Undang-undang pencemaran nama baik sudah lahir di Inggris sejak abad ke-13 dengan nama De Scandalis Magnatum. “Inggris membuat undang-undang ini untuk melindungi raja, pejabat kerajaan dan hakim,” jelas Bambang Pratama. Ia Akademisi Fakultas Hukum Universitas Bina Nusantara, Jakarta.

Undang-undang siber pertama Indonesia, Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) disahkan dengan nomor 11 Tahun 2008. Delapan tahun kemudian, diubah menjadi UU Nomor 19 Tahun 2016. Pasal 27 ayat 3 melarang setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronika dan/atau dokumen elektronika yang memuat penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.

Ayat ini mengacu pada ketentuan pencemaran nama baik dan fitnah yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Sanksinya berupa kurungan penjara 4 tahun dan/atau denda paling banyak 750 juta.

Bambang menilai pasal pencemaran nama baik bukanlah pasal karet. “Kenapa tidak karet? Karena parameternya jelas.”

Era Purnama Sari ceritakan kasus Prita, yang disebut sebagai korban pertama jeratan UU ITE pasca satu tahun disahkan. Rumah Sakit Omni Internasional Alam Sutera, Tangerang melaporkan Prita usai ceritakan keluhan atas pelayanan yang ada kepada rekannya, via surat elektronik.

Era mengaku tak baca putusan pengadilan negeri dan pengadilan tinggi, ia hanya baca sekilas putusan kasasi dan peninjauan kembali. Satu yang menarik baginya di putusan kasasi, hakim meletakkan pencemaran sebagai tujuan seseorang dipidana.

“Pertimbangan hakim kasasi dapat dibaca berbeda, yaitu kritik untuk kepentingan umum tidak dapat dipidana,” kata Wakil Ketua Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia ini.

Ia menilai adanya kecenderungan menggunakan pasal pencemaran nama baik untuk mempidana kritik yang memihak kepentingan publik. Sasarannya aktivis, jurnalis, lawan politik, serta generasi milenial. “UU ITE memiliki perumusan yang luas. Berbeda dengan KUHP yang jelas objeknya mengenai pencemaran nama baik. Di UU ITE, hal tersebut tidak ada.”

Pasal 28 ayat 2 melarang setiap orang dengan sengaja tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan suku, agama, ras, dan antargolongan.

Kecenderungan ujaran kebencian, kata Era dalam praktiknya meletakkan pasal ini sebagai detail formil. Ujaran tersebut tak harus dibuktikan. Pasal ini dan pasal 27 ayat 3 juga dapat menyeret entitas lain, misalnya atribut keagamaan. Tak hanya itu, pasal ini juga banyak dipakai untuk mempidanakan perbuatan yang dipersepsikan oleh publik atau penegak hukum sebagai bentuk penodaan agama.

Singkatnya, UU ITE kata Era mendorong bangsa untuk maju, menyongsong perkembangan ilmu dan teknologi. Terkhusus dalam dunia media sosial, agar tak menjadikan UU ini sebagai teror terhadap bangsa. Ia merasa beberapa pasal seperti pasal 27 ayat 3, 28 ayat 2, dan  45A ayat 2 perlu dihapus agar tak multitafsir, serta mengkriminalisasi kebebasan berpendapat dan berekspresi.

“Diperlukan basis kajian. Tidak hanya hukum, tetapi juga politik. Mana kala akan melakukan uji materil terhadap UU yang mengancam kebebasan berekspresi,” pungkas Era dalam launching riset Pencemaran Nama Baik dan Ujaran Kebencian dalam Satu Dekade UU ITE. Diskusi ini diadakan oleh Lembaga Bantuan Hukum Pers bersama orgaisasi nirlaba Internews (22/12).

Report: Nailal Karmi

Editor: Annisa Febiola