Fifi Puspita Dosen Fakultas Pertanian Universitas Riau, mengolah limbah kelapa sawit menjadi pupuk yang aman bagi tanaman. Hasilnya sudah diujicoba dibeberapa daerah di Riau. Banyak penelitian lainnya yang dikerjakan oleh Fifi.
 Oleh Martha Novia Manullang
KELAPA SAWIT merupakan bisnis yang berkembang pesat di Indonesia, tanpa terkecuali di Provinsi Riau. Di provinsi ini, penggunaan lahan untuk perkebunan kelapa sawit menjadi yang terluas. Data Badan Pusat Statistik Provinsi Riau tahun 2013 menerangkan, total luas area perkebunan kelapa sawit di Provinsi Riau lebih kurang 2,3 juta hektar.
Meski begitu, melonjaknya produktivitas kelapa sawit juga diikuti dengan jumlah limbah yang dihasilkan.
Elaeis guineensis Jacq—nama lain kelapa sawit—menyisakan limbah padat berupa daun, pelepah dan tandan. Lebih kurang 22 ton pelepah kelapa sawit atau midrib dihasilkan tiap satu hektar areal perkebunan. Masyarakat terkadang memanfaatkan midrib tersebut sebagai pakan ternak.
Lain hal dengan Fifi Puspita, Dosen Fakultas Pertanian Universitas Riau. Midrib justru ia jadikan sebagai bahan baku pembuatan kompos. Midrib mengandung serat yang tinggi serta bahan organik seperti: polisakarida, hormon, vitamin, mineral dan senyawa bioaktif. Midrib juga sangat mudah didapat disekitar area perkebunan kelapa sawit.
Pembuatan kompos melalui limbah kelapa sawit ini dimulai dengan mencacah tandan kosong kelapa sawit sekitar 5 kilogram. Selanjutnya tandan kosong tersebut dibagi menjadi empat lapisan lalu dimasukkan ke dalam bak pengomposan.
Sebelum melakukan proses pengomposan, terlebih dahulu lapisan pertama tandan kosong tadi ditabur kotoran segar sapi yang telah diencerkan dengan air. Satu kilogram kotoran sapi diencerkan dengan tiga liter air. Kapur pertanian 31,25 gram, urea 18,75 gram, pupuk Triple Super Phosphate 9,37 gram serta Trichoderma sp 62,5 gram.
Trichoderma sp jenis jamur saprofit yang hidup dari hasil pelapukan. Jamur ini berkembang biak di rizosfer atau di permukaan akar tanaman yang dapat mengendalikan penyakit pada tanaman.
Keunggulan kompos yang menggunakan jamur Trichoderma sp diantaranya: mudah diaplikasikan, harganya murah, tidak menghasilkan racun atau toksin, ramah lingkungan, tidak menganggu organisme lain terutama yang berada di dalam tanah serta tidak meningkatkan residu di tanaman maupun di tanah.
Tahap selanjutnya menambah pelepah sawit setebal 25 centimeter. Untuk lapisan kedua hingga keempat juga dilakukan hal yang sama. Setelah tahapan tersebut dilakukan, pekerjaan selanjutnya menyiram bakal pupuk kompos tadi dengan air agar terus terjaga kelembapannya.
Hal ini dilakukan oleh Fifi karena banyak petani menggunakan pupuk yang mengandung pestisida. “Terutama petani di jalan Kartama, Pekanbaru,†ujar Fifi. Pupuk berbahan kimia yang mampu membunuh hama pada tanaman ini dapat merusak jaringan tumbuhan serta tidak ramah bagi lingkungan.
“Namun dengan menggunakan kompos tadi dapat menjadi pengganti pestisida yang berbahan kimia,†terang Fifi.
Kompos temuan Fifi sudah diuji di berbagai tanaman pertanian dibeberapa daerah. Salah satunya di Kecamatan Dayun Kabupaten Siak. Kata Fifi, uji cobanya terbukti lebih baik serta ramah lingkungan. Fifi juga melibatkan masyarakat setempat, memanfaatkan limbah kelapa sawit sebagai bahan dasar pembuatan kompos.
Selain mengolah pelepah sawit menjadi kompos, Ibu dua orang anak ini juga meneliti mikoorganisme yang hidup di permukaan akar tanaman. Yakni Bacillus sp. Bakteri ini hidup berkoloni pada akar tanaman serta memiliki manfaat besar bagi pertumbuhan tanaman tersebut.
Bacillus sp berpotensi untuk dikembangkan sebagai agen biokontrol dan pengendali patogen tular tanah. Ia mampu menekan hama yang akan merusak tanaman. Seperti penyakit daun busuk pada tanaman dan juga penyakit busuk pada pangkal batang tanaman kelapa. Bacillus sp umumnya berkembang di tanah gambut. Selain itu, Bacillus sp membantu penguraian bahan organik di tanah.
Untuk memanfaatkan Bacillus sp, terlebih dahulu mengidentifikasi morfologi dan jenis Deoksiribo Nukleat Acid atau DNA—asam nukleat yang menyimpan informasi biologis. Ini untuk mengetahui manfaat dari bakteri tersebut.
Pada tahun 2010, peneltian Fifi mendapat dana hibah dari Dikti. Penelitian ini masuk dalam program Iptek Bagi Inovasi Kreativitas Kampus atau IBIKK. Program ini mendanai penelitian yang memanfaatkan mikroorganisme dalam sistem pertanian organik yang berpengaruh pengaruh positif bagi tanaman, juga penyedia unsur hara untuk pertumbuhan tanaman.
Program ini melibatkan mahasiswa sebagai anggotanya. Menurut Ambosa, mahasiswa Jurusan Kehutanan angkatan 2009 yang ikut dalam penelitian, penelitian Fifi sudah banyak teruji dan berkualitas khususnya pada tanaman pertanian.
FIFI PUSPITA lahir 12 Desember 1967. Menyelesaikan pendidikan Strata 1 di Universitas Sumatra Utara pada 1990. Dua tahun kemudian, Fifi menjadi Dosen Agroteknologi Fakultas Pertanian Universitas Riau.
Bersamaan dengan itu, Fifi melanjutkan pendidikan Strata 2 di Univesitas Gajah Mada dan berhasil meraih gelar Magister pada 1997. Mulai 2009 hingga 2013, Fifi dipercaya sebagai Sekretaris Jurusan Agroteknologi. Tahun berikutnya diangkat menjadi Ketua Jurusan hingga sekarang.
Fifi juga sering manjadi dewan juri dalam pemilihan mahasiswa berpretasi di Universitas Riau.
Tak jauh dari keahliannya dibidang fitologi, Fifi menciptakan banyak penemuan mengenai hama dan penyakit tumbuhan yang disebabkan oleh bakteri maupun jamur. Fifi pun mendapat penghargaan dari dalam maupun luar kampus. Diantaranya: Piagam Penghargaan Rektor Universitas Riau, peringkat II Dosen Berprestasi tahun 2009. Piagam Penghargaan Gubernur Riau, sebagai Penemu Inovasi Formula Tricho-Algae sebagai Biofertilizer dan Biopestisida tahun 2011. Masih ada beberapa penghargaan lainnya yang diterima oleh Fifi.
Buah dari hasil temuannya sudah mendapat paten dari Hak Kekayaan Intelektual. Sebagian lagi sedang diajukan dan menunggu pengakuan yang sama.*