Pertengahan Maret 2013 lalu, saya bergabung dengan perkumpulan mahasiswa Sumatera Barat yang tergabung dalam Aliansi Mahasiswa Cipayung untuk melakukan aksi penolakan kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) di kantor DPRD Kota Padang. Tidak banyak mahasiswa yang berpartisipasi. Tapi, dari yang tidak terlalu banyak kala itu, saya tidak melihat almamater kuning kepunyaan Universitas Negeri Padang. Entah saya yang kurang jeli, saya tak tahu.

Tapi terlepas dari itu, saya menilai aksi mahasiswa kala itu hanya sebuah formalitas-solidaritas kepada kawan mahasiswa yang jauh hari sebelumnya turun ke jalan. Selain dari koordinasi yang tidak terstruktur, aksi juga seperti asal-asalan saja. Ingin bertemu wakil rakyat, lalu wakil rakyat keluar menemui mahasiswa, lalu wakil rakyatnya duduk membentuk bundaran bersama mahasiswa, menyuruh petugas membagikan segelas air mineral lalu memberikan penjelasan. Dan, selesai. Mahasiswa pulang dengan sumringah. Seolah tugas telah usai.

Kala itu memang, BBM tidak jadi naik. Bukan berarti peran mahasiswa di republik ini masih bertaji. Sepertinya pengambil keputusan memberikan ruang kepada mahasiswa untuk tersenyum sesaat. Buktinya beberapa bulan kemudian, tepatnya akhir Juni, wakil rakyat di senayan sambil ketawa-ketiwi melakukan voting mengesahkan RUU RAPBN-P 2013 yang meliputi pemangkasan subsidi BBM.Hasilnya, BBM resmi disahkan naik.

Ironisnya, jauh hari sebelum pengesahan itu, hampir seluruh mahasiswa seantero negeri melakukan demo. Bahkan hampir satu minggu siaran frekuensi menyiarkan ricuh pendemo disana sini. Mahasiswa menolak dengan tegas rencana kenaikan harga BBM. Namun, apa hendak dikata, suara dan teriakan, keringat dan tenaga, waktu dan resiko tertembak peluru karet semuanya sia-sia.

Ada lagi yang masih hangat dibenak, tentang kebijakan kenaikan gas LPG. Dengan dalih itung-itungan untung rugi versi Pertamina, pemerintah menyetujui kenaikan harga gas yang mulai merakyat. Betapa tidak, setelah konversi secara “paksa” dengan membagikan kompor gas ukuran mini secara gratis ke tiap daerah, dan masyarakat mulai menikmatinya, Pertamina dengan mudahnya menaikkan harga gas. Padahal, republik ini sedang bertubi-tubi diterjang cobaan bencana.

Meskipun tak seramai seperti penolakan kenaikan harga BBM, beberapa mahasiswa tak patah arang untuk turun ke jalan. Mencoba untuk bertransformasi menjadi corong rakyat kecil. Karena walau bagaimanapun, mahasiswa adalah kaum sensitif terhadap kebijakan yang dianggap merugikan. Aksi yang paling disoroti media kala itu adalah mahasiswa dari Makassar. Meskipun sekali lagi hasilnya nihil. Tapi ini bukti bahwa kesensitifan mahasiswa masih melekat.

Masih banyak lagi aksi-aksi mahasiswa pasca reformasi dikumandangkan, tapi jarang mendapat tanggapan dari “orang atas”. Seperti aksi solidaritas untuk korban lumpur Lapindo yang menuntut perusahaan Bakrie Grup bertanggung jawab, aksi mahasiswa menuntut kasus Munir diselesaikan, kasus Century, kasus keadilan TKI dan kasus-kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia lainnya yang dibentur tembok tebal kekuasaan.

Lantas apakah ini menandakan mahasiswa sudah kehilangan tajinya, sehingga aspirasi mereka tak lagi di dengar? Lantas juga apakah tragedi Malari, Trisakti, kisah Gie dan para demonstran kala itu melengserkan Sukarno dan heroiknya mahasiswa 98 menggulingkan Suharto hanya akan tinggal narasi sejarah siap arsip? Padahal para penguasa saat ini sebagian besar adalah mereka yang dulu pernah terlibat di dalam narasi sejarah itu. Kenapa pula mereka tak coba seolah-olah merasa mahasiswa yang turun ke jalan saat ini adalah refleksi dirinya dahulu?

Ada beberapa titik lemah yang terjadi saat ini. Pertama, kesensitifan mahasiswa yang mulai tak merata sehingga melunturkan kekompakan. Kedua, laku para orang atas yang hanya seolah melihat tapi tak mendengar. Mempertanyakan kesensitifan mahasiswa masa kini jelas tanda tanya besar. Kala ada isu yang seharusnya diluruskan, tak semua mahasiswa kompak untuk turun ke jalan. Hanya sekelompok kecil saja yang sadar akan tanggung jawab moralnya. Sisanya, menikmati gaya mahasiswa apatisme.

Dalam peringatan 40 tahun tragedi Malari, Hariman Siregar pelaku sejarah yang menggerakkan Dewan Mahasiswa kala itu mengatakan, jika pemuda sekarang kurang bergerak. Menurutnya di zaman yang lebih seram dari orde baru ini, seharusnya mahasiswa bisa bertindak lebih dari yang apa ia dan mahasiswa dulu lakukan. Betapa tidak, zaman sekarang kita layaknya penonton di teater sendiri. Melihat kekayaan alam pertiwi yang seharusnya dinikmati bersama yang malah dinikmati orang asing, kita hanya diam saja. Banyak hal yang bisa dilakukan. Perlawanan tidak harus turun ke jalan. Melalui forum-forum diskusi, organisasi lingkungan non profit, menuangkan gagasan di balik layar seperti Soe Hok Gie bisa dilakukan. Tapi nyatanya?

Lalu kenapa pula orang atas dikatakan seolah mendengar tapi tak melihat? Sejak lengsernya Suharto, memang sebagian orang menilai bahwa sudah saatnya mahasiswa untuk kembali ke “kandangnya”. Menuntut ilmu, menganalisis dan mengawasi sistem pemerintahan dari dalam kampus. Dan (mungkin) orang atas menilai mahasiswa akan dilema karena suasana “kondusif” transformasi dari rezim orde baru ke zaman demokrasi. Prediksi itu sedikit banyak ada benarnya. Karena dampak dari mahasiswa kembali ke “kandangnya” telah menciptakan generasi pragmatis-apatis.

Melihat celah itu, orang atas tak kalah ulung dalam berdiplomatis. Sebagian dari mereka satu per satu mendekatkan diri ke lingkup terdekat mahasiswa. Mereka masuk kampus, memberikan ceramah kepada mahasiswa seolah-olah visi dan misinya sejalan dengan pemikiran mahasiswa. Jika ada mahasiswa bertanya dan memprotes kebijakan pemerintah, ia akan mengiyakan seolah pendapat mahasiswa itu adalah pendapatnya juga. Tapi setelah keluar kampus, semua saran, pertanyaan dan protes mahasiswa itu hilang. Seketika pudar seperti lepasnya almamater pinjaman kampus yang dikunjungi. Seperti melihat, tapi tak mendengar.

Realita tersebut seolah menjadi ironi. Bak kata pepatah semut di seberang kelihatan tapi gajah di pelupuk mata tak kelihatan. Ya, mahasiswa sadar republik ini tengah dinahkodai para pebusuk-pebusuk. Lihatlah, satu per satu diantara mereka— yang oleh sebagian orang dianggap inspirator, bergantian mengantri untuk masuk “sarang tikus”. Tapi, semuanya sirna, semuanya bias ketika sang tokoh mulai bergerilya ke dalam kampus.

Sebagai contoh kecilnya adalah ketika para politikus yang hendak bertarung di panggung politik dapat melenggang mulus keluar masuk kampus. Mereka berkata dengan bangga bak seorang negarawan sejati yang memberikan wejangan kepada generasi penerus. Padahal jelas, politik praktis dengan masuk kampus itu dilarang. Lalu kemana mahasiswa yang seharusnya “mengusir” pelanggar itu? Ada yang mendengarkan celoteh si pelanggar dan ada yang duduk manis entah dimana.

Mahasiswa juga terkadang terdoktrin akan cara elegan yang dilakukan orang atas itu. Sebagian dari mereka mengeluh-eluhkan sosok orang atas. Mereka berdalih sosok itu adalah inspirator. Merekapun mulai berlomba-lomba untuk berfoto bersama, menciumi tangannya dan bahkan untuk berusaha mendatangkan tokoh per tokoh orang atas ke kampus mereka. Itu dianggapnya sebuah prestasi.

Penulis bukan bermaksud untuk mengulang tragedi kelam gejolak perlawanan mahasiswa. Namun, hanya ingin membenarkan penggalan kata dari aktivis Wiji Thukul, yang hingga kini hilang entah kemana. “Hanya satu kata, lawan!” Ya, lawan jika hati nurani mengatakan peraturan sudah melenceng, lawan jika keberpihakkan tak lagi berpihak kepada yang pantas dan lawan jika orang atas tak mendengar. Mahasiswa juga punya harga diri.

*Hasduni, alumni jurusan Teknik Pertambangan Universitas Negeri Padang. Pernah aktif di lembaga pers mahasiswa Ganto sebagai Redaktur Pelaksana.