Hari Perempuan Internasional: Sejauh Mana Keterlibatan Kaum Marginal di Provinsi Riau?

Sahabat Puan Riau bersama Garis Sama menggelar Talkshow bertajuk Isu Perempuan dan Anak dalam Visi Misi Kepala Daerah Baru. Kegiatan ini berlangsung dalam rangka memperingati Hari Perempuan Internasional pada 8 Maret melalui Zoom Meeting.

“Semakin sedikit keterwakilan perempuan maka sedikit pula yang akan bersuara untuk perempuan,” ujar Dosen Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Lancang Kuning, Fajarwati Kusumawardhani pada Sabtu (8/3).

Kebijakan afirmasi menjadi salah satu instrumen penting dalam menciptakan keadilan sosial di Indonesia. Kebijakan ini bertujuan untuk memberikan perlakuan khusus bagi kelompok-kelompok yang terpinggirkan dan terdiskriminasi, termasuk kaum marginal. Meskipun kebijakan afirmasi diharapkan dapat menciptakan pemerataan, implementasinya tidak lepas dari berbagai tantangan. Terutama dalam memastikan bahwa kaum marginal benar-benar memperoleh manfaat yang maksimal.

“Kehadiran kaum marginal khususnya perempuan di kalangan publik, birokrasi, maupun legislatif masih sangat sedikit,” ucapnya. Perempuan masih perlu didorong untuk ikut andil dalam birokrasi pemerintahan, karena masih menganggap dunia politik dan legislator hanya untuk laki-laki.

Anggaran belanja pemerintah Provinsi Riau terkait kebijakan afirmasi ini juga cukup penting untuk dibahas. Prioritas pemerintah terhadap alokasi dana untuk kaum marginal maupun perempuan sangat kecil dan tidak termasuk dalam fungsi wajib pemerintahan daerah.

“Kebijakan terkait kaum marginal yang dibuat oleh Gubernur Riau belum terlihat secara eksplisit,” ujar Fajarwati. 

Koordinator Fitra Riau, Tarmidzi mengatakan alokasi dana untuk gender tidak memiliki tempat khusus. Ada sembilan fungsi penyelenggara pemerintah daerah yang di dalamnya terdapat alokasi dana permasalahan gender. Namun, untuk lebih spesifiknya bagian tersebut masuk kepada fungsi perlindungan sosial dengan proporsi sekitar 1,1%.

“Angka kecil tersebut disebabkan karena tidak dianggap sebagai fungsi urusan wajib atau dasar,” ujar Tarmidzi. Hal ini tentu menjadi catatan bagi pemerintah untuk lebih memedulikan kebutuhan kaum marginal dan perempuan.

Staff Wakil Lingkungan Hidup atau Walhi Riau, Sri Depi mengatakan kepala daerah baru di Riau memang terlihat cukup peduli terhadap isu lingkungan. Namun, mereka tidak begitu mendalam perihal permasalahan terkait kebakaran hutan, lahan, dan gambut atau karhutla serta isu gender.

“Lingkungan dan perempuan merupakan dua hal yang saling berkaitan,” ujar Sri.

Ketika terjadi bencana banjir ataupun karhutla, kelompok yang paling mendapat beban berlapis justru dari kalangan marginal seperti lansia, disabilitas dan perempuan. Dia sangat menyayangkan kepala daerah yang tidak memasukkan perhatian tersebut ke dalam visi misinya.

“Budaya patriarki juga menjadi salah satu penyebab mengapa keputusan sering terjadi secara sepihak,” ujarnya. Sri acap kali melihat minimnya kontribusi perempuan dalam rapat desa.  

Diskusi ini menghadirkan berbagai komunitas di Riau. Mulai dari Garis Sama, Sahabat Puan Riau, Fitra Riau, hingga Walhi Riau.

Penulis: Bastian Felix Hutagaol
Editor: Fitriana Anggraini