BaraDwipa: Energi Kotor Kuasai Sumatera

“Pancasila itukan, setahu Ibu, Undang-Undang ko adil dan beradab, tetapi kenyataan di Ibu, adil dan biadab,” ucap Ibu dalam cuplikan film BaraDwipa.

Film garapan Watchdoc Documentary ini menjahit cerita-cerita yang dialami warga di sekitar lokasi Pembangkit Lstrik Tenaga Uap (PLTU). Mulai dari desa di Aceh, tepatnya di Suak Puntong. Abu hitam nampak selimuti rumah warga yang sudah lama ia tinggalkan. Desa tersebut terancam menjadi desa mati. Alhasil, warganya terpaksa menerima ganti rugi dari perusahaan sebab tak sanggup melawan.

Dari Aceh, penonton dibawa ke Pangkalan Susu, Sumatera Utara. Banyak warga yang beralih profesi menjadi kuli karena lautnya yang sudah tak berisi. Dody Susanto, salah satu warga Pangkalan Susu sebarkan jaring-jaring di Pulau Sembilan. Saat diangkat, tak satupun ikan atau udang yang biasa ia dapati tersangkut di jaring.

Selanjutnya, beralih ke cerita warga Sijantang Koto yang ada di Sumatera Barat. Masyarakat di sana bertahan dengan penyakit pernapasan yang dialami warga sekitar. Sebanyak 76 persen anak-anak dinyatakan paru-parunya telah rusak.

Sementara itu, kebun milik warga di sekitar Teluk Sepang di Bengkulu tergenang air. Hal ini disebabkan saluran air yang ditutup oleh PLTU tersebut. Lebih parah, puluhan penyu mati terdampar di pesisir pantai Teluk Sepang, juga terjadi. Sebabnya pun karena perusahaan tersebut membuang limbah cair ke laut tanpa izin.

Melihat ke Sungai Musi yang berada di Sumatera Selatan, di sana juga terkena dampaknya. Perairan ini menjadi jalur angkut batubara oleh kapal tongkang. Akibatnya, ekosistem sungai tercemar.

Walaupun memiliki gambaran yang sama dengan Sexy Killer sebelumnya, klimaks film ini berbeda. Dalam karya tersebut menjelaskan bagaimana bank-bank di China memberikan pinjaman kepada perusahaan tambang batubara di Indonesia. Watchdoc juga jelaskan bagaimana peran aktif China pada PLTU yang ada di dunia hingga hampir dikuasai oleh negara adikuasi potensial tersebut.

Kunni Masrohanti selaku Dewan Daerah Wakhi Riau, ceritakan juga fakta yang lebih dekat. Seperti yang terjadi di PLTU Tenayan Raya. Perusahaan tambang ini menimbulkan limbah buih di Sungai Siak. Kebisingan yang disebabkan oleh aktivitas PLTU juga menganggu penduduk sekitar.

Tidak hanya PLTU Tenayan Raya, ada juga pertambangan batubara yang berada di Pangkalan Kapas, Kampar Kiri Hulu. Keadaan di lokasi tersebut dipenuhi lobang akibat penggerukan.

Mirisnya, kata Kunni, tidak ada tanda-tanda untuk mereklamasinya.
Saat ditanya kepada staf di sana, mereka mengaku uangnya sudah diberi ke pemerintah. Kemudian saat ia bertanya ke pemerintah, mereka akan jadikan untuk tempat rekreasi.

“Memangnya siapa yang mau datang rekreasi ke sana? Tempatnya jauh pelosok dan masuk ke dalam,” kata Kunni pada acara nonton bareng atau nobar di Rumah Rakyat Walhi Riau, Selasa (9/11).

Selain itu, Noval Setiawan yang jadi penanggap pada nobar kali ini ceritakan bagaimana limbah akibat aktivitas batubara berpengaruh pada kualitas udara di Pekanbaru. Ada indikasi Particulate Matter atau PM 25 dan 10. Hal tersebut adalah kandungan yang terdapat pada limbah fly ash dari PLTU.

Fly ash adalah limbah hasil pembakaran batubara yang terbang dan terlihat seperti debu halus atau pasir halus. Sedangkan PM merupakan semua zat yang diemisikan dalam fase terkondensasi. Cairan atau padatan. Diameternya dari satuan nanometer sampai puluhan mikrometer.

Fakta surplusnya pasokan listrik sebanyak 55 persen di Sumatera juga dibeberkan oleh Muhammad Ragiel Ramadhan Lubis. Ia katakan bahwa negara hanya butuh 30 persen. Sedang secara internasional hanyak 20 persen. Ragiel dan Noval memberikan solusi yang sama. Negara harus meninggalkan energi kotor dan memulai dengan energi yang lebih bersih.

“Kita bisa mempunyai cara lain, yaitu menggunakan Energi Baru Terbarukan. Bisa jadi kita mengambil dari getel mark, panas bumi. Terus dari kincir angin, panel surya, dan masih banyak lagi,” tutupnya pada nobar dan diskusi yang diputar serentak di Pulau Sumatera, seperti Pekanbaru, Lampung, dan Bengkulu.

Penulis: Defna Friska

Editor: Andi Yulia Rahma