Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Bahana Universitas Riau kembali gelar Kelas Jurnalisme Sastrawi IV. Kelas ini merupakan pelatihan tingkat lanjut bagi kru pers mahasiswa guna mengembangkan ilmu jurnalistik. Berbeda dari tahun sebelumnya, kegiatan berlangsung dengan paduan antara online dan offline.

Hari pertama (17/11), Andreas Harsono ceritakan asal-usul gaya penulisan feature sebagai pembuka materi. Melalui aplikasi Zoom Meeting, ia berbagi kepada 24 anggota pers mahasiswa. Peserta dominan berasal dari LPM di Riau, sebab dalam kondisi pandemi ini Bahana hanya menerima peserta yang berdomisili di Riau. Ada Aklamasi Universitas Islam Riau, Gagasan Universitas Islam Negri (UIN) Sutan Syarif Kasim, dan Visi Universitas Lancang Kuning. Lalu Pers Mahasiswa Pijar Universitas Sumatera Utara dan Sumber Post UIN Ar-Raniry Aceh.

Kata Andreas, feature bermula Ketika Britton Hadden dan Henry Luce bergabung di Yale Daily News, surat kabar harian mahasiswa milik Universitas Yale, tempat dua sahabat itu menimba ilmu. Hadden dan Luce menamatkan pendidikannya pada 1920. Usai lulus, mereka mengambil jalan menjadi wartawan. Inilah awal mula Majalah Time lahir.

Time menghindari penulisan berita ala piramida terbalik. Metode ini sangat populer di kalangan wartawan kala itu. Feature kemudian sering digunakan untuk menulis kolom cerita dan opini. Metode ini membuat Time semakin berkembang. Selain itu, ditiru media lain di seluruh dunia.

Andreas adalah Pendiri Yayasan Pantau. Ia juga salah satu pelopor jurnalisme sastrawi di Indonesia. Ilmu tersebut ia dapatkan di Harvard University pada 1999, berkat beasiswa Nieman Fellowship on Journalism.

Lebih lanjut, penulisan feature di Indonesia digagas oleh Goenawan Mohamad. Ia pendiri Majalah Tempo. Saat itu, Tempo menjadi media terdepan dalam menyajikan gaya penulisan feature. Juga, sebagai media penting dalam perkembangan dunia kewartawanan Indonesia.

Andreas tegaskan, struktur penulisan feature berbeda dengan straight news. Straight news kental dengan struktur piramida terbalik. Sementara feature seperti jam pasir. Lead atau paragraf pembuka harus menarik. Gunanya, agar pembaca tertarik dan mengikuti alur feature. Penting untuk diperhatikan, lead dan paragraf penutup harus saling berkaitan.

“Ada banyak cara yang dapat dilakukan untuk menulis lead yang bagus. Di antaranya, ada unsur kebaruan, tulisan yang deskriptif, dialog, tidak klise, dan alinea yang berirama,” katanya.

Andreas Harsono saat mengisi materi penulisan feature
Andreas Harsono saat mengisi materi penulisan feature

Selain beberapa hal tersebut, ia juga sarankan untuk membacakan lead kepada orang lain. Hal ini untuk menilai apakah lead yang ditulis sudah menarik atau belum.

Menurutnya, ada beberapa poin yang harus diperhatikan dalam menulis feature. Pertama adalah fokus. Fokus berbetuk pertanyaan yang harus dijawab dalam tulisan. Lalu angle, yang menjadi jalan masuk untuk menarik minat pembaca. Terakhir outline, sebagai kerangka agar tulisan tertata dan tidak lari dari fokus.

Esensi dalam jurnalisme perlu diperhatikan dalam menulis sebuah feature. Yaitu verifikasi atau pemeriksaan kebenaran.  Untuk mencari informasi yang akurat, penulis harus mencari sumber valid.

Ada empat platform penting dalam mewujudkan esensi jurnalisme. Pertama, penulis harus tahu urutan sumber informasi yang mesti didapat. Informasi harus berasal dari lingkaran pertama yang mencakup korban, pelaku, dan saksi. Lalu gunakan nama lengkap dalam setiap urusan kewartawanan.

Dalam proses wawancara, pertanyaan yang hendaknya diajukan bersifat terbuka. Tujuannya, agar informasi yang diterima lebih rinci. Terakhir, jangan berkhotbah dalam menulis.

“Jangan menggurui pembaca,” pungkasnya.

Reporter : Tegar Pamungkas

Editor: Firlia Nouratama