IBRAHIM atau Karaeng Leo sebutan untuk gelar bangsawan Bugis Makassar. Lahir di Kampung Pesisir, Desa Nipanipa sekitar 5 kilometer dari Ibu Kota Bantaeng. Kampung itu bernama Tanetea.

Ia dilahirkan perempuan tangguh bernama Ramalla yang mempersiapkan persalinan tanpa bantuan seorangpun. Suaminya, Tuan Guru Sofyan sudah lama tak pulang. Tugas sebagai kepala sekolah, di Kapita sekitar 55 kilometer dari Tanetea lah yang memaksanya jarang pulang. Kabar suka maupun duka hanya diterimanya dari jauh. Termasuk saat istrinya meninggal ketika melahirkan Ibrahim.

Ibrahim remaja sekolah di SMA Negeri 2 Makassar. Selama menjalankan pendidikan ia tinggal di Pondokan Madinah. Sebuah rumah panggung bentuk U dengan 18 kamar dan 4 kamar mandi. Pondokan ini lumayan jauh dari sekolah, tapi sesuai dengan sakunya.

Biaya sekolah dan pondokan ditanggung sendiri oleh Ibrahim. Kerjanya menggembala kambing. Tiap liburan kwartal ia jadi kuli bangunan dan tak pernah absen mengantar koran ke pelanggan. Pernah juga Ibrahim menjual es dan barang bekas di pasar, bahkan merasakan jadi pembantu rumah tangga. Pekerjaan ini tak membuatnya malu meski sekolah ditengah anak-anak pejabat dan hartawan.

Di rumah pun, bila libur sekolah tiba, Ibrahim tak terbiasa berpangku tangan. Selalu ada yang ia kerjakan untuk membantu orang tua. Termasuk hobinya menggembala kambing.

Menjelang sekolahnya selesai, Ibrahim terpikat pada seorang gadis bernama Salma. Ia mengungkapkan hal tersebut, meski sudah memendamnya sejak pertama sekolah. Sayangnya, Ibrahim ditolak hanya karena tak sebanding dalam hal kemampuan ekonomi. Ibrahim tak putus asa.

Syahdan, ketika Maryam ibu tirinya, menjenguk di pondokan, ia bertanya bagaimana caranya meluluhkan hati perempuan. Pertanyaan itu dijawab oleh Maryam sebagaimana pengalamannya ketika digoda oleh Tuan Guru Sofyan. Semangat Ibrahim pun semakin membuncah. Bahkan ada pula gadis lain bernama Intan yang jatuh hati padanya. Tapi pilihannya tetap pada Salma.

Satu ketika, dalam waktu bersamaan, Ibrahim diundang makan malam oleh Intan dan Salma. Ibrahim memutuskan untuk memenuhi undangan Intan terlebih dahulu. Ia dapat pujian dari orangtua Intan karena kegigihan dan kemandiriannya. Tapi dapat hinaan dan caci maki dari orangtua Salma karena anaknya telah ditunangkan dengan laki-laki pilihan keluarga.

Ibrahim tak mau larut dalam kondisi patah hati seperti itu. Ia mulai memikirkan masa depannya setelah tamat sekolah nanti. Lewat Supriyadi teman sekelasnya, mereka mendaftar di Akademi Militer. Biaya selama pendidikan ditanggung oleh negara.

Tiap hari, usai shalat subuh, ia melatih tubuhnya dengan gerakan sit-up, push-p, pull-up, shuttle-run atau lari zig-zag angka delapan dan mengitari lapangan di Karebosi.

Namun ada sedikit kendala. Ibrahim tak dapat restu dari ayahnya. Padahal, salah satu syarat untuk mendaftar harus mendapat surat izin yang ditandatangani sang ayah. Mengetahui kejadian itu, kakaknya Karaeng Kulle terpaksa memalsukan tandatangan sang ayah. Ibrahim kembali semangat dan meninggalkan rumah dengan sepucuk surat untuk ayah dan ibunya.

Setelah mengikuti beberapa rangkaian tes, Ibrahim dan Supriyadi dinyatakan lulus bersama 25 dari ratusan calon prajurit yang mengikuti seleksi. Namun, temannya Rahman, gagal mengikuti jejak mereka.

Masa orientasi dilalui selama sebelas hari. Mereka dikagetkan dengan ledakan bom dan letusan senapan dalam kondisi mata tertutup. Dimasukkan ke dalam drum lalu digulingkan. Ibrahim pun harus merasakan teriakan dan pukulan dari para seniornya. Sempoyongan hingga terjatuh setelah disuruh lari membentuk angka delapan.

Meneguk air selokan karena tak sanggup menahan haus dan memanjat tiang untuk mengibarkan bendera. Hasilnya, dipenghujung  masa orientasi semua prajurit taruna menerima gelar barisan kampret. Rambut mereka diplontos dan mulai memakai nama baru. Ibrahim dipanggil Janggut Kambing.

Setelah perpeloncoan selesai. Semua prajurit menerima senapan, sangkur dan tempat peluru. Tiga bulan kemudian, mereka menggunakan seragam taruna dan kartu tanda anggota.

Ketika berpangkat sersan, Ibrahim akrab dengan teman sekamarnya, Wayan taruna dari Bali. Bapaknya perwira polisi berpangkat Kolonel. Waktu Ibrahim diajak ke Bali, tak sengaja ia bertemu dengan Intan yang ternyata teman adiknya Wayan. Ibrahim jatuh hati pula dengan gadis yang bernama Ayu itu. Tapi, asmara itu tidak ada kelanjutan.

SETELAH empat tahun berpisah dari keluarga, jelang  dilantik jadi prajurit, Ibrahim menjemput langsung kedua orangtua dan keluarganya di kampung. Kedatangannya disambut tangis bahagia dan suka cita orang sekampung. Tak menduga ia akan berhasil seperti itu.

Pelantikan serta pengucapan sumpah prajurit dan sapta marga waktu itu dihadiri langsung oleh Presiden Soekarno, Jenderal Ahmad Yani dan Brigjen Soerono. Mereka secara serentak mengucapkan sumpah setia untuk mengabdi pada negara yang disaksikan juga oleh keluarga yang hadir.

Ibrahim kemudian dapat tugas di Batalion Infanteri 726/Tamalatea yang juga tanah kelahirannya. Ia kembali terbawa suasana asmara ketika melihat Salma sudah jadi bini orang. Begitu pula dengan Intan yang sudah memilih laki-laki lain. Ujung-ujungnya, Ibrahim dijodohkan dengan gadis yang juga bernama Intan. Mereka kemudian punya dua orang putra.

Cerita di atas adalah sekelumit kisah hidup Ibrahim yang ditulis dalam sebuah novel dengan judul Jenderal Kambing. Kisahnya mengajarkan anak bangsa untuk hidup mandiri, kerja keras dan tidak mudah putusa asa, termasuk dalam hal asmara. Soal gaya penulisan novel, anda tidak perlu cemas ketika membacanya. Bahasanya sederhana dan diungkapkan apa adanya. *Putri Pratiwi

Judul Buku : Jenderal Kambing

Penulis : Khrisna Pabichara

Penerbit : Exchange

Tahun Terbit : 2017

Tebal : 230 halaman