Lemahnya Penegakan Hukum pada Kasus Penangkapan dan Penetapan Tersangka Aktivis Mahasiswa Unri Khariq Anhar

Kasus penangkapan mahasiswa Universitas Riau, Khariq Anhar, kembali menyingkap wajah buram penegakan hukum di negeri ini. Aparat kepolisian Subdit II Direktorat Siber Polda Metro Jaya menangkap Khariq di bandara Soekarno-Hatta pada 29 Agustus 2025 lalu. Dari informasi yang beredar hanya dua hari setelah laporan polisi dibuat atas nama pelapor Baringin Jaya Tobing. Yang mencurigakan, proses hukum ini berjalan amat cepat yakni laporan masuk pada 27 Agustus, sehari kemudian Khariq langsung ditetapkan sebagai tersangka, dan esoknya tanpa ada informasi apapun langsung ditangkap secara paksa. Kecepatan proses hukum yang tak biasa ini justru menimbulkan pertanyaan besar, apakah aparat benar-benar menegakkan hukum sesuai peraturan yang ada di KUHAP atau sekadar menjalankan praktik kriminalisasi terhadap suara kritis masyarakat?

Menurut pendamping hukumnya, Khariq ditangkap tanpa surat tugas, tanpa penjelasan, bahkan diperlakukan secara kasar. Ia dipiting dari belakang, digotong ke mobil, dan mendapat perlakuan kekerasan hingga wajah dan lehernya memar. Dalam kondisi lelah, Khariq tetap dipaksa menjalani pemeriksaan, bahkan dibangunkan dari tidur hanya untuk mengisi Berita Acara Pemeriksaan (BAP) tanpa didampingi kuasa hukum. Jika prosedur dasar penegakan hukum yang tertera di dalam KUHAP saja diabaikan, bagaimana mungkin kita percaya bahwa proses ini berlangsung adil?

Khariq disangkakan melanggar Pasal 48 ayat (1) Jo Pasal 32 ayat (1) dan/atau Pasal 48 ayat (2) Jo Pasal 32 ayat (2) dan/atau Pasal 51 ayat (1) Jo Pasal 35 UU ITE. Namun, penggunaan pasal-pasal “karet” diatas justru memperlihatkan ketidakjelasan dasar tuduhan. Kritik satir yang bahkan telah diberi keterangan “timpa teks” pun dianggap sebagai provokasi kerusuhan. Pertanyaannya simpel sekali : apakah kritik mahasiswa kini setara dengan makar? Atau sebenarnya aparat sedang mencari cara untuk membungkam aktivisme yang mengganggu kepentingan pihak tertentu?

Baca Juga HRW: Hentikan Tindakan Keras dan Penahanan Sewenang-wenang Pada Demonstran

Kita perlu jujur mengakui bahwa UU ITE kerap digunakan sebagai senjata untuk menekan suara kritis masyarakat sipil. Multitafsir pasal-pasal dalam undang-undang ini memberi ruang lebar bagi aparat untuk menjadikannya alat represi. Khariq Anhar hanyalah salah satu contoh terbaru, seorang aktivis dari Universitas Riau yang getol menyuarakan keresahan rakyat dan mengkritik kebijakan represif pemerintah, kini justru dilabeli sebagai provokator.

Penangkapan Khariq tidak hanya menyinggung soal prosedur hukum yang dilanggar, tetapi juga menyingkap lemahnya perlindungan terhadap hak asasi manusia. Hukum seharusnya menjadi pagar bagi kebebasan berpendapat, bukan borgol yang mencekiknya. Apabila kritik satir mahasiswa dianggap ancaman, maka sudah jelas demokrasi kita sedang berjalan ke arah mundur.

Kasus ini bukan sekadar soal Khariq Anhar, melainkan cerminan bagaimana aparat bisa begitu mudah mengorbankan prinsip keadilan demi membungkam kritik. Jika praktik seperti ini dibiarkan, maka publik akan semakin kehilangan kepercayaan pada hukum. Apa artinya hukum jika ia hanya tajam ke rakyat kecil, tetapi tumpul ketika berhadapan dengan kekuasaan?

Sudah saatnya penegakan hukum di Indonesia keluar dari bayang-bayang represif. Penangkapan sewenang-wenang, penetapan tersangka tanpa proses pemeriksaan yang fair, serta penggunaan pasal karet UU ITE harus kita bersama kritisi habis-habisan. Demokrasi tidak akan pernah sehat jika hukum terus diperalat untuk mengkriminalisasi suara kritis. Dalam kasus Khariq, kita tidak hanya melihat seorang mahasiswa yang diperlakukan tidak adil, tetapi juga menyaksikan bukti nyata betapa lemahnya penegakan hukum di negeri ini. Oleh karena itu, mari kita semua bersama-sama terkhususnya warga Universitas Riau turut mengawal kasus ini dan membersamai Khariq Anhar dalam setiap proses hukumnya pada kasus kriminalisasi ini.

Penulis: Hizkia Jonathan Purba, Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Riau

*Rubrik opini, penulis bertanggung jawab atas keseluruhan isi. Bahana Mahasiswa dibebaskan atas tuntutan apapun. Silakan kirim opini Anda ke email bahanaur@gmail.com