Selamat Hari Pahlawan, 10 November. Pada hari ini, bangsa Indonesia diajak kembali menundukkan kepala, mengenang mereka yang gugur bukan karena kuasa, melainkan karena keberanian moral melawan ketidakadilan. Hari Pahlawan bukan sekadar ritual peringatan historis, melainkan momentum refleksi nasional, bahwa siapa sebenarnya yang layak disebut pahlawan di tengah kaburnya batas antara kekuasaan dan pengabdian? Di tengah suasana penghormatan ini, wacana penganugerahan gelar Pahlawan Nasional kepada Jenderal Besar TNI H. M. Soeharto kembali mencuat dan menimbulkan perdebatan etis yang tajam. Sebagian pihak menganggapnya Bapak Pembangunan yang berhasil membawa stabilitas ekonomi dan kemajuan infrastruktur, sementara pihak lain mengingatnya sebagai simbol represi politik, pelanggaran HAM, dan korupsi yang terstruktur. Pertanyaannya bukan semata-mata apa yang telah ia bangun, tetapi apa yang telah dikorbankan untuk membangun itu. Sebab dalam kacamata teori politik, etika publik, dan kajian hak asasi manusia internasional, kepahlawanan tidak hanya diukur dari keberhasilan material, melainkan dari integritas moral dan keberpihakan terhadap kemanusiaan.
Dalam kerangka keadilan transisional seperti dijelaskan oleh Todung Mulya Lubis pada bukunya yang berjudul War on Corruption: An Indonesian Experience, bahwa setiap bangsa yang pernah mengalami kekerasan negara memiliki tanggung jawab moral untuk menegakkan empat pilar utama, antara lain; kebenaran, akuntabilitas, reparasi, dan rekonsiliasi. Hingga kini, Indonesia belum menyelesaikan bahkan satu pun dari tahapan tersebut secara tuntas. Kasus pembantaian 1965–1966, tragedi Timor Timur, Tanjung Priok, Talangsari, hingga penculikan aktivis 1997–1998 masih menggantung tanpa kepastian hukum dan pengakuan moral negara. Sementara negara-negara seperti Chile dan Argentina menolak menyanjung figur militer seperti Pinochet dan Videla sebelum seluruh proses hukum dan rekonsiliasi dilakukan. Jika Indonesia justru mengangkat Soeharto sebagai pahlawan sebelum luka masa lalu sembuh, maka pesan yang dikirim ke publik sangat berbahaya, bahwa pembangunan ekonomi dapat menjadi penghapus dosa kemanusiaan.
Baca Juga Tutup TPL Sebagai Panggilan Iman dan Gerakan Kepemudaan untuk Keadilan Sosial dan Lingkungan
Selama 32 tahun kekuasaannya, Soeharto menjalankan sistem pemerintahan yang mencerminkan pola bureaucratic authoritarianism sebagaimana diuraikan oleh Liddle, R. W. (1985). Stabilitas dijaga dengan represi, partisipasi rakyat dibatasi, media dikontrol, dan oposisi dibungkam. Model kekuasaan seperti ini sejajar dengan rezim Augusto Pinochet di Chile dan Ferdinand Marcos di Filipina, yang sama-sama memanipulasi konstitusi dan militer untuk menjustifikasi kekuasaan pribadi. Ketika keduanya tumbang, negara mereka mewarisi trauma kolektif yang panjang. Filipina, misalnya, kini menghadapi kebangkitan “Marcosism,” di mana generasi muda mulai memuliakan diktator sebagai pahlawan pembangunan. Indonesia berpotensi menempuh jalan yang sama jika Soeharto dimuliakan tanpa refleksi kritis, karena penguasa otoriter akan dikenang bukan sebagai pelaku represi, melainkan panutan nasional.
Aspek lain yang memperkuat ketidaklayakan pemberian gelar tersebut adalah rekam jejak korupsi yang luar biasa besar. Lubis, T. M. (2023) dan Berenschot, W., Aspinall, E., Colchester, M., & MacInnes, A. (2023) menobatkan Soeharto sebagai pemimpin paling korup di dunia, dengan dugaan penggelapan dana publik antara 15 hingga 35 miliar dolar AS. Berdasarkan teori public virtue ethics dari Macaulay, M. (2020), di Handbook on corruption, ethics and integrity in public administration yang berjudul Virtue and morality in public administration: values-driven leadership in public-sector agencies moralitas pemimpin hanya sah apabila setiap kebijakannya berpihak pada kepentingan publik, bukan pada keluarga dan kroni. Dalam konteks ini, pembangunan ekonomi yang dibangun di atas praktik korupsi bukanlah keberhasilan, melainkan kegagalan etika publik. Korea Selatan memberikan contoh yang kontras, ketika dua mantan presidennya, Park Geun-hye dan Lee Myung-bak, dijatuhi hukuman karena korupsi, meskipun keduanya juga berjasa bagi ekonomi. Negara itu menunjukkan bahwa pembangunan tanpa moralitas bukan kebanggaan, melainkan aib nasional.
Adapun manipulasi hukum dan militerisasi sipil menjadi ciri khas Orde Baru yang diwariskan oleh Soeharto. Melalui konsep Dwifungsi ABRI, militer tidak hanya berperan sebagai penjaga keamanan, tetapi juga pengendali politik dan birokrasi. Peneliti seperti MacFarling, I. (1994) menyebut pola ini sebagai institutionalized militarism, yaitu militerisasi yang dilembagakan secara sistemik. Situasi ini memiliki kemiripan dengan Myanmar, di mana militer mengklaim kekuasaan atas nama stabilitas nasional. Akibatnya, demokrasi macet, masyarakat sipil kehilangan ruang, dan hukum tunduk pada kepentingan penguasa. Jika negara kemudian memberikan gelar pahlawan kepada Soeharto, hal itu berpotensi mengukuhkan kembali legitimasi kekuasaan semacam ini, memperkuat warisan militerisasi dalam sistem sipil Indonesia.
Soeharto juga dikenal mengendalikan sejarah untuk membentuk legitimasi kekuasaannya. Film wajib Pengkhianatan G30S/PKI menjadi alat propaganda yang menciptakan memori publik tunggal. Sejarawan Susanti, A. J. A. (2023) dari University of Szege menyebut fenomena ini sebagai engineered memory, yaitu upaya merekayasa ingatan kolektif agar sejarah berpihak pada penguasa. Dalam konteks ini, Indonesia dapat belajar dari Jerman pasca-Nazi yang menolak segala bentuk kultus terhadap Hitler dan justru mengajarkan sejarah kekejaman sebagai pelajaran moral bagi generasi muda. Menyembunyikan masa lalu bukanlah bentuk rekonsiliasi, melainkan penyangkalan moral terhadap korban dan sejarah bangsa sendiri.
Krisis ekonomi 1997–1998 menjadi puncak kegagalan moral dan politik Orde Baru. Seperti diuraikan oleh Anwar, D. (2005) pada bukunya yang berjudul The fall of Suharto: understanding the politics of the global, bahwa fondasi ekonomi Soeharto sangat rapuh karena bergantung pada utang dan monopoli kroni. Ketika krisis melanda, Soeharto tetap berusaha mempertahankan kekuasaan, bahkan ketika rakyat menderita akibat inflasi, pengangguran, dan kemiskinan massal. Dalam kerangka etika tanggung jawab Max Weber, seorang pemimpin sejati tidak hanya dinilai dari hasil ekonomi, tetapi juga dari kesediaan untuk bertanggung jawab atas akibat tindakannya. Pemimpin yang menolak mundur di tengah penderitaan rakyat bukanlah pahlawan, melainkan simbol keangkuhan politik.
Pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto akan berdampak serius terhadap keadilan sejarah, moral publik, dan kesadaran generasi muda. Luka korban Orde Baru akan terbuka kembali, kepercayaan terhadap institusi negara akan terkikis, dan pendidikan sejarah berisiko kehilangan objektivitas moralnya. Generasi baru dapat tumbuh dengan keyakinan bahwa pembangunan ekonomi dapat membenarkan represi politik, dan bahwa kekuasaan panjang dapat disamakan dengan kepahlawanan. Filipina telah menunjukkan akibat tragis dari glorifikasi diktator, bahwa populisme otoriter kembali tumbuh, dan kebenaran sejarah menjadi kabur oleh narasi nostalgia kekuasaan.
Pada Hari Pahlawan ini, kita diingatkan bahwa pahlawan sejati bukanlah mereka yang paling lama berkuasa, tetapi yang paling berani menegakkan kebenaran. Kepahlawanan tidak bisa diberikan kepada figur yang menodai kemanusiaan atas nama pembangunan. Berdasarkan teori keadilan transisional, etika publik, dan kajian perbandingan global, Soeharto belum layak diberi gelar Pahlawan Nasional. Langkah semacam itu hanya akan membuka kembali luka bangsa yang belum sembuh dan mengaburkan batas moral antara pelaku dan korban sejarah. Bangsa yang tidak jujur terhadap masa lalunya akan kehilangan arah di masa depan. Karena itu, pada Hari Pahlawan ini, marilah kita menegaskan kembali bahwa keadilan dan kebenaran adalah bentuk kepahlawanan tertinggi yang harus terus diperjuangkan, dan bukan demi membangkitkan dendam masa lalu, tetapi demi menjaga agar masa depan bangsa tidak dibangun di atas penyangkalan terhadap sejarahnya sendiri.
Penulis: Ruben Cornelius Siagian, Peneliti Independen, Pengamat Politik dan Kebijakan Publik
*Rubrik opini, penulis bertanggung jawab atas keseluruhan isi. Bahana Mahasiswa dibebaskan atas tuntutan apapun. Silakan kirim opini Anda ke email bahanaur@gmail.com

