Seorang pria berkemeja melangkah maju kemudian duduk di kursi. Ia tersenyum. Rambutnya cepak, tubuhnya tinggi, sekilas tampak seperti anggota militer. Dia Nurhady Sirimorok, seorang penulis, peneliti sekaligus penerjemah. Buku berjudul Navigasi Bugis karya Gene Ammarell adalah salah satu terjemahannya. Ia menjadi pemateri dalam Pelatihan Jurnalistik Tingkat Lanjut Nasional (PJTLN) di Makassar pada 11 Oktober 2016. Acara dibuka pukul sembilan lewat empat puluh menit. Etnografi dalam penelitian sejarah jadi bahasan yang akan disampaikan di aula BP PADNI dihadapan 18 peserta perwakilan Lembaga Pers Mahasiswa di Indonesia.

Ketika Nurhady memaparkan materinya, aksen bugis terdengar dari setiap ucapannya, “Ya to?” merupakan kalimat yang sering terdengar di akhir pembicaraannya. Saat materi dimulai, Nurhady jelaskan hubungan antara Etnografi dan Sejarah yang berfungsi sebagai pembanding masa lampau dan sekarang. Keberlanjutan dan keterputusan, penggunaan masa lalu oleh masa kini dan Etnohistori.

Etnografi mempelajari tentang konteks, proses, dan makna. Dalam kegiatan jurnalistik, ketika hendak melakukan pendekatan sejarah hal yang penting untuk dilakukan adalah mengumpulkan data. Data ini nantinya menjadi bukti kuat seorang jurnalis. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam mengumpulkan data, yaitu aktor, perilaku, ruang, benda, waktu, tujuan dan emosi.

Untuk menggunakan metode etnografi dalam liputan sejarah, yang harus dilakukan adalah mencari dan mencatat gambaran umum dari sebuah objek. Setelah itu, lakukan observasi sehingga banyak temuan di lapangan yang nanti akan kita pilih jadi fokus dalam tulisan. Kemudian buatlah pertanyaan yang menjadi alat untuk menggali informasi sesuai yang dibutuhkan. “Meneliti dan menulis sejarah jangan buru-buru,” tambah Nurhady.

Sekitar pukul dua belas, materi Nurhad selesai. Seluruh peserta dipersilahka istirahat, sholat dan makan. Pukul dua siang seluruh peserta berkumpul kembali ke aula. Sepuluh meja telah tertata rapi dengan lima buah kursi merah disetiap mejanya. Peserta kemudian duduk dan siap menerima materi.

Dua puluh menit berselang, materi dimulai. Abdul Rahman Hamid jadi pengisi selanjutnya.

“Menulis adalah proses membuat batu nisan dengan tujuan keabadian,” ungkapnya kemudian. Pria kelahiran Maluku ini jelaskan materi terkait kemampuan dan keterampilan mencari arsip. Ia memulai materi dengan menyamakan persepsi peserta tentang sejarah. Abdul Rahman Hamid menganalogikan sejarah sebagai sebuah mobil. Secanggih dan semahal apapun mobil di dunia, pasti memiliki kaca spion yang arah hadapnya kebelakang. Semakin kencang mobil berjalan maka semakin diperhatikan pula kaca spion, terutama ketika hendak berbelok. Artinya sejarah adalah sebuah peristiwa yang telah berlalu namun tetap berguna untuk masa sekarang dan masa depan. “Kita menulis sejarah bukan untuk masa lalu. Dan kita semua adalah produk masa lalu,” tambahnya.

Tulisan sejarah memerlukan sebuah data. Data terbagi atas lisan yang berupa sejarah dan tulisan yang berupa dokumen serta arsip. Kemudian ada artefak dan monument.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia disingkat KBBI, arsip adalah simpanan surat-surat penting. Arsip memiliki peranan penting terhadap penulisan sejarah. Seperti yang diungkapkan Abdul no document, no history.

“Tinta yang kabur lebih baik daripada ingatan yang dianggap tepat,” ujar abdul mengenang perkataan dosennya. Ia bercerita bahwa arsip tak ubahnya samudera pengetahuan tentang kehidupan dimasa lalu. Arsip hadir laksana duta dari masa lalu yang bisu.

Abdul katakan bahwa penulisan sejarah memiliki tiga bagian yaitu kronologis atau urutan waktu, kausalitas yakni sebab akibat, kemudian imajinatif yang merupakan bentuk narasi yang hidup. Ia juga sampaikan bahwa menulis sejarah membantu merawat ingatan bangsa. “Anda punya tanggung jawab besar dalam ketahanan bangsa dengan membuat tulisan sejarah,” pesannya kemudian. *Nirma