Lahir sebagai wujud perlawanan komunitas pers terhadap kesewenang-wenangan rezim Orde Baru, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) menginjak usia ke-27 tahun. Bermula dari pembredelan media Tempo, Detik, dan Editor pada 1994 silam. Kritisnya pemberitaan ketiga media tersebut bak menyulut api amarah pada pemegang kekuasaan.
Malam itu pukul 7 malam, AJI helat resepsi hari jadi secara virtual yang disiarkan langsung melalui kanal YouTube dan Zoom Meeting. Tepatnya Sabtu, 7 Agustus. Tahun ini, AJI usung tema Bersama Publik Mengawal Demokrasi. Pemilihan tema dilatarbelakangi oleh banyaknya tantangan yang dihadapi pers Indonesia. Seiring pula dengan kian menurunnya kesejahteraan jurnalis dan tindakan kekerasan yang mengkhawatirkan.
“Kita banyak menghadapi tantangan di era rezim yang otoriter. Pola serangannya mulai bergeser dari serangan fisik mengarah ke digital. Belum lagi regulasi yang tidak bersahabat dengan iklim kebebasan pers, dampak pandemi yang mengkhawatirkan,” sebut Sasmito. Sasmito menjabat Ketua Umum AJI.
Sasmito juga sampaikan rencana yang ingin ia selesaikan hingga tahun depan. Adalah pembangunan rumah jurnalis, 70 persen di antaranya akan didedikasikan untuk kepentingan publik dan perpustakaan. Tak hanya itu, akan dibangun pula Sekolah Jurnalisme AJI.
“Sehingga, AJI dapat meluaskan nilai-nilainya dan menyebar kepada masyarakat,” lanjutnya berharap.
Bersempena hari jadinya, AJI dedikasikan beberapa macam penghargaan bagi insan pers dan lembaga lain yang turut berkontribusi. Tentunya dalam mewujudkan kebebasan pers Indonesia.
Penghargaan Udin Award ditujukan bagi jurnalis yang mengalami kekerasan dalam proses liputannya yang menetang hak-hak pers. Nurhadi, jurnalis Tempo menyabet Udin Award. Ia mengalami kekerasan saat berpaya minta konfirmasi kepada Angin Prayitno Aji—mantan Direktur Pemeriksaan Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan.
NurHadi disekap dalam sebuah Gudang. Selama kurang lebih dua jam, ia dianiaya dengan pukulan dan tamparan.
Ada pula Tasrif Award yang diberikan kepada individu, kelompok atau organisasi yang menyuarakan kekebasan pers serta kebebasan berekspresi. Tasrif Awadr diserahkan kepada dua lembaga di Indonesia. Merekalah 57 pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi yang tak lolos tes wawasan kebangsaan dan melawan, juga lembaga Lapor Covid-19.
Sedangkan penghargaan SK Trimurti diperoleh Era Purnama Sari dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI). Ia dinilai layaknya sosok pembela Hak Asasi Manusia, berada di garda depan meskipun menderita kanker.
Tak hanya kepada pers professional, AJI juga berikan penghargaan kepada lembaga pers mahasiswa. Senada dengan tema hari jadi AJI, kompetisi karya jurnalistik pers mahasiswa bertemakan Kebebasan Berekspresi di Tengah Pandemi dan Represi. Setidaknya ada tiga jenis kategori karya jurnalistik yang dilombakan. Audio, audio visual, serta teks online.
Mewakili dewan juri, Rahmat ungkapkan ada 60 lebih karya pers mahasiswa yang berlaga di kompetisi ini.
Sigma TV dari Universitas Negeri Jakarta menangkan penghargaan kategori audio visual terbaik. Mereka bawa karya Titik Berkabut : Gerak Nyata Emansipasi Wanita.
Sementara kategori artikel terbaik dimenangkan oleh Lembaga Pers Bahana Mahasiswa Universitas Riau. Liputan itu berjudul Petani Penyandang Meja Hijau.
Melalui tulisannya, penulis ceritakan nasib petani Riau yang terpaksa dihadapkan dengan meja persidangan. Ada yang lahannya dirampas oleh korporasi dan ada pula yang diseret dalam kasus kebakaran lahan dan hutan (karhutla). Bermula dari kasus yang menimpa Marjohan. Ia masyarakat adat asal Kuantan Singingi yang dikurung penjara usai menebang pohon di bekas tanah ulayatnya.
Lalu ada Bongku, kakek asal Sakai yang juga terpaksa menikmati dinginnya jeruji besi. Petaka muncul ketika ia bersihkan lahan dengan cara menebang pohon eukaliptus. Niat Bongku hendak menanam ubi racun—makanan pokok adatnya.
Terakhir ada Syafrudin, kakek berusia 69 tahun yang ditangkap usai membersihkan lahan untuk ditanami palawija. Ia didakwa sebagai pelaku karhutla, meski akhirnya majelis hakim memutuskannya bebas.
Upaya kriminalisasi petani yang terus terjadi menunjukkan betapa lemahnya negara dalam melindungi petani. Menilik data di wilayah Riau, ada banyak petani yang dijerat terkait pembersihan lahan dan karhutla. Tercatat hingga Januari 2020, sebanyak 51 kasus petani yang dibawa ke meja hijau.
“Karya ini memiliki konten yang utuh dengan gaya bahasa yang bagus” komentar Rahmat. Rahmat mengapresiasi keberanian Bahana Mahasiswa mengangkat kejahatan korporasi terhadap petani yang sudah terjadi selama kurun puluhan tahun.
“Mengawal demokrasi di Indonesia dan menjaga independensi media,” begitu sebut Dicky Pangindra—Pemimpin Redaksi Bahana Mahasiswa.
Sebelumnya, Bahana Mahasiswa juga menangkan juara 2 untuk kategori berita yang dibuat AJI pada Februari lalu. Liputan berjudul Pedagang Kantin Kampus Binawidya di Musim Pagebluk. Tulisan ini bercerita nasib pedagang kantin kampus yang melesu akibat wabah Covid-19. Mereka harus memutar otak, mencari akal agar tetap bisa “hidup”.
Kedua liputan Bahana Mahasiswa itu terbit dalam satu majalah berjudul Mimpi Riau Mandiri Pangan.
Terakhir, karya berjudul Unas Gawat Darurat oleh LPM Progress Universitas Indraprasta yang menang sebagai karya terfavorit.
Reporter: Denisa Nuraulia, Selvi Alifia
Editor: Annisa Febiola