Jurnalis Perempuan dalam Ruang Redaksi Setara

Jurnalis bukan pekerjaan khusus satu gender saja. Wahyu Dhyatmika Pimpinan Redaksi Majalah Tempo menilai isu kesetaraan gender dalam ruang redaksi menjadi penting untuk dibahas. Sebab, media bertugas mewakili kepentingan publik dan menyaksikan apa yang menjadi konsen publik.

Namun kata Wahyu, tugas tersebut nihil terlaksana jika komposisi redaksi tak mewakili audience, demokrasi, dan kebhinekaannya. Pun jika keberagaman tak terawat dan nilai yang dianut tak mewakili publik, kesetaraan tidak akan terwujud.

Menurutnya, hal sederhana yang bisa dilakukan ialah memahami terlebih dahulu persoalan yang dihadapi wartawan perempuan. “Banyak wartawan perempuan ketika tengah meniti karir sebagai wartawan, secara komposisi jumlahnya sama dengan wartawan laki-laki.”

Gambaran dalam rekrutmen di Tempo, kata Wahyu, lebih banyak calon jurnalis perempuan daripada laki-laki. Kemudian mengacu ke jenjang yang lebih tinggi menuju level editor dan managing editor. Terakhir, sampai ke tahap pimpinan atau redaktur pelaksana. Di sini, pengambil kebijakan lebih banyak laki-laki.

Isu ini muncul karena beberapa faktor. Salah satunya mitos pekerjaan wartawan memiliki waktu tidak fleksibel. Akibatnya, perempuan merasa tidak mampu untuk melakukan dan memilih pekerjaan lain.

“Sebetulnya, wartawan itu pekerjaan biasa saja, profesi yang memang pada suatu titik atau periode mungkin butuh lembur. Tetapi, semua pekerjaan juga punya tuntutan-tuntutan seperti itu,” ungkapnya.

Singkat Wahyu, mitos kerja lembur dalam karir jurnalistik lebih tepat untuk laki-laki harus dibongkar.

Hal serupa disampaikan Mahdi Muhammad dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia. Kata Mahdi, ruang redaksi setara, tidak hanya bicara persentase keberadaan perempuan dan laki-laki yang harus seimbang.

“Kita juga berharap ada sebuah wacana yang lebih dibandingkan dengan sekarang, bahwa mungkin mayoritas ruang redaksi sekarang diisi oleh laki-laki atau yang terlihat maskulin.”  jelas Mahdi dalam gelar wicara yang ditaja AJI Indonesia.

Diskusi bertema Menciptakan Ruang Redaksi yang Setara diselenggarakan pada (10/12), merupakan bagian dari 16 Hari Kampanye Antikekerasan terhadap Perempuan.

Evi Mariani selaku Managing Editor Jakarta post mengatakan, struktur redaksi perlu beragam. Tidak hanya dari segi gender saja. Bisa dari agama, etnis, dan lainnya. Ia juga ceritakan kasus kekerasan seksual yang dialami salah satu Reporter Jakarta Post. Evi menyayangkan belum ada Prosedur Operasi Standar lengkap mengenai hal ini. namun, laporan kasus mulai bermunculan. Totalnya menjadi dua kasus.

Kata Evi, bentuk pelecehan yang diterima adalah secara verbal. Reporter dikirimi pesan tidak senonoh. Ada pula yang sampai diajak ke hotel jika ingin mewawancarai.

“Reporter diajak-ajak. Katanya kalau mau wawancara dengan saya boleh, tapi harus di sini dan berdua aja, kayak gitu-gitu sampai takutkan wartawannya,” ungkapnya.

Masih Evi, jika kasus ini diangkat ke publik, khawatir korban yang disalahkan. Masyarakat Indonesia masih berpikir pelecehan verbal adalah biasa dan tak perlu dipermasalahkan. Ia sempat membahas kasus serupa kepada seorang wartawan laki-laki. Ungkap Evi, wartawan laki-laki tersebut justru menanggapi biasa.

“Oh si itu kena, tampilannya memang begitu, itukan memang sering kayak gitu. Lagian kadang-kadang wartawan perempuannya juga yang suka deket-deketin, merayu-rayu politisi supaya dapat informasi,” tirunya.

Dandy Koswaraputra, Kepala Biro Anadolu Agency Indonesia turut menjelaskan, kesetaraan redaksi tidak bisa selesai dengan satu atau dua pihak saja. Semua orang harus berjuang bersama. Sebab, media sehat dimulai dari ruang redaksi yang beragam.

Lebih jauh pembahasan tentang kesetaraan gender di ruang redaksi hanya fenomena hilir. Hulunya berupa sebuah ideologi patriaki.

“Ketika berbicara kesetaraan gender, maka sebetulnya kita sedang membenturkan diri pada ideologi yang sudah berabad-abad memengaruhi peradaban.”

Dandi menambahkan, cara berpikir menempatkan laki-laki dalam posisi yang lebih tinggi dari perempuan. Sebabnya, tercipta ketidakadilan struktural bagi perempuan.

Ia ceritakan pengalamanya ketika bertemu presenter wanita yang bekerja di stasiun TV3 Malaysia. Dandi lalu menanyakan kabar dan suasana di tempat kerjanya. Ternyata, Presenter itu tidak bekerja lagi. Wanita ini berhenti karena tidak mau kehilangan anaknya yang hendak memasuki Sekolah Menengah Atas. Ia lebih ingin kehilangan kerja daripada masa depan anaknya. Dandi memyimpulkan, cara pikir patriarki tidak hanya merambah domestik, tapi juga publik.

“Kenapa misalnya bukan pasangan atau suaminya yang mengundurkan diri, lalu mengurus anak. Kalau berbicara kesetaraan, harusnya bisa diambil sikap ini,” tegasnya.

Dandi merasa, saat mencapai karir tertinggi, pekerja perempuan harus mengorbankan banyak hal demi mengikuti tuntutan domestik.

Divisi Perempuan AJI lakukan riset pada penelitian Jurnal Universitas Padjajaran pada 2016 tentang Pemaknaan Gender Perempuan Media di Jawa Barat.  Dandi katakan, kesetaraan gender memang tumbuh, tetapi cara berpikir patriaki masih kuat dalam situasi tertentu.

Mitos bahwa perempuan harus memilih pekerjaan atau keluarga harus dipatahkan. Selanjutnya, tempat kerja harus disesuaikan. Konsep pekerjaan bisa lebih fleksibel, sehingga perempuan tidak terpaksa memilih.

“Itu kan bukan pilihan, perempuan pasti memilih keluarganya. Tetapi bukan berarti perempuan tidak bisa memilih karir dan itu sangat sangat keliru,” pungkas Dandi.

Reporter: Liza Aprilia Yulis

Editor: Firlia Nouratama