PERINGATAN: Artikel ini memuat deskripsi kesehatan mental dan gambaran rentan bunuh diri.

Layanan kesehatan mental bagi mahasiswa sangat dibutuhkan, dan layanan semacam ini harusnya bisa diberikan gratis oleh pihak kampus. Sampai sekarang UNRI belum proaktif memberikan layanan konseling kepada sivitas akademikanya.

Oleh Andi Yulia Rahma, Denisa Nur Aulia, Novita Andrian

Riska sedang tertidur pulas malam itu. Dalam keheningan, ia mendengar suara-suara berisik yang terdengar kabur. Pikirnya seperti ada keramaian. Kejadian ini sering ia alami sejak menjalani kuliah kerja nyata atau KKN 2021. 

Selama kegiatan itu, jika ada pertemuan di ruangan bersama teman-teman KKN-nya, ia merasa panik. Penglihatannya menyempit. Dinding di sekitarnya seakan bergerak maju ke arahnya. 

Pernah di lain waktu, ia dan teman-temannya sedang berkumpul. Ia melihat sekelompok orang tertawa. Dan ia merasa mereka sedang menertawakannya. Panik dan susah bernapas segera menyergapnya. 

Ia juga selalu bermimpi buruk yang sama dan terus berulang. Jika terbangun, ia langsung menuju kamar mandi atau mengurung diri di lemari. Dahulu, saat orang tuanya bertengkar, ia akan bersembunyi di dalam lemari. Ia terkurung dalam trauma.

Di saat kambuh dan berhalusinasi itulah ia merasa dekat untuk bunuh diri. Di pikirannya hanya bagaimana cara untuk mengakhiri hidupnya sendiri. 

Kejadian-kejadian itu membuat aktivisnya terganggu. 

Melihat keadaan Riska, teman KKN-nya menyarankannya berkonsultasi ke psikolog. Namun, ia terus menundanya karena kegiatan KKN-nya belum selesai.

Sampailah suatu waktu, Riska menyempatkan diri mendatangi sebuah klinik. Di sana, pegawai itu meminta Riska memperbanyak ibadah. 

“Coba dulu dibawa salat, dibawa zikir. Anak zaman sekarang emang kayak gitu,” ujar si pegawai itu.

Riska pun mengurungkan niat mencari tahu layanan pemulihan trauma. Meski begitu, ia masih berjuang untuk keadaaan kesehatan mentalnya. 

Pada Juli 2021, Riska memilih mendatangi Rumah Sakit Jiwa Tampan. Di sana, dokter spesialis jiwa yang menanganinya menyarankan agar ia membawa foto masa kecil jika ingin berkonsultasi kembali. Pada pertemuan berikutnya, ia membawa sebuah foto masa lalu dirinya.  

Dengan foto itu, dokter bertanya tentang masa kecilnya. Riska mejawab sesuai ingatan. Dokter berkata trauma masa kecil menjadi pemicu trauma. 

Riska sempat menyangkalnya sebab merasa baik-baik saja saat masa kecil. Psikiater menyebut perasaan masa lalu yang terkubur itu lambat laun meledak. 

“Mungkin karena dulu dibawa happy jadi tak sadar perasaannya tersakiti.”

Belum puas, Riska mendatangi sebuah klinik demi dapat surat rujukan ke Aulia Hospital, rumah sakit swasta dekat kampusnya. Ia diterima dan mendapatkan sesi konsultasi, juga obat antidepresan, yang lebih cocok dan nyaman.

Dari sana, Riska didiagnosis mengidap skizoafektif. Gabungan skizofrenia dan depresi. Bukan hanya gangguan suasana hati seperti bipolar, tapi juga gangguan psikotik; pikirannya gampang terganggu; halusinasi, ilusi, dan delusi. 

Dokter itu menyebut penyakitnya tak akan sembuh. Namun, dengan bantuan obat dan konseling, gejalanya dapat diminimalisir. Putus asa sempat dirasakan Riska. Alasannya karena seumur hidup akan mengalami gangguan skizoafektif. 

Obat yang dikonsumsinya bisa mengurangi rasa paniknya. Tapi, saat ia dalam tekanan berat, rasa sakitnya tidak berubah. Obat itu membantunya mengantuk sehingga ia bisa tidur tanpa memikirkan masalah dan tanpa bermimpi buruk. 

Tak hanya Riska, Sekar adalah salah satu mahasiswa UNRI yang mengalami disabilitas mental. Ia didiagnosis psikolog mengidap anxiety dan depresi ringan. 

Sekar masih sanggup beraktivitas di kampus, meski tak seintens dulu. Ia mulai khawatir berlebihan dan menutup diri. 

Apa yang dirasakan Sekar bukan tiba-tiba. Perundungan yang dialaminya menjadi punca, terutama saat ia dicela fisiknya dan ditertawakan di depan teman-temannya. 

Pressure,” ucapnya, “kata-kata yang membuat aku down.” 

Ditambah, Sekar sudah harus menuntaskan kewajibannya sebagai mahasiswa semester akhir. Ia menjalani tugas akhir dengan keadaan tidak nyaman. Sekar bahkan ketakutan menemui dosen pembimbingnya. 

UNRI Minim Layanan Kesehatan Mental

Riska dan Sekar merupakan mahasiswa yang sadar akan kesehatan mental. Namun, kesadaran saja ternyata tak cukup. Mereka harus merogoh kocek lebih dalam. Apalagi status mereka mahasiswa. 

Sekar berhenti konseling via layanan telemedis karena biayanya relatif mahal. Ia lebih memilih cerita ke teman-temannya. 

Sementara Riska bergantung dengan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial atau BPJS. Sebelum ditanggung BPJS, Riska pernah mengeluarkan biaya Rp500-700 ribu untuk satu konsultasi dan mendapatkan obat antidepresan. 

Sekalipun kini sudah ditangggung BPJS, pelayanan yang ia dapatkan menurutnya masih kurang cukup, yaitu hanya 15 menit, terlebih antreannya panjang. 

“Harusnya ada konseling di kampus,” keluh Riska.

Riska berharap Kampus Biru Langit harus lebih masif lagi sosialisasi tentang kesehatan mental. Setiap fakultas juga harus mempunyai fasilitas konseling. 

Sekar berharap hal sama. Kampus harus lebih sadar dan membuka mata lebar-lebar akan kesehatan mental termasuk dan terutama kepada mahasiswa. 

Idealnya, pendidikan tinggi perlu menyediakan layanan konseling. 

Di Universitas Gadjah Mada misalnya, setiap fakultas di sana sudah dilengkapi konseling. Kampus di Yogyakarta ini bahkan menyediakan layanan konseling gratis di klinik kampus (Gama Medical Centre). 

Layanan konseling tatap muka dan curhat daring pun tersedia di Pelayanan Konseling Klinik Satelit Universitas Indonesia. Layanan ini gratis bagi seluruh sivitas akademika. UI bahkan menggelar beberapa kegiatan tahunan, di antaranya pelatihan dosen konselor, pelatihan sesama konselor dan edukator kesehatan, skrining kesehatan mental serta kuliah WhatsApp Hari Kesehatan Mental Internasional. 

Berbeda dengan dua kampus negeri itu, layanan konseling di Rumah Sakit Pendidikan Universitas Riau mangkrak setahun belakangan. 

Wakil Direktur Pelayanan Medik & Keperawatan UNRI, Dwi Novitasari, berkata pihaknya masih mencari psikolog yang akan ditugaskan di sana. Alasannya, kontrak kerja dengan psikolog yang pernah bertugas di sana sudah habis. 

Sementara itu, di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan jurusan Bimbingan Konseling, terdapat Pusat Konseling Mahasiswa yang kini berganti nama Konseling mahasiswa atau Konsma. 

Galuh Pramesthiningrum, Ketua Divisi Konsma, berkata mereka tidak hanya menerima konseling mahasiswa UNRI, tapi juga dari beberapa universitas lain seperti Universitas Islam Riau, Universitas Muhammadiyah Riau, Universitas Andalas, dan Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara. 

Mereka yang bukan berasal dari UNRI akan melaksanakan konseling online melalui WhatsApp. 

Mahasiswa yang konseling akan disuguhkan dua pilihan konselor. Pertama, konselor sebaya yang diperankan mahasiswa bimbingan konseling yang tergabung dalam divisi Konsma. Kedua, konselor profesional oleh dosen di jurusan bimbingan konseling. 

Menurut Galuh, Konsma sudah berusaha memaksimalkan informasi soal ketersediaan layanan ini, di antaranya lewat poster cetak seluruh kelembagaan di FKIP serta melalui media sosial. 

Sampai tulisan ini diterbitkan, Konsma mencatat ada 11 mahasiswa yang sedang menjalani konseling. 

Tingkat Depresi, Kecemasan, dan Stres

Guna menggambarkan pentingnya kampus responsif atas kondisi kesehatan mental mahasiswa, redaksi Bahana Mahaiswa melakukan survei daring kepada mahasiswa UNRI dengan metode Depression, Anxiety and Stress Scales (DASS). 

Alat ukur ini untuk menjaring tingkat keparahan gangguan depresi, kecemasan, dan stres responden yang mengisi survei. Kami membagikan survei lewat akun Instagram dan WhatsApp.

Metode DASS memuat 42 pertanyaan, masing-masing menunjukkan gejala gangguan tertentu. Setiap pertanyaan diberi skor untuk menggambarkan tingkat gangguan mental yang dialami responden. 

Kami menyebar survei daring selama Februari–Maret 2023 dan mendapatkan 191 responden dengan rentang umur 18–24 tahun. Hasilnya: 

  • 110 responden mengalami kecemasan, mulai dari tingkat sedang hingga sangat berat. 
  • 41 responden mengalami gangguan depresi sedang hingga sangat berat. 
  • 17 responden mengalami stres tingkat sedang. 
  • 23 responden tidak mengalami gangguan mental (depresi, kecematan, stres). 

Dari 191 responden, kami mendapatkan: 

  • 10 responden mengalami gangguan depresi dan cemas dengan tingkat sangat berat.

Psikolog klinis di Pekanbaru, Zahrah Muhammad, membagikan ceritanya kepada kami bahwa mayoritas yang konseling ke dirinya adalah mahasiswa, yang kebanyakan mengalami gangguan kecemasan dan depresi. Gangguan mental jenis ini dinilai Zahrah paling sering terjadi pada mahasiswa semester akhir. Pemantiknya adalah tugas akhir. 

Mulanya mereka ogah-ogahan konseling. Ketika usia kuliah di pengujung tanduk, barulah mereka bingung dan tertekan, kata Zahrah. Hal itu mempengaruhi kesehatan mental mereka. 

Mereka biasanya curhat masalah keluarga, pertemanan, hingga hubungan asmara. 

“Masalahnya macam-macam dan kadang yang datang konseling cuma mau didengar,” kata Zahrah. 

Tak ada gambaran umum yang menunjukkan seseorang dengan gangguan mental. Hanya saja, kita mungkin diduga menyimpan gangguan mental saat mengganggu kegiatan sehari-hari kita. Lebih lanjut, perasaan kita mudah sensitif. Kita mudah menangis. Pikiran kita tak bisa dikendalikan. Kita sulit tidur nyenyak. 

Bila sudah demikian, bahkan sampai membuat kita mangkir kuliah dan menyetop aktivitas harian, segeralah minta bantuan tenaga profesional, saran Zahrah.  

“Bicara dengan psikolog atau psikiater tidak melulu harus punya gangguan,” tambahnya.

Riska, yang didiagnosis mengalami skizoafektif, pernah dalam satu periode tertentu menutup diri dari keramaian. Ia tak pernah keluar rumah. Rentang September sampai November 2021 adalah waktu terpuruk baginya. Pandemi Covid-19 setidaknya membantunya. Perkuliahan saat itu daring sehingga tak perlu datang ke kampus. 

Lambat laun, Riska mulai memberanikan diri menceritakan kondisinya kepada temannya. Dan ia menerima dukungan dari orang-orang terdekatnya. Ia bersyukur, karena dari dukungan itu setidaknya ia mulai bisa menata hidupnya. 

Riska mulai bisa mengendalikan diri saat kambuh. Ia biasanya menenangkan diri, seperti memeluk diri sendiri dan menyebutkan kalimat-kalimat positif. 

“Ini khalayan,” ucapnya. “Nggak apa-apa. Nggak apa-apa.”

 

Artikel ini didukung beasiswa liputan Yayasan Pantau