan baik dalam arti sebenarnya atau pikiran,” jelas Hary.

Dirinya mencontohkan beberapa penyair terapkan mazhab perlawanan. Pertama Taufik Ikram, setiap prosa yang dibuat Taufik suarakan ketidakadilan masyarakat di Riau. Kehadiran dua novel Taufik contoh pengimplementasiannya, yaitu Hempasan Gelombang dan Gelombang Sunyi.

Ediruslan jadi penyair selanjutnya. Bagi Hary, Ediruslan dalam menulis novel secara keseluruhan karyanya bertemakan makna perlawanan. Dikalahkan Sang Sapurba jadi salah satunya. Menyelisik lebih jauh, novel ini berkisah tentang masyarakat Rokan hulu berhadapan dengan kekuasaan dan kapitalisme.

Penulis buku Jazirah Layeela, Fakhurnas MA Jabbar juga gunakan mazhab perlawanan dalam penulisannya. Hary mencontohkan cerpen Fakhrunas dengan judul Kiamat Kecil di Sempadan Pulau.

Fakhrunnas menyisipi perasaannya penulisan cerpen tersebut. Saat tanah Riau menjadi ladang perburuan oleh pendatang, maka tak akan ada yang bisa mencegah persoalan sosial dan hukum alam yang muncul.

Selanjutnya hadirkan Boy Riza Utama sebagai pemateri. Boy—sapaan akrabnya katakan Raja Ali Haji merupakan intelektual dan penyair pujangga. Sutardji dalam penyair lebih mengunggah keberanian dalam dunia kata.

“Saya menyebut Raja Ali Haji sebagai seorang pelopor dan Sutardji itu sang pembebas,” ucap Boy.

Pemilihan mazhab menjadi inti diskusi jelas Boy Riza Utama. Antara mengikuti Mengikuti Sutardji yang menggunakan pembolak-balikkan kata atau Raja Ali Haji dengan karya Gurindam Dua Belasnya.

Latar belakang dalam penulisan seorang penyair dipengaruhi keadaan sekitar. Boy jelaskan kondisi Riau dapat dilihat dari sisi ekologis dan etika. Kehadiran sawit yang merusak lingkungan hingga satwa seperti harimau menjadi langka jadikan salah satu sisi ekologis. Sedangkan kasus masyarakat terpinggirkan jadi isu etika, kasus rempang contohnya.

Mazhab perlawanan identik dengan memberontak. Penyair di Riau memang masih memiliki estetika memberontak dalam dirinya. Hanya saja menurut Boy dampak yang dihadirkan belum berikan efek besar.

“Para penulis muda di Riau masih menyuarakan hal itu, tapi gemanya masih secuil batu,” ujar Boy

Kehadiran buku Romi Afriadi dengan judul Darah Pembangkang berikan harapan baru bagi penyair Riau menurut Boy. Mengaca hal tersebut, Boy beranggapan dalam beberapa tahun kedepan akan hadir penyair sekeras Sutardji.

“Mohon maaf ya, bicara kontol, pukimak dan segala macam tanpa kehilangan eksetetikanya,” ujar Boy yang menjelaskan gaya Sutardji dalam penulisan.

Memandang penyair Riau yang memiliki jiwa pemberontak dan saat dibandingkan dengan kondisi saat ini. Dirinya menyayangkan hilangnya estetika pembebasan dan pemberontak dalam penyair muda Riau.

“Bagi siapa yang ingin fokus kepada prosa ini harus bekerja keras,” tutup Boy.

Penulis: Afrlia Yobi

Editor: Arthania Sinurat