Saya baru membaca Tan Malaka, Dari Penjara ke Penjara. Kebetulan saya membacanya di dalam penjara, dan suasana itu—lekuk ruang, bau lembab, rasa asing yang menusuk—membuat gagasan-gagasannya terasa lebih dalam. Tempat yang selama ini dianggap publik sebagai ruang gelap kriminalitas, bagi saya justru tampak seperti sebuah biara sunyi: sebuah ruang perenungan yang anehnya terasa sakral, meski retak di banyak sisi.
Memasuki Dunia Bernama Penjara
Pertama kali saya ditahan di Rutan Polda Metro Jaya, saya menginap sendirian di tengah malam. Bayangan kekerasan dan cerita-cerita gelap menghantui pikiran hingga saya tak berani menyapa siapa pun. Dua bulan saya habiskan di sana sebelum dipindahkan ke Rutan Kejaksaan, lalu akhirnya ke Rutan Salemba.
Dalam satu kalimat: penjara bukan untuk pemula.
Dunia di balik jeruji tidak dapat dibayangkan oleh orang di luar. Hotel prodeo bukan selamanya gelap, tetapi kompleks. Banyak narapidana menjadikannya tempat pencarian spiritual, meski bersamaan dengan itu juga ada penindasan yang begitu nyata. Di tulisan ini, saya mencoba merekam perjalanan batin yang dialami beberapa tahanan politik di era sekarang—perjalanan yang, sayangnya, tidak steril dari problem.
Perubahan Mental dan Rasa Bersalah
Cerita pertama yang saya dengar adalah tentang Pramoedya. Ia pernah tinggal di blok tua buatan Belanda—ruang baja tebal, mungkin sepuluh sentimeter, dengan sel-sel sempit berukuran empat kali dua meter. Puluhan sel disatukan oleh lorong panjang dan ditemani televisi yang tidak pernah dimatikan.
Masuk ke ruang sempit itu, yang paling menyiksa bukan teralisnya, melainkan perubahan mentalnya. Ada rasa bersalah yang tidak lahir dari tindakan kriminal, tetapi dari cara negara memperlakukan para aktivis. Namun rasa bersalah terbesar saya tujukan pada keluarga: perpisahan mendadak, kunjungan yang tidak pasti, dan wajah mereka yang terseret masuk ke dalam persoalan saya. Malam-malam awal diisi dengan tangisan yang tidak pernah muncul ketika saya merantau untuk kuliah—padahal sama-sama jauh dari rumah.
Di sini semua orang dipaksa bertobat. Bertobat bukan dalam arti moral tunggal, tetapi dalam arti menemukan kembali keseimbangan diri. Kalau tidak, hati tidak akan pernah tenang. Dan ketenangan adalah barang langka di balik jeruji.
Penjara sebagai Biara, Tapi Aktivisme Tidak Bisa Hidup Hanya dari Doa
Penjara mengingatkan bahwa kita adalah makhluk lemah yang bergantung sepenuhnya pada Tuhan. Namun aktivisme—espiritmu dan semangat kawan-kawan—tidak mungkin didorong hanya dengan doa dan ketenangan. Perubahan tidak lahir dari kontemplasi semata. Ia membutuhkan gerak, strategi, dan massa.
Karena itu, romantisasi penjara sebagai tempat “para pendiri bangsa berproses” sebenarnya perlu dipatahkan. Pram di penjara menulis. Tan Malaka di penjara bergerilya dan mematangkan ide politik. Mereka tidak larut dalam kesunyian, mereka bekerja.
Romantisme yang Menyesatkan dan Penindasan Baru
Hari ini, para aktivis—baik yang ditangkap maupun yang masih di luar—seperti perahu-perahu muda di laut tenang bernama Indonesia. Setiap kali layar dikembangkan, badai muncul; dan negara pun mengirimkan marinirnya. Beberapa dari kami masuk penjara, dan sebagian menganggap ruang ini istimewa karena sejarah para tokoh bangsa. Namun di dalam penjara, romantisme itu cepat runtuh.
Saya kecewa pada banyak aktivis.
Yang di luar: kebungkaman paling halus sekaligus paling menyakitkan, apalagi terhadap mereka yang dulu lantang bicara tentang keberanian.
Yang di dalam: sebagian justru menjadi penindas baru.
Pertanyaan yang mengusik saya setiap hari:
“Mengapa kalian, yang mestinya berdiri bersama yang tertindas, justru mengulang pola penindasan? Mengapa idealisme kalian runtuh begitu cepat?”
Saya menyaksikan bagaimana sebagian kecil aktivis mereproduksi relasi kuasa persis seperti yang mereka kritik di luar. Ada yang memonopoli akses, ada yang menekan yang lebih lemah, ada yang memanfaatkan reputasi. Melihatnya dari dekat membuat saya ragu, apakah saya sedang bersama kawan, atau bersama wajah baru dari fasisme.
Kalimat “mungkin belum kebagian” menjadi candaan getir yang mencerminkan kenyataan: beri seseorang kekuasaan, dan sifat aslinya akan terlihat.
Momentum yang Terbuang
Hidup dari penjara ke penjara adalah masa transit. Di sinilah seseorang seharusnya menepi, mengisi ulang diri, menyusun ulang strategi. Bagi tahanan politik, ini seharusnya menjadi momentum penting untuk memperbarui arah perjuangan.
Namun sebagian dari mereka justru terjebak dalam penokohan. Momentum menjadi komoditas. Peristiwa besar berubah menjadi panggung akumulasi reputasi dan keuntungan simbolik—dan saya pun kadang merasa turut bersalah, karena tidak selalu sadar bahwa saya juga bagian dari arus itu.
Padahal gagasan besar—seperti yang pernah lahir di Pati—menuntut kita untuk kembali pada tugas muda: menolak segala bentuk kebathilan dan melawan apa pun yang menindas rakyat.
Namun bagaimana mungkin kita melawan penindasan besar, jika dalam lingkup sempit saja kita melanggengkan penindasan baru?
Kekecewaan pada Pemerintah dan Gerakan
Saya tentu kecewa pada pemerintah yang gagal belajar dari sejarah dan semakin haus kekuasaan. Namun kekecewaan terbesar saya justru pada gerakan itu sendiri. Tahun ini kita kalah bertubi-tubi, dan rasanya tidak ada satu pun yang benar-benar dimenangkan. Korban luka, korban yang gugur, dan mereka yang dipenjara—semua terasa sia-sia jika gerakan patah sebelum bertarung.
Saat melihat sendiri bagaimana privilege membuat sebagian aktivis menindas di dalam penjara, saya sempat kehilangan optimisme. Sumber luka itu bukan musuh, tetapi kawan.
Tiga Jalan Untuk Memperbaiki Gerakan
Agar gerakan tidak membusuk dari dalam, ada tiga hal yang menurut saya mutlak:
1. Menolak relasi kuasa dalam aktivisme.
Siapa pun Anda—ketua LSM, tokoh gerakan, atau kader muda—Anda bagian dari kolektif. Suara Anda boleh keras, tetapi kuasa Anda tidak lebih tinggi dari yang lain.
2. Menolak bungkam.
Saya pun sering bungkam. Namun ketika kekuasaan menindas, tidak ada ruang untuk diam. Aktivis seharusnya berdiri bersama yang lemah, bukan menjadi penindas baru.
3. Menolak penokohan.
Tokoh gerakan bukan pejabat. Ia hanya pengorganisir, bukan pemilik kebenaran. Justru tokoh yang terlalu sering mengklaim kebenaran patut diwaspadai, sebab di balik itu biasanya tersimpan dorongan untuk berkuasa.
Penutup: Layar yang Akan Terbentang Lagi
Saya tahu lebih mudah mengkritik pemerintah yang semakin otoriter. Namun kekuatan rakyat hari ini lemah bukan hanya karena represi negara, tetapi juga karena retaknya gerakan dari dalam.
Maka pertanyaannya:
Ketika masa transit ini berakhir, dan kapal muda itu kembali ke laut, apakah kita masih berani menantang gelombang?
Jawaban saya sederhana:
“Jika hanya ada 1% kemungkinan menang melawan rezim yang korup, itu masih ide yang layak diperjuangkan”
Penulis: Khariq Anhar, Mahasiswa Universitas Riau
*Rubrik opini, penulis bertanggung jawab atas keseluruhan isi. Bahana Mahasiswa dibebaskan atas tuntutan apapun. Silakan kirim opini Anda ke email bahanaur@gmail.com

