Belakangan ini, kasus perundungan di lingkungan kampus kembali mencuat dan meramaikan dunia pendidikan tinggi Indonesia. Peristiwa tragis yang menimpa Timothy Anugerah Saputra, mahasiswa Semester VII Sosiologi Universitas Udayana adalah tamparan keras bagi kita semua.
Ia tewas setelah diduga menjatuhkan diri dari lantai dua Gedung FISIP Unud, Denpasar, pada Rabu 15 oktober 2025. Tapi yang paling menyayat bukanlah kepergiannya, melainkan kenyataan bahwa tekanan sosial dan perundungan diduga menjadi alasan di balik tragedi itu.
Yang lebih memuakkan, setelah kematiannya justru beredar percakapan di grup WhatsApp yang berisi candaan dan ejekan tentang dirinya. Ya, di saat semua orang tengah berduka, masih ada manusia yang tega menertawakan kematian seseorang. Dan yang lebih menjijikkan lagi, percakapan itu diduga datang dari mereka para pengurus organisasi kemahasiswaan yang seharusnya menjadi panutan.
Baca Juga Ambisi Kosong Indonesia di Piala Dunia 2026 Akibat Strategi Gagal dan Kepentingan Politik
Saya muak membaca dan mendengar hal seperti ini. Karena saya tahu rasanya. Saya pernah ada di posisi itu. Saat masih duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP) , satu kelas membuat grup WhatsApp khusus hanya untuk mengejek saya. Bayangkan, sebagian teman sekelasmu sepakat untuk menjadikanmu bahan tertawaan. Sampai sekarang, saya masih tidak tahu apa kesalahan saya. Kenapa mereka merundung saya.
Sebenarnya, pertanyaan saya sederhana: kenapa orang-orang masih punya waktu untuk mengolok-olok orang lain? Apakah hidup mereka sebegitu kosongnya sampai harus mencari kesenangan dari menjatuhkan orang lain? Bukankah kalau tidak ada hal baik untuk dikatakan, lebih bijak untuk diam saja?
Tapi tidak. Para perundung selalu punya alasan. Selalu punya dalih.
“Masa baper, kan cuma bercanda.”
“Jangan lembek dong, hidup keras.”
“Anggap aja lucu-lucuan.”
Lucu? Di mana lucunya? Di bagian mana menertawakan luka orang lain bisa disebut candaan? Itu bukan humor. Itu kekejaman yang dibungkus tawa. Dan kalimat “jangan jadi orang lemah” hanyalah pembenaran bagi orang yang tak punya hati. Karena sesungguhnya, yang lemah itu kalian.
Kalianlah yang takut menghadapi diri sendiri. Kalian menertawakan orang lain supaya tak perlu menatap kekosongan dalam diri kalian. Kalian merasa berkuasa karena di dalam hidup kalian yang kecil dan membosankan, hanya di situ kalian bisa merasa lebih tinggi. Padahal, kalian bukan kuat. Kalian pengecut.
Apakah kalian tidak punya sedikit saja empati? Tidak pernahkah kalian berpikir bahwa setiap kata yang kalian ucapkan bisa menimbulkan trauma, menghancurkan kepercayaan diri seseorang, bahkan memicu kematian? Apa kalian benar-benar tidak sadar, atau memang tidak peduli?
Oh, maaf, mungkin saya lupa. Kalian mana pernah berpikir sejauh itu. Terlalu sibuk tertawa di atas penderitaan orang lain, merasa hebat karena bisa menjatuhkan seseorang yang tidak melawan. Kalian menikmati peran sebagai “penguasa kecil” dalam lingkaran yang kalian anggap keren, padahal sesungguhnya kalian hanyalah pengecut yang bersembunyi di balik keramaian.
Sebenarnya, kalian itu merundungi orang lain bukan karena kuat, tapi karena lemah. Kalian mengolok-olok bukan karena berani, tapi karena ingin menutupi ketakutan dan kekurangan kalian sendiri. Kalian menyerang supaya tidak terlihat rapuh, kalian menertawakan orang lain agar tak ada yang melihat betapa hampa diri kalian sebenarnya.
Wahai para perundung, apa sebenarnya yang membuat kalian begitu membenci kami? Apakah karena kami berbeda? Kami sungguh tidak mengerti alasan di balik kebencian itu.
Jika semua itu alasan kalian, maka biarlah kami disebut lemah. Karena setidaknya kami masih punya hati, sesuatu yang, sayangnya, sudah lama hilang dari diri kalian. Kami mungkin tidak pandai menertawakan penderitaan orang lain, tapi kami masih tahu rasanya menjadi manusia. Dan mungkin, itu hal yang tidak akan pernah kalian pahami.
Rest in peace, Timmy. Semoga kamu tenang di tempat terbaik, jauh dari suara ejekan, jauh dari tekanan yang dulu menyesakkan. Semoga kepergianmu membuka mata kita semua. Bahwasanya perundungan bukan sekadar “candaan”, bukan sekadar “baper”, melainkan luka nyata yang bisa merenggut nyawa.
Penulis: Sandriana Dewi, Mahasiswi Sistem Informasi
*Rubrik opini, penulis bertanggung jawab atas keseluruhan isi. Bahana Mahasiswa dibebaskan atas tuntutan apapun. Silakan kirim opini Anda ke email bahanaur@gmail.com