GEREJA-gereja dibakar. Masjid-masjid dihancurkan, diobrak-abrik maupun disegel. Gapura dilarang dibangun. Semua kejadian ini pernah terjadi di Riau.

Gereja Pentakosta di Indonesia (GPDI), Gereja Batak Karo Protestan (GBKP), Gereja Methodist Indonesia (GMI) yang terdapat di Kuantan Singingi dibakar pada awal Agustus 2011.

Kasus masjid lebih banyak lagi. Tahun 2007 Masjid Al-Mubarak di Duri diobrak-abrik. Tahun 2008 Masjid Mubarak di Mahato Rokan Hilir dihancurkan. Tahun 2010 Masjid Mubarok di Tuah Karya Pekanbaru disegel. Februari 2011 Masjid di Tapung Hilir Kampar disegel. April 2011 Masjid An-Nasir di Pekanbaru Kota juga disegel. Semua masjid ini milik Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI).

Masih ada lagi peristiwa intoleran yang terjadi. Desember 2012 Gapura China Town di Jalan Karet Pekanbaru dilarang dibangun. Semua dilakukan warga intoleran maupun pejabat pemerintah setempat melalui legalisasi surat perintah penghentian kegiatan.

Perbuatan intoleran ini, baik langsung maupun tidak langsung, dilegalisasi oleh pemerintah pusat melalui produk hukum. Tahun 2006, Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri mengeluarkan peraturan mengenai pembangunan rumah ibadah. Sebanyak 150 tanda tangan yang dibutuhkan untuk membangun sebuah rumah ibadah—90 tanda tangan dari jemaat dan 60 tanda tangan dari warga sekitar—membuat sebagian umat Kristen kesulitan membangun gereja.

“Bagaimana kita bisa minta orang Islam tanda tangan? Keluarga Muslim terdekat tinggal 500 meter dari gereja kami. Lainnya sekitar dua kilometer. Bagaimana kita bisa cari 60 orang? Peraturan itu mungkin cocok di kota-kota. Tapi tak mungkin dijalankan di sini, di tengah kebun,” kata Abjon Sitinjak Pendeta GPDI.

Produk hukum lainnya menjerat pengikut Ahmadiyah. Surat Keputuan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri tahun 2008 membuat para Ahmadi—sebutan untuk penganut Ahmadiyah—menjadi minoritas yang terdiskriminasi. SKB 3 Menteri tersebut dijadikan legalitas bagi warga intoleran maupun pejabat pemerintah setempat untuk merusak, menghancurkan maupun menyegel masjid-masjid milik Ahmadiyah di berbagai daerah di Riau.

Persoalan belum selesai sampai di situ. Media di Riau, terutama media online, turut memperuncing masalah melalui pemberitaan-pemberitaannya. Label “ajaran sesat”, “penyadaran”, “diluruskan”, “disyahadatkan” yang disematkan oleh media untuk para penganut Ahmadiyah membuat kalangan minoritas ini makin terdiskriminasi di antara mayoritas.

Padahal kita tahu esensi jurnalisme adalah disiplin verifikasi. Bias wartawan dalam meliput isu agama, menurut hasil survei Yayasan Pantau Jakarta soal persepsi wartawan mengenai agama, disebabkan kekurang profesionalitasan wartawan. Dari 600 responden yang diwawancara, separuhnya mengakui hal tersebut. Mereka bias dalam meliput isu agama. Mereka kurang profesional dalam meliput isu agama. Maka tak heran bila kemudian muncul label-label bernada menghakimi tersebut.

Kita tentu paham makna UUD 1945 pasal 28E. Bahwa setiap orang bebas mengeluarkan pendapat. Termasuk pendapat yang tak sepaham dengan ajaran Ahmadiyah maupun ajaran Kristen. Namun apakah ketidak sepahaman tersebut harus disalurkan lewat jalan kekerasan? Harus dengan membakar gereja? Harus dengan merusak, menghancurkan maupun menyegel masjid? Bukankah negara kita juga menjamin hak setiap warga negaranya untuk memeluk agama dan beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu? #