Ekonomi dunia memang dalam proses menjagat. Globalisasi  ekonomi kembali sejak tahun 1980-an, yaitu dengan terbentuknya berbagai kelompok ekonomi kawasan seperti ASEAN, bahkan antar benua seperti APEC juga. Sebenarnya globalisasi ekonomi Nusantara sudah terwujud sejak millennium pertama. Rempah dan hasil hutan dipertukarkan dengan kerajinan tembikar dan logam oleh para pedagang India, Arab, Persia, dan China berniaga ke kawasan itu.
Pada pertengahan Abad 16, penjelajah bangsa Eropa Portugis, Spanyol Belanda, dan Inggris juga datang ke Nusantara membeli rempah dan tembikar. Perdagangan berkembang dengan pertukaran barang dagang tersebut dengan emas dan logam lainnya. Malangnya perdagangan itu berujung dengan penjajahan yang panjang, ratusan tahun. Dari penjelajah, berdagang menjadi penjajah.
Tahun depan, kurang dari 10 bulan dari sekarang, ASEAN akan memasuki babak baru. Yaitu Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015. Atau resminya disebut ASEAN Economic Community 2015 disingkat AEC 2015. Itu adalah suatu langkah menuju perpaduan ekonomi Perkumpulan Bangsa-bangsa Asia Tenggara yang disepakati pada awal millennium ketiga tahun 2000 yang silam. Langkah itu diambil dalam kerangka proses menjagatnya ekonomi dunia, menjadi suatu ekonomi yang terpadu. Globalisasi yang memadukan ekonomi dunia berawal dari kawasan Eropa, Asia Tenggara, Amerika Utara, Amerika Latin, dan Afrika Barat.
Langkah memasuki AEC 2015 diambil sebagai bagian dari proses menjagatnya ekonomi dunia.  Keadaan yang dianggap sebagai tuntutan dan dinamika alamiah ekonomi dunia,yakni suatu ekonomi yang terpadu dalam arti tanpa rintangan kegiatan ekonomi di suatu kawasan. Suatu ekonomi dikatakan memadu karena hambatan lalu lintas orang, barang, dan modal secara bertahap atau langsung tanpa ada pembatasan kelembagaan seperti peraturan, beacukai, imigrasi, perdagangan, investasi dan lain-lain.
Globalisasi yang memadukan ekonomi dunia itu berawal dari kawasan Eropa. Lalu menjalar ke  Asia Tenggara (ASEAN), Amerika Utara (NAFTA), Amerika Latin, Afrika Barat dan lain-lain. Dalam bentuk serupa tapi tujuannya sama,  ada pula kelompok yang berdasarkan perkembangan ekonomi seperti D-8 perkembangan ekonomi yang penduduknya mayoritas muslim, G-20 gabungan 20 pemerintah berdasarkan besaran GDP. Juga pengelompokan berdasarkan kesejarahan ideology seperti COMECON perkumpulan negara-negara bekas Uni Sovyet.  APEC, BRICS dan lain-lain. Sebelumnya ada pula OECD (Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan) yang beranggotakan negara yang ekonominya maju , dan G-8 sebagai kelompok 8 negara industry maju dan makmur.
Berkaitan dengan integrasi ekonomi ASEAN dalam AEC 2015 itu, para pelaku ekonomi maupun pemerintah terkesan belum bertindak. Itu terbaca dari kritikan tentang persiapan yang dilakukan oleh para pelaku ekonomi maupun kebijakan yang belum jelas melembaga mengantisipasi integrasi ekonomi itu.  Ketika perdagangan bebas ASEAN-China (FTA-AC) yang sudah disepakati pada tahun 1994 dan diterapkan 2010, terlihat kedodoran Indonesia khususnya, ASEAN umumnya, selain Singapura dan Malaysia. Ketidak siapan pelaku ekonomi dan sebagian besar  negara ASEAN itu muncul dalam kedodoran tersebut.  Para pelaku ekonomi yang belum merasa siap, walaupun rentang waktu dari penanda-tanganan perjanjian ke pelaksanaan ada enam tahun, namun merasa kewalahan atas serangan telak produksi China.
Persaingan yang digalakkan oleh perdagangan bebas itu telah memporak-perandakan sebagian besar  industry dalam negeri yang lemah. Timbul dakwaan bahwa perjanjian perdagangan bebas itu  lebih banyak menguntungkan China. Pada hal idealnya tentu saja saling menguntungkan kedua pihak.  Dampak barang dan jasa yang diperdagangkan China yang relative lebih murah karena mutunya yang kalah dengan produk Jepang yang mahal. Bahkan industry elektronik Jepang kalah bersaing dalam harga dan meninggalkan Indonesia.  Penanam modal Jepang  pindah ke Vietnam dan China yang upah buruhnya lebih murah. Lalu digantikan oleh China dan Korea ‘menyerang’ dan menggantikan produk Jepang di Afrika, Eropa dan Amerika. Dengan Jepang dan Korea beberapa negara ASEAN juga mempunyai perdagangan bebas (FTA).
Itu terasa sekali dari segera membanjirnya produk ekspor China, pertanda kesiapan mereka yang prima. Sementara pelaku ekonomi dalam negeri mengumbar keluhan pertanda tidak siap sama sekali memasuki perdagangan bebas itu. Para pengusaha industri dalam negeri gagap dan kecut  atas serangan banjirnya barang-barang China itu. Bahkan ada di antara mereka yang menuntut perjanjian perdagangan bebas itu dibatalkan.
Tuntutan agar negara yang ekonominya lagi kuat itu agar menanamkan modalnya dalam industry di dalam negara ASEAN muncul dari Malaysia. Hal itu, tentu saja menguntungkan China, yang lagi banyak uang untuk ditanamkan, dengan menentukan syarat tertentu sambil memenuhi tuntutan Negara ruan rumah. China memang lagi besar sekali devisanya, sehingga menggeser Jepang sebagai Negara yang kekuatan ekonominya nomor dua di dunia. Apalagi duitnya lagi banyak itu segera ditanamkan secara efektif di dalam maupun luar negeri untuk menguasai sumber daya alam dan energi di dunia.
Pengalaman perdagangan bebas sebagai proses globalisasi itu, telah dialami Indonesia sebagai bagian dari ASEAN, sejak lima tahun 1990-an yang silam. Â Bahkan pengalaman itu semakin panjang, bila ditelusuri sejak terjadinya perdagangan bebas di Nusantara yang berawal pada masa millennium pertama. Sayangnya kita belum belajar dari pengalaman itu, sehingga menjadi terjajah ratusan tahun dan juga kedodoran pada tahun 2000, ketika Perdagangan Bebas ASEAN-China dilaksanakan. Kekhawatiran dampak negatif yang sama tapi dalam bentuk lain tentu saja, juga terasa ketika akan memasuki Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015.
Tidak hendak ketinggalan dan mengeluh saja, pada penghujung tahun 2010 silam suatu seminar Satu Dasawarsa Otonomi Daerah dan Menghadapi AEC 2015 dilakukan oleh KADIN Daerah Riau, di Pekanbaru. Pembicara dijemput para pakar dari Universiti Malaya, Universitas Sumatra Utara, dan Universitas Riau serta Universitas Islam Riau maupun KADIN Pusat.   Pada tahun 2012 koran Bisnis Indonesia, menyelenggarakan seminar Industrialisasi Riau bersama KADIN Riau. Pembicara dari para usahawan swasta, jurnalis dan juga BAPPEDA. Beberapa saran dan anjuran dikembangkan pada pertemuan ilmiah tersebut. Akan tetapi banyak kalangan mempertanyakan upaya pihak berkanun dalam menghadapi AEC 2015. Mengherankan bahwa pihak itu tidak menaja dan menyelenggarakan  kegiatan berkenaan AEC 2015 untuk mempersiapkan daerah ini maupun para pelaku ekonominya. Bahkan juga jarang sekali mereka menghadiri acara serupa itu.  Sekarang ketika kurang setahun lagi akan memasuki AEC 2015 dan Riau merupakan terdepan dalam kancah perdagangan bebas itu, sudah siapkah kita?
Alangkah akan lebih bermaknanya bagi daerah dan masyarakat Riau, jika AEC 2015 ditanggapi dengan bijaksana. Boleh dalam bentuk mempersiapkan Riau memasuki AEC 2015. Boleh pula mencari alternative lain pengganti, jika tidak setuju atau tidak hendak ikut di dalamnya. Memang, mengenai perdagangan bebas maupun globalisasi masih berpeluang untuk tidak setuju di antara arus berpendapat yang menyokong dan gerakan mewujudkannya.  Tetapi, bagaimanapun juga diam, tidak tanggap atau mencuaikannya, sungguh amat tidak pantas dan tidak patut.
Kemungkinan besar yang akan terjadi, berdasarkan pengalaman sejak melinium pertama maupun selama hampir 70 tahun Indonesia merdeka adalah sebagai sumber bahan mentah, tenaga kerja buruh kasar, maupun pasar hasil dari negara lain.
Dari tinjauan informasi dan kegiatan yang dilakukan berkenaan AEC 215, terkesan kuat bahwa sama dengan perekonomian Riau selama ini, masih bersifat “auro pilotâ€. Panta rei berjalan secara alamiah. Bak air sungai mengalir, masih punya arah ke laut: ‘globalisasi’.
Dengan kebijakan dan tindakan yang cerdas, Riau tentulah berpeluang, sebagai suatu daerah otonomi, berada dalam arus perekonomian dunia yang menjagat itu dan berhak ikut menikmati hasilnya. Â Untuk itu, baik persiapan maupun kerjasama dan koordinasi kegiatan fihak usahawan swasta dengan pemerintah dan perguruan tinggi dalam memasuki AEC 2015 adalah keniscayaan. Agar sejarah globalisasi masa lalu tidak berulang.
Tidak adanya upaya menghadapi tantangan AEC 2015 secara sistemik akan berujung pada tragedi. Oleh sebab itu, seyogyanya ada kebijakan maupun kegiatan yang jelas untuk mengantarkan daerah ini masuk ke dalam kancah AEC 215, apapun bentuk tanggapannya.  Karena  AEC 2015, sebagaimana globalisasi,  merupakan upaya ideal dunia ke arah mewujudkan kesejahteraan dan keadaan global  yang lebih baik dan adil di masa depan. Hanya saja patut dimaklumi, bahwa hal itu hendak diwujudkan di atas dasar dan suasana pasar bebas, persaingan cerdas dalam kerjasama serta peradaban demokrasi.#
* Penulis, Prof. Dr. Muchtar Ahmad MSc  Mantan Rektor Universitas Riau