Beberapa waktu terakhir, kita semua turut berduka melihat banjir bandang dan tanah longsor yang menerjang sebagian besar wilayah Sumatra. Duka yang mendalam menyelimuti lebih dari 500 nyawa melayang, lebih dari 200 orang hilang, banyak keluarga kehilangan tempat tinggal dan masa depan mereka. Namun, di tengah penderitaan yang begitu besar ini, status bencana nasional belum juga ditetapkan. Ini membuat kita bertanya-tanya, apakah ini hanya cuaca ekstrem yang tak terhindarkan, ataukah ada andil kegagalan sistem dan keserakahan yang tak terkendali dalam tragedi ini?
Baca Juga Apakah Pancasila Masih Ada atau Hanya Menjadi Ornamen Kekuasaan?
Tragedi ini bukanlah kejadian yang datang begitu saja. Badan Nasional Penanggulangan Bencana menjelaskan bahwa meskipun hujan deras adalah pemicunya, masalah utamanya jauh lebih dalam, yakni tanah dan lingkungan Pulau Sumatera kian rapuh setelah bertahun-tahun mengalami tekanan. Alam, yang seharusnya menjadi pelindung kita, kini kehilangan kemampuannya sendiri. Kemampuan itu terkikis seiring deforestasi besar-besaran. Sejak 1980-an, jutaan hektar hutan primer baik itu di Sumatra Utara, Sumatera Barat, Aceh, Riau, dan Jambi telah lenyap, sebagian besar karena perluasan perkebunan kelapa sawit, industri kayu, dan pembalakan liar. Seperti yang kita tahu, hutan sejatinya ibarat ‘spons’ raksasa yang menyerap air hujan, mencegah erosi, dan menjaga tanah tetap kokoh. Namun, saat hutan diganti lahan terbuka, air hujan yang turun deras tak lagi terserap perlahan. Ia langsung menerjang permukaan, menyeret tanah dan batu tanpa ampun. Maka, longsor yang kita saksikan bukan lagi kejutan, melainkan puncak dari kerusakan ekologis yang telah menumpuk selama puluhan tahun.
Bencana di Sumatra adalah buah pahit dari keputusan-keputusan yang salah dalam menjaga lingkungan, yang terus berulang dan seolah disengaja. Ini adalah hasil dari puluhan tahun ‘penjarahan’ ekologis, yang kadang dilegalkan melalui izin pemerintah, kadang juga dilakukan secara ilegal melalui penebangan liar yang luput dari pengawasan. Keserakahan ini seolah telah menjadi bagian dari sistem. Regulasi yang mempermudah pembukaan lahan, minimnya evaluasi terhadap izin-izin, serta tekanan ekonomi yang selalu mendahulukan keuntungan jangka pendek di atas kelestarian lingkungan, telah menciptakan luka yang mendalam. Lembaga lingkungan seperti WALHI Sumatra Utara misalnya, berulang kali memperingatkan bahwa banyak titik rawan longsor telah masuk kategori darurat ekologis. Namun, bahkan ketika tanah sudah dalam bahaya, izin-izin pembukaan hutan tetap saja diberikan. Hutan ditebang, izin dikeluarkan, bukit dirusak, sungai menyempit, hujan turun, bencana datang, dan rakyatlah yang akhirnya menjadi korban. Ketika kita sebagai sebuah bangsa menolak melihat akar masalah ini, bencana akan selalu dianggap takdir, bukan sebagai konsekuensi dari pilihan-pilihan kebijakan yang keliru.
Kerusakan alam selalu terhubung erat dengan bagaimana masyarakat memperlakukan kelompok-kelompok yang lemah. Yang lebih memilukan lagi, lambatnya penanganan pasca-bencana memicu krisis sosial yang nyata. Ketiadaan status bencana nasional membuat penyaluran bantuan besar-besaran menjadi terhambat. Realitas pahit ini mendorong orang pada titik keputusasaan, seperti yang terjadi di Sibolga, Sumatra Utara, di mana warga korban bencana terpaksa menjarah gudang Bulog, warga di Aceh Tamiang terpaksa harus minum air banjir dikarenakan krisis pasokan air minum. Bencana yang menimpa Sumatera kali ini merupakan sebuah cermin yang paling jujur bahwa sistem pemerintahan telah gagal memenuhi kebutuhan dasar warganya yakni pangan, air, dan rasa aman. Insiden ini menunjukkan bahwa ketika bantuan tak kunjung tiba, moral sosial bisa runtuh, dan naluri untuk bertahan hidup mengambil alih semua solidaritas.
Pada akhirnya, kita harus menyadari bahwa Sumatra tidak runtuh karena usia atau kehendak alam semata; ia runtuh karena kita, manusia yang seharusnya melindunginya, justru mengambil kapak dan gergaji, lalu berpura-pura tak melihat akibatnya. Masalah kita bukanlah ketiadaan hutan, melainkan ketiadaan niat baik yang tulus untuk menjaga dan merawatnya. Selama pohon masih dilihat hanya sebagai komoditas yang bisa ditebang, sungai hanya dianggap kanal untuk industri, dan pemerintah hanya menunjukkan diri ketika sorotan media menyala, maka bencana ekologis seperti ini bukanlah ancaman yang jauh, melainkan sebuah keniscayaan yang akan terus menghantui kita. Mari kita bersama membangun kembali niat baik itu, sebelum semuanya terlambat dan terulang lagi.
Penulis: Hizkia Jonathan Purba, Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Riau
*Rubrik opini, penulis bertanggung jawab atas keseluruhan isi. Bahana Mahasiswa dibebaskan atas tuntutan apapun. Silakan kirim opini Anda ke email bahanaur@gmail.com

