Setiap kali isu tentang perilaku anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menjadi perbincangan panas, suara publik pun menggema: Bubarkan DPR! Ungkapan kemuakan itu bukan tanpa alasan. Sering kali, kita disuguhi tontonan anggota dewan yang absen dalam rapat paripurna, ulah kontroversial, hingga keputusan-keputusan yang dianggap tak berpihak pada rakyat. Pertanyaannya, akankah desakan membubarkan DPR benar-benar dapat terwujud di negara yang (katanya) demokratis ini?
Sejarah mencatat, wacana pembubaran lembaga legislatif bukan barang baru di Indonesia. Pada 1959, Presiden Soekarno membubarkan Dewan Konstituante melalui Dekrit Presiden akibat kegagalan menetapkan undang-undang dasar baru. Eksperimen serupa dilakukan oleh Presiden Gus Dur (Abdurrahman Wahid) pada 2001 ketika ia menerbitkan dekrit untuk membekukan MPR dan DPR serta membubarkan partai politik tertentu. Namun, langkah Gus Dur justru berakhir pada pemakzulannya sendiri. Peristiwa-peristiwa ini menunjukkan bahwa upaya membubarkan lembaga legislatif pernah terjadi secara dramatis namun dengan konsekuensi politik yang tidak ringan dan penuh dengan ujian.
Momentum penting terjadi pasca Reformasi 1998. Usaha melindungi DPR dari kekuatan eksekutif secara langsung diwujudkan dalam amandemen UUD 1945, terutama Pasal 7C: “Presiden tidak dapat membekukan dan/atau membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat.” Pasal ini membuat posisi DPR setara dengan Presiden. Dalam sistem presidensial yang sekarang dianut, pembubaran DPR oleh presiden menjadi mustahil secara hukum, ini menunjukkan adanya sebuah pagar konstitusional demi menjaga check and balances.
Namun demikian, adakah jalan membubarkan DPR? Secara teknis, satu-satunya cara yang mungkin adalah melalui amandemen UUD 1945, dengan menghapus seluruh pasal yang mengatur keberadaan DPR. Tapi, logika demokrasi memastikan hal tersebut hampir mustahil dilakukan. Proses amandemen diajukan dan diputuskan oleh MPR, yang bila dirunut, separuh anggotanya adalah juga anggota DPR. Mungkinkah tikus mengusulkan pengosongan lumbung padi tempat mereka berlindung?
Alternatif lain yang kerap didengungkan adalah perubahan radikal lewat kudeta atau revolusi. Namun, sejarah telah menunjukkan jalan ini penuh risiko dan pertumpahan darah, tak sejalan dengan semangat demokrasi hari ini. Cara ini jelas tidak hanya melukai institusi negara, tapi juga membawa trauma nasional yang bahkan lebih besar.
Maka, harapan satu-satunya menurut pandangan saya untuk mengubah wajah DPR adalah lewat partisipasi politik rakyat secara lebih cerdas dan masif memilih wakil-wakil rakyat yang benar-benar layak, berintegritas, dan siap mengabdi. Satu suara di kotak suara memang kelihatannya kecil, tapi kelak bisa menjadi penentu nasib parlemen lima tahun ke depan. Ironisnya, praktik politik uang, rendahnya literasi politik, “serangan fajar”, dan minimnya pilihan calon berkualitas masih menjadi tantangan nyata di tanah air. Seringkali, pesta demokrasi berubah hanya jadi rutinitas formalitas, tanpa makna perubahan substantif.
Pada akhirnya, mari kita hadapi realitas. Membubarkan DPR tidaklah sederhana bahkan hampir mustahil di republik ini. Solusinya bukan membongkar atau menghapus lembaga, melainkan membenahi orang-orang di dalamnya. Tidak semua anggota DPR itu buruk, namun mekanisme kontrol internal masih lemah dan kepentingan kelompok kerap diprioritaskan ketimbang aspirasi konstituen.
DPR dalam demokrasi sejatinya adalah pelayan rakyat. Ia hanya akan baik jika diisi oleh mereka yang benar-benar sadar akan misinya. Tugas kita sebagai rakyat bukan hanya berteriak, tetapi juga cerdas dalam memilih, kritis dalam mengawasi, dan konsisten menjaga semangat demokrasi. Karena demokrasi bukan sekadar lembaga, tapi tentang kita rakyat, pemilik sejati kedaulatan di negeri ini.
Penulis: Hizkia Jonathan Purba, Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Riau
*Rubrik opini, penulis bertanggung jawab atas keseluruhan isi. Bahana dibebaskan atas tuntutan apapun. Silakan kirim opini Anda ke email bahanaur@gmail.com