NEGARA   memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20 persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja   daerah   untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional. Ini tertuang dalam Undang-undang Dasar 1945 pasal 31 ayat 4 hasilamandemen.

Sebenarnya untuk apa negara harus memprioritaskan anggaran pendidikan?

Dalam laporan Tahunan Unicef—Badan Perserikatan Bangsa-bangsa yang menang-ani dana bantuan bagi anak-anak—pada 2010, menjelaskan pentingnya pendidikan. Dalam laporan dijelaskan pendidikan jadi elemen penting dalam mengurangi kemiskinan, memberdayakan wanita dan menyelamatkan anak-anak dari berbagai bentuk ekspoitasi.

Pertanyaannya, apakah deng-an adanya anggaran yang dikhususkan ini menjamin pendidikan jadi lebih baik? Dapatkah pendidikan yang jadi elemen penting itu terwujud di Indonesia? Atau terkhususnya di Riau?

KAMSOL bekerja di badan perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Riau, sebagai Kepala Bidang Penelitian & Kerjasama Pembangunan. Ia melihat adanya fenomena dengan terbatasnya infrastruktur akibatkan banyak anak yang tak bersekolah.

“Itu melanggar konstitusi, dalam undang-undang—pendidikan adalah tanggung jawab pemerintah, bagaimanapun keterbatasan infra-struktur pemerintah harus memenuhi kebutuhan itu,” kata pria kelahiran Dabosingkep, 14 Maret 1965 ini.

Melalui disertasinya untuk gelar doktoral di Ilmu Ekonomi Pasca Sarjana Fakultas Ekonomi dan Bisnis di Universitas Brawijaya, ia jelaskan apakah anggaran pendidikan yang dicanangkan tersebut bermanfaat, atau dimanfaatkan. Ia buat tugas akhir dengan judul Analisis Pembiayaan Sektor Pendi-dikan dalam Upaya Mere-strukturisasi Strategi Peningkatan Kualitas Sumberdaya Manusia dan Provinsi Riau.

Ia bandingkan tiga provinsi di Indonesia: DKI Jakarta, Jawa Timur dan Riau dalam pembiayaan pendidikan. Menurutnya, DKI Jakarta dan

Jawa Tengah perkembangan pembiayaan pendidikannya menunjukkan peningkatan. Sedangkan Riau lebih fluktuatif atau tidak tetap dalam pembiayaan pendi-dikan.

Menurut Kamsol, belum ada yang memantau pembiayaan anggaran pendidikan sebagai alat ukur majunya sumberdaya manusia. Maka ia yang pertama kali melakukan pengukuran dan analisa soal ini di Riau. Kamsol meneliti di 12 kabupaten dan kota.

Ia fokus melakukan penelitian di Riau karena melihat adanya ketimpangan pendapatan. Provinsi Riau berada di urutan ketiga yang Indeks Pem-bangunan Manusia atau IPMnya masih berada dibawah rata-rata. Magister Manajemen di Unversitas Putera Indonesia atau UPI-YPTK pada 2002 ini melakukan penelitian rentang 2007 hingga 2012.

Data yang digunakannya bersumber dari Laporan Publikasi Badan Pusat Statistik Provinsi Riau, kuisioner hingga wawancara. Sedangkan teknik analisa datanya menggunakan metode Data Envelopment Analysis atau DEA. Ini merupakan teknik untuk menghitung perbandingan input yang diolah dan output yang dihasilkan.

Untuk menganalisis kinerja dan pengaruh pengeluaran pembiayaan pendidikan di Riau, Kamsol gunakan metode analisa jalur atau Path Analysis. Metode ini untuk mengetahui hubungan adanya sarana prasarana dengan kualitas sumberdaya manusia yang dihasilkan.

Keberhasilannya di satuan tingkat pendidikan, maka digunakan pendekatan analisis sekolah sukses atau Success School Analysis. Sekolah yang dipandang telah memenuhi kriteria dimana akan dilihat standar kinerja pendidikannya dengan membandingkan pengeluaran belanja kebutuhan pendidikan yang dilakukan.

Sarjana Administrasi Pendidikan di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Islam Riau ini juga gunakan metode AHP. Metode Analytical Hierarchy Process atau pengelom-pokkan tingkat intensitas pentingnya suatu indikator dari permasalahan ini dapat memudahkan penelitian.

Dalam hipotesisnya, ia jelaskan terdapat pengaruh positif pembiayaan sektor pendidikan terhadap keter-sediaan sarana dan prasarana pendidikan. Ia mendasarkan hipotesis ini dari penelitian Iskandar dan Suprapto pada 2013. Dimana hasilnya, semakin tinggi alokasi belanja bidang pendidikan, maka semakin tinggi ketersediaan sarana pendidikan.

Hipotesis lainnya, akan ada dampak positif untuk kualitas sumberdaya manusia. Ini didasarkan pada penelitian Cao pada 2008, hasilnya semakin tinggi pendidikan yang ditempuh, maka makin tinggi kualitas sumberdaya manusianya.

Benarkah hipotesisnya?

PROVINSI Riau berupa daratan dan perairan. Luasnya sekitar8,8 juta km2. Jumlah penduduknya untuk laki-laki melebihi 3 juta jiwa, sedangkan perempuan seki-tar 2,9 juta jiwa. Jumlah jiwa untuk kelompok umur wajib belajar, dari 5 hingga 19 tahun mencapa 1,8 juta.

Untuk mengetahui kondisi pendidikan di Riau, dapat digambarkan dengan beberapa indikator. Diantaranya, Indeks Pembangunan Manu-sia atau IPM, rata-rata lama sekolah serta angka melek huruf. IPM menggambarkan perkembangan kualitas sum-berdaya manusia yang terdiri dari komponen indeks pendidikan, angka harapan hidup dan indeks daya beli.

Dari hasil penelitian diperoleh pada 2011, Kabupaten Kampar memiliki perkembangan IPM yang meningkat dibandingkan kabupaten lain. Namun capaian IPMnya masih lebih rendah dibandingkan Pekanbaru dan Dumai.

Untuk perkembangan rata-rata lama sekolah di Riau setiap tahunnya terjadi peningkat. Tingkat lama sekolah tertinggi terdapat di Pekanbaru, rata-rata lebih dari 11 tahun. Sedangkan yang terendah terdapat di Kabu-paten Kepulauan Meranti rata-rata lama sekolahnya 7 tahun.

Untuk mengetahui kondisi pendidikan di Riau, dapat digambarkan dengan beberapa indikator. Diantaranya, Indeks Pembangunan Manusia atau IPM, rata-rata lama sekolah serta angka melek huruf. IPM menggambarkan perkembangan kualitas sum-berdaya manusia yang terdiri dari komponen indeks pendidikan, angka harapan hidup dan indeks daya beli.

Ilustrasi lingkup pembelajaran pendidikan
Ilustrasi lingkup pembelajaran pendidikan

Dari hasil penelitian diperoleh pada 2011, Kabupaten Kampar memiliki perkembangan IPM yang meningkat dibandingkan kabupaten lain. Namun capaian IPMnya masih lebih rendah dibandingkan Pekanbaru dan Dumai.

Untuk perkembangan rata-rata lama sekolah di Riau setiap tahunnya terjadi peningkat. Tingkat lama sekolah tertinggi terdapat di Pekanbaru, rata-rata lebih dari 11 tahun. Sedangkan yang terendah terdapat di Kabupaten Kepulauan Meranti rata-rata lama sekolahnya 7 tahun.

Sedangkan angka melek huruf di Riau, peningkatan selalu terjadi setiap tahunnya. Pada 2011, capaian angka melek huruf hingga 98,42 persen. Untuk daerah yang tertinggi angka melek hurufnya terdapat di Pekanbaru dan Dumai, sekitar 99,89 dan 99,35 persen. Untuk capaian terendah angka melek huruf berada di Kepulauan Meranti sekitar 90,35 persen.

Ini tak terlepas dari perbedaan tinggi rendahnya nominal belanja pendidikan tiap kabupaten. “Untuk itu dalam menyusun Rencana Pembangunan Jangka Mene- ngah atau RPJM indikator utamanya saya buat dulu. Angka lama sekolah diubah dari 8 jadi 10 tahun. Sehingga wajib belajar pendidikan dasar harus tuntas,” ucap Kamsol. Ia masuk dalam tim penyusun RPJM Provinsi. Kamsol menambahkan, nantinya lulusan sumber daya manusia di Riau minimal akan berpendidikan akhir— Sekolah Menengah Atas (SMA). “Kabupaten dan kota akan mengejar wajib belajar pendidikan dasar—wajar dikdas—9 tahun, 2014 sampai 2018 harus tuntas,” tambah Kamsol.

Dan bagaimana dengan pembiayaan pendidikan di Riau?

Dalam penelitian Kamsol sebagian besar daerah di Provinsi Riau telah alokasikan belanja pendidikan lebih dari 20 persen. Kota Pekanbaru jadi daerah dengan alokasi yang terbesar sekitar Rp 469 juta rupiah atau 43,70 persen dari APBD. Daerah lain, Kabupaten Indragiri Hilir 36,25 persen, Kuantan Singingi 33,19 persen dan Kampar 29,93 persen.

Sedangkan Indragiri Hulu 27,92 persen, Kepulauan Meranti 26,18 persen, Dumai 25, 67 persen dan Pelalawan 22,83 persen. Untuk daerah yang alokasi belanja pendidikan di bawah 20 persen ada di Kabupaten Siak 19.94 persen, Bengkalis 19,02 persen, Rokan Hilir 17,79 persen dan Rokan Hulu 17,70 persen.

Pembiayaan belanja pendi-dikan dapat dilihat dari besarnya anggaran dan per-untukannya. Apakah dialoka-sikan untuk manajemen, akses serta mutu pendidikan. Manajemen terdiri dari program sarana dan prasa-rana aparatur, pengem-bangan sistem pelaporan, administrasi perkantoran, kebutuhan olahraga dan manajemen olahraga.

Untuk akses, ada Dana Alokasi Khusus (DAK), Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), Wajar Sembilan tahun, peringatan hari besar, sarana dan prasarana pendi-dikan dasar, pendidikan menengah, non formal dan luar biasa. Sedangkan Mutu Pendidikan terdiri dari peningkatan kapasitas sumberdaya manusia, mutu pendidikan tenaga kependidikan, pelayanan pendi-dikan, pendidikan tinggi, budaya baca pustaka dan kepemudaan.

Pembiayaan sektor pendi-dikan kabupaten/kota di Riau baik di bawah maupun di atas 20   persen mempunyai prioritas utama meningkatkan akses pendidikan. Sementara prioritas kedua pada manajemen dan mutu yang terakhir.

“Karna program yang ada tidak mengarahkan kepada output atau suatu keluaran yang dapat langsung digunakan,” kata Kamsol. Menurutnya SDM bidang perencanaan tidak siap dalam melaksanakan anggaran 20%, dan desain yang jelas dari pusat itu tidak ada. “Jadi mereka hanya membuat kegiatan. Mereka anggap ketika memberi tunjangan kesejahteraan jadi tinggi maka mutu pendidikan meningkat. Padahal itu hanya persepsi yang mereka buat,” Kamsol menambahkan.

Ia mencontohkan Kabupaten Bengkalis, dengan anggaran hampir Rp 700 miliar hanya digunakan untuk kesejah-teraan guru, sehingga perbandingan guru dan murid cukup besar. “Guru mengajar 20 siswa, itu tidak efisien. Seharusnya 30 siswa, padahal masih banyak anak-anak yang tidak sekolah,” katanya. Kamsol melihat program yang dibuat tidak berdasarkan

hitungan yang jelas, “Perencanaan matang tapi hanya dengan persepsi, makanya pendidikan tidak berdampak.”

Ia menambahkan efek dari perencanaan yang tak jelas ini adanya kelebihan jumlah guru, namun banyak anak yang tidak bersekolah. “Manajemen lagi masalahnya. Disana sebenarnya fungsi Dinas Pendidikan,” ucap Kamsol. Dinas lakukan monitoring evaluasi dan regulasi, teknis pelaksanaan berikan kepada sekolah.

Dalam konsep dasar pembiayaan pendidikan ada dua hal penting yang perlu dikaji menurut Kamsol. Biaya pendidikan secara keselu-ruhan (total cost) dan biaya satuan persiswa (unit cost). Biaya satuan di tingkat sekolah merupakan jumlah total biaya pendidikan tingkat sekolah baik yang bersumber dari pemerintah, orang tua dan masyarakat dalam penyelenggarakan pendi-dikan satu tahun pelajaran.

Biaya satuan per murid merupakan ukuran yang menggambarkan seberapa besar uang yang dialokasikan sekolah secara efektif untuk kepentingan murid pada masing-masing sekolah.

Penelitian terhadap satuan biaya pendidikan secara mikro menggunakan metode analisis kualitatif deskriptif (SSA). Kondisi menyangkut biaya pendidikan per tahun tiap siswa SD, SMP dan SMA di Kabupaten/Kota yang menerima alokasi anggaran pendidikan. Dalam penelitian ini Kota Pekanbaru dan Dumai.

Hasilnya, orang tua siswa lebih banyak keluarkan biaya non pendidikan pada jenjang SD, SMP dan SMA. Seperti biaya sumbangan gedung, iuran rutin sekolah, alat tulis, seragam, praktikum, buku, perlengkapan olahraga, uang saku, study tour, Ies tambahan dan pengeluaran lainnya. Tidak kurang dari 10 juta biaya yang dikeluarkan tiap tahunnya oleh orang tua. Kamsol melihat, seharusnya tidak ada lagi biaya yang dikeluarkan oleh orang tua untuk anaknya sekolah.

“Kebijakan dalam sektor anggaran pendidikan seharusnya menutupi biaya yang dikeluarkan orang tua siswa karena amanat undang-undang, pendidikan gratis itu ya benar gratis,” ucapnya.

Menurut Kamsol kenapa terjadi demikian, karena perencanaan tidak tepat dalam melihat kebutuhan apa yang harus dipenuhi oleh pemerintah. Anggaran yang dibuat masih pada kebutuhan sekolah dan biaya guru. Ia contohkan program Bantuan Operasional Sekolah atau BOS, “BOS ini sudah betul, tapi BOS inikan merata. Sejuta yang di Irian Jaya sama dengan sejuta di tempat lain. Kan tidak adil, tapi itu lah yang bisa dilakukan mereka sekarang. Karena belum ada strategi yang betul dan manajemen yang jelas,” Kata Kamsol.

SECARA garis besar anggaran 20 persen tidaklah efektif. Kamsol menyimpulkan hal ini karena banyak dana yang seharusnya digunakan untuk peningkatan mutu pendidikan banyak digunakan untuk melaksanakan kegiatan dan program yang tak tepat sasaran untuk peningkatan mutu. Seharusnya anggaran tersebut digunakan untuk meningkatkan daya tampung sekolah, pemerataan kemam-puan dan kapasitas guru serta penguatan manajemen pendidikan.

Masyarakatpun tetap memiliki beban biaya pendidikan di sekolah dasar dan menengah. Sampai hal mendasar, masya-rakat tetap dimintai dana sumbangan untuk pemba-ngunan, padahal ini seharusnya sudah masuk dalam anggaran tersebut.

Ia menambahkan anggaran 20 persen itu belum ada evaluasi dari pemerintah. Dari hasil yang ia teliti 20 persen itu dana tidak efektif, tidak efisien dan tidak berdampak.#