Dua tempat berkesan yang saya kunjungi selama pelesir di Medan
DUA meja tersusun rapi di depan pintu berwarna cokelat kehitaman. Di atas meja tersusun majalah dan buku serta daftar hadir tamu yang dijaga beberapa orang ber-ID card panitia. Setelah mengisi daftar hadir, para tamu disuguhi majalah berjudul Kover. Saya mulai membuka pintu dan mencari kursi yang tak diduduki. Pintu ini terletak di sebelah kiri dari tempat duduk jika menghadap ke panggung.
Ruangan persegi yang dihiasi bunga ini adalah ruangan Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) Universitas Sumatra Utara (USU), terletak di Jalan Mansyur, Medan. Di ruangan ini, 24 April, Yayasan Pantau, LPM Suara USU, Narasi Sumatera gelar kegiatan bertajuk Launching, Diskusi dan Bedah Buku Dapur Media. Buku ini diterbitkan oleh Yayasan Pantau Jakarta.
Dua hari sebelumnya, panitia telah adakan Workshop Narasi bagi mahasiswa yang ingin belajar menulis panjang, materinya seputar jurnalistik. Pematerinya  Basil Triharyanto dari Yayasan Pantau.
Sekitar lima puluh orang padati Gedung LPPM USU, sebagian besar mahasiswa dan undangan. Acara dimulai 09.45, molor 45 menit dari jadwal.
Jelang berapa menit, pembawa acara membuka dengan ucapkan salam, pemutaran video tentang bagaimana media di Indonesia pasca reformasi dan demokratisasi sejak keruntuhan pemerintahan otoriter rezim Soeharto. Digambarkan media-media yang menuntut demokrasi di bredel. Bagaimana media yang awalnya idealis dan ditindas negara, menjadi industri yang makin otonom dan mementingkan pemilik media.
Di atas panggung empat buah kursi tersusun sedikit melengkung, sebuah meja dan buahan terletak diatasnya. Diskusi dan bedah buku dipandu Januar, Kru Suara USU. Pembicara dipanggil satu persatu untuk duduk di kursi yang telah disediakan. Basil Triharyanto sebagai penyunting buku langkahkan kaki ke depan diiringi tepuk tangan peserta dan undangan. Menyusul Tikwan Raya Siregar Pemimpin Redaksi Sumatera and Beyond serta J Anto Direktur Kajian, Informasi, Pendidikan dan Penerbitan Sumatera (KIPPAS).
Basil dipersilahkan untuk menjelaskan isi buku tersebut. Ia cerita bagaimana dirinya dan rekan-rekan mengumpulkan kembali isu menarik, terutama ruang redaksi dan tokoh-tokoh media. Buku ini bercerita tentang dapur redaksi. “Dapur itu ibarat rahasia media,†katanya. Namun karena persoalan media itu semakin terbuka, ia meyakini bahwa masyarakat juga harus mengetahui bagaimana proses di dalam media.
Semula ada lima belas media, tapi Yayasan Pantau mengacu pada media yang masih hidup, akhirnya tersisa sembilan media. Ada naskah lama yang pernah diangkat oleh Pantau, seperti Tempo, Bisnis Indonesia, Harian Lokal Sriwijaya Pos, Suara Timor Timur dan Jawa Pos. “Akhirnya muncul tiga media lagi, Metro TV, Yahoo Indonesia dan Kaskus,†tambahnya.
Benang merah dari semua kumpulan tulisan dari buku Dapur Media, jelas Basil, bagaimana sejarah jurnalisme Indonesia pasca reformasi, kemerdekaan pers tidak didukung oleh mutu pemberitaan. Rusaknya independensi media juga karena ekonomi dan bisnis, ruang redaksi sudah terkontaminasi dengan iklan, bisnis dan kekuasaan. “Persoalan kualitas jurnalisme menjadi persoalan serius,†tutur Basil.
Tikwan Raya Siregar mengakui independensi dan objektivitas yang merupakan bagian dari prinsip jurnalistik yang ideal sulit diterapkan dalam media saat ini. Pasalnya, hubungan industrial antara media dengan pasar secara tidak langsung akan memengaruhi produk jurnalistik.
Menurut Tikwan, independensi dan objektivitas tidak boleh diletakkan pada medianya, namun pada pembacanya. Pembaca harus dapat menilai sendiri setiap pemberitaan. “Pembaca jangan hanya memahami berita dari fakta dan data yang disajikan, namun lebih menyoroti siapa yang membuat berita tersebut. Di situlah letak independensinya,†katanya.
J Anto, Direktur KIPPAS tidak sepakat dengan Tikwan. Menurutnya, pers atau media tetap harus menjaga idealismenya, tidak terpengaruh kepentingan-kepentingan di tubuh media maupun dari pemilik modal.
Putri Rizki Ardhina, mahasiswa Departemen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) USU 2010 yang hadir dalam acara tersebut mengakui independensi yang ideal memang sulit dilakukan. Hal ini terlihat dari tidak ada media mana pun di dunia yang benar-benar independen.
Ia sepakat independensi sangat penting bagi media agar tidak mudah mendapat campur tangan dari pihak mana pun, meskipun saat ini banyak media yang harus berpihak pada kepentingan tertentu. “Berpihaklah pada kebenaran, jangan ada berita yang dipelintir,†paparnya.
Apapun kondisinya, tambah J Anto Direktur KIPPAS, prinsip jurnalistik yang sudah ideal seharusnya tak boleh lekang. Pekerja media terutama wartawan harus tahu dengan baik lingkungan kerja yang akan dimasukinya, agar idealismenya tidak luntur.
Puput Jumantirawan dari Forum Pers Mahasiswa Riau mengemukakan pendapat terkait independensi dalam konteks media. Baginya, independensi adalah cara kerja, bukan tujuan. “Banyak yang memahami independensi dilakukan untuk mencapai tujuan,†ujar Puput.
Maruntung Sihombing dari Universitas Negeri Medan sepakat. “Intinya bagaimana mengembalikan marwah jurnalisme itu sendiri, melihat saat ini bayak media yang lari dari fungsi sebenarnya,†ungkapnya.
Pukul 12.00 acara diakhiri dengan pemberian cenderamata kepada para pembicara dan pembedah buku Dapur Media.
USAI menghadiri diskusi dan bedah buku Dapur Media, saya melanjutkan perjalanan ke Jalan Sakura III No.7-10 Komplek Taman Sakura Indah,Tanjung Selamat, Medan. Awalnya saya mengira bangunan yang puncak kubahnya sudah terlihat ketika melewati komplek Perumahan Taman Sakura Indah dan Perumahan Alamanda Indah di daerah Sunggal ini, sebuah kuil tempat peribadatan umat Hindu keturunan India atau Suku Tamil di Kota Medan. Namun ia bukan kuil, melainkan sebuah gereja Katolik bernama Gereja Graha Maria Annai Velangkanni.
Pintu gerbang bangunan ini berupa miniatur rumah adat Karo. Pagarnya dihiasi relief orang-orang mengenakan pakaian adat berbagai etnis di Indonesia. Ia menggambarkan bahwa tempat ini terbuka bagi siapa saja tanpa memandang suku dan ras.
Sang inisiator, Pastor James Bharataputra S.J menemani saya memahami makna di setiap sudut gereja.
“Ini graha, rumah tempat orang mencari pengalaman dan mengalami kuasa Tuhan. Semua orang yang mengasihi Bunda Maria serta percaya akan kekuatannya, maka Maria akan menuntun para peziarah kepada Yesus, puteranya yang menyelamatkan,†tuturnya.
Bangunan utama gereja berbentuk menara yang terdiri dari dua tingkat. Lantai dasar dijadikan aula dan lantai atas dipakai sebagai ruang ibadah. Kubah gereja berjumlah tiga, melambangkan konsep Ketuhanan Trinitas dalam agama Katholik yaitu Allah, Yesus dan Roh Kudus. “Menara terdiri dari tujuh jenjang melambangkan tujuh tingkatan surga,†jelas Pastor.
Di sebelah kiri graha terdapat Kapel Annai Velangkanni untuk tempat berdoa harian dan di depannya ada sebuah taman mini untuk memperingati Paus Yohanes Paulus II. Ada pula taman untuk anak-anak dan komplek graha yang bisa menampung pengunjung dari jauh menginap secara gratis.
Untuk menuju lantai atas, saya berjalan kaki melewati tangga melingkar menuju pintu masuk lantai dua. Di lantai dua ini terdapat patung berdiri Annai Velangkanni dan putranya setinggi dua meter yang dibawa langsung dari India. Ada 20 jendela di sana, mengisahkan peristiwa dalam hidup Yesus, dilengkapi tujuh tingkat menara dengan tiga kubah yang melambangkan surga tempat Allah Tri Tunggal bertahta.
“Dulu gereja ini kecil, sempat terbakar. Ajaibnya masih tersisa sebuah kitab dan jutaan uang,†tutur Pastor.
Saya mendengar seksama cerita Pastor James Bharataputra. Setelah terbakar, pada September 2001 pembangunan graha mulai dilakukan selama empat tahun dengan biaya Rp 4 miliar. Dana datang dari para pecinta dan pemuja Maria, baik Katolik maupun non Katolik. “60 persen dana berasal dari umat di Indonesia, 30 persen Singapura, selebihnya dari Malaysia, India, dan Dubai,†kata Pastor.
Sejak diresmikan pada 1 Oktober 2005 yang bertepatan dengan hari pembukaan Bulan Rosario, graha ini telah dikunjungi ribuan pecinta Maria dari dalam dan luar negeri. Sebelum terbakar, graha ini dibangun seorang pendatang dari Tamil, India Selatan yang menganut agama Katholik. Bangunannya yang sekilas seperti Candi Prambanan menganut ciri arsitektur Indo-Moghul.
“Beberapa hari setelah diresmikan datang keajaiban. Sebuah mata air muncul tepat di bawah kaki patung Bunda Maria,†kata Pastor. Sejak itu, banyak orang datang sekedar untuk minum air tersebut. Mereka percaya air bisa menyembuhkan segala penyakit.
“Maria Annai Velangkanni memang dikenal sebagai Maria Bunda Penyembuh. Kami mengundang Anda untuk datang dan melihat sendiri, karena melihat maka percaya,†tutup Pastor berusia 74 tahun ini. #