(Foto: Suku Seni Riau)
Tiga kajang, bangunan serupa rumah Orang Laut terpasang di panggung. Kajang di tengah berdinding bambu, dua lagi berdinding plastik. Atapnya dari daun rumbia. Tali seperti jemuran menyambung dari kajang satu ke kajang lain. Sampah plastik teronggok di tengah, diantara tiga kajang. Hitam mendominasi panggung.
Mula-mula siul, lalu nyanyian perempuan berpadu tiupan didjeridu—seperti suling—terdengar lirih. “Sempadan telah tenggelam, jadi garam, jadi ikan, ketika linggi merapat ke selat ke Melaka mencari matahariâ€.
Lampu perlahan hidup, kini jingga yang mendominasi. Seorang lelaki setengah membungkuk dengan janggut dan rambut panjang yang memutih muncul dari balik plastik kajang sebelah kiri. Ia bermonolog mengulang nyanyian tadi.
Musik dengan ritme cepat kemudian bartalu-talu, “Gong, tuk, tuk, gong, tuk, tuk, gong….†Adegan berganti, pemeran kemudian tampilkan aktivitas Orang Laut. Para lelaki menombak dengan bambu. Perempuan mencuci, memasak, dan menidurkan anak. Mereka peragakan dengan tarian joget diantara tumpukan plastik, simbol bahwa laut kini menjelma jadi pembuangan sampah.
Video monokrom lalu diputar, terlihat aktivitas Orang Laut, rumah kajang dan laut bersih. Seorang lelaki bertubuh gempal yang sejak tadi di panggung teriak, “Lanun, lanun, lanun!†Orang-orang berkumpul dan menegakkan tombak lalu berdiri mematung.
Video kembali diputar, gambaran gedung perkotaan silih berganti.
Anak-anak dan warga terhasut untuk meninggalkan laut, beranjak ke darat, meninggalkan seorang ibu yang menggendong bayi dan lelaki tua. “Kesetiaan ini tuan-tuan, adalah sumpah kita pada laut, sumpah kita pada sejarah yang kalah. Laut ini kebun kita, laut kampung kita, laut nyawa kita,†ujar lelaki tua coba mempertahankan identitas suku laut.
“Laut ini kebun sampah, laut ini kampung sampah, nyawa kita pun akan jadi sampah,†jawab mereka sambil berlalu pergi.
“Padahal sampah itu datangnya dari darat dan laut jadi tong sampah,†lelaki tua tetap coba menahan. Namun orang-orang tetap pergi, mereka takut mati di laut yg kini tercemar limbah, mereka ke darat.
Mereka beranjak tapi langkahnya terlihat berat. Seolah ada kekuatan besar yang menarik, mereka malah berjalan mundur. Terjadi pergolakan dalam diri mereka, apakah tetap di laut atau beranjak ke darat. Satu persatu mereka berjalan, keluar dari panggung. Lampu redup.
Begitulah kehidupan sehari-hari Orang Laut yang digambarkan Marhalim Zaini dalam pertunjukan teater-puisi berjudul Hikayat Orang Laut, di Anjung Seni Idrus Tintin Pekanbaru, 28 sampai 29 Juli.
Ia suguhkan model simbolik dengan memadukan teks puisi dan eksplorasi teatrikal sebagai kolase sejarah kecil, terpecah-pecah dalam kitab sejarah yang belum dituliskan. Naskah ini bercerita soal kekalahan Orang Laut menghadapi kehendak kekuasaan dan menghadapi dirinya sendiri dalam lintasan hikayat melayu, antara peradaban darat dan peradaban laut.
Selain itu, Marhalim Zaini ingin mengajak penonton berfikir kembali bahwa laut bukan tempat sampah. “Hari ini sampah plastik menjadi isu dunia. Bicara tentang Orang Laut maka tak lepas dari berbicara tentang lingkungan.â€
Penampilan ini berhulu dari puisi karangan Marhalim Zaini pada 2010 lalu dengan judul yang sama. “Puisi yang saya buat adalah hasil perjalanan di Kepulauan Riau,†jelas Marhalim Zaini yang juga Ketua Pengurus Rumah Kreatif Suku Seni Riau. “Disana orang-orang punya pola hidup di laut, beraktivitas dan tinggal di sampan kajang. Bagi Orang Laut, darat ialah kuburan sebab mereka ke darat hanya untuk menguburkan keluarganya yang meninggal dunia.â€
Peradaban dunia awalnya dari laut. Orang-orang berlayar sambil berdagang, berdakwah dan menyebarkan kebudayaan. Dahulu orang menganggap laut sebagai halaman depan, berbanding terbalik dengan hari ini.
Panglima Raja Haryono, Orang Laut yang menyeberang ke darat, ikut menikmati suguhan teater-puisi ini. Pertunjukan tersebut mampu membuat Haryono bernostalgia. Ia teringat dinamika yang terjadi awal ia ke darat.
“Orang yang pindah ke darat semula dianggap penghianat,†kata Presiden Orang Laut itu ditengah bangku penonton sesaat pertunjukan selesai.
Ia cerita, Pemerintah Daerah Indragiri Hilir upayakan perpindahan Orang Laut ke darat pertama kali pada 1984 namun gagal total. Semua enggan pindah karena jarak rumah ke laut cukup jauh, menempuh setengah jam. Â Perpindahan kedua kemudian dilakukan pada 1994. Pemerintah dirikan rumah panggung dengan konsep diatas laut. Berlokasi di Concong Luar, Indragiri Hilir. Ide tersebut berhasil membuat empat puluh kepala keluarga pindah.
Panglima Raja Haryono dalam blognya—oranglautindonesia.wordpress.com—jelaskan perlunya perhatian pemerintah pada Orang Laut. Catatan lengkap tentang sejarah hidup Orang Laut hingga kini tidak ada, “Padahal dahulu Orang Laut memiliki kejayaan dan kegemilangan layaknya bangsa lain yang tercatat dalam sejarah.â€
Tak lama kemudian, lampu kembali menyala. Pemeran yang berada di luar, kembali masuk ke panggung. Musik mengiring para lelaki yang berjalan ke segala arah panggung, kepala mereka tertutup plastik, tubuhnya terjaring. Perempuan memikul ember dengan kain sarung juga ikut terjaring bersama dalam satu komposisi. Saling tarik menarik terjadi. Suasana menggambarkan kekalahan Orang Laut di daratan.
“Kota-kota tumbuh bagai ilalang, dalam rumah para pedagang. Laut, tak lagi kami punya. Pada tanah, tak pula berkuasa,†monolog seorang perempuan ditutup dengan nyanyian. Hikayat Orang Laut usai.