Ira Sari dan Dian Iriani dosen Fakultas Perikanan dan Kelautan buat olahan berbahan ikan patin. Salah satunya mie aneka warna yang diklaim tinggi protein dan kaya serat.

Oleh Salsabila Diana Putri

Zabur baru saja selesai memarkirkan pick-up hitam miliknya sore itu. Di samping rumahnya, terhampar belasan kolam ikan patin. Pria yang menekuni budidaya ikan sejak 1997 ini, merupakan Ketua Kelompok Budidaya Ikan (Pokdakan) Mina Usaha Rumbai Bukit.

Melimpahnya produksi ikan patin di kelompok ini, membawa Ira Sari dan Dian Iriani tertarik buat kerjasama. Kedua dosen Fakultas Perikanan dan Kelautan Universitas Riau ini, jadikan kelompok Zabur penyedia bahan baku produk pengabdian.

Pengabdian yang didanai Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) UNRI ini, sudah berjalan dua tahun di Kelurahan Rumbai Bukit, Pekanbaru. Tahun pertama, memanfaatkan ikan patin untuk pembuatan keripik kulit dan snack ikan. Snack dicetak berbentuk tabung melengkung menyerupai makaroni.

Tahun kedua pada 2020 lalu, Dian dan Ira kembali andalkan olahan patin untuk pengabdiannya. Namun kali ini, pelatihan membuat mie ikan aneka warna.

Seperti mie pada umumnya, mie ikan ini dibuat dalam bentuk mie basah. Yang kemudian bisa dimakan dengan aneka kreasi. Bisa dijadikan sebagai mie goreng, mie rebus, juga mie ayam.

Kata Dian, selama ini orang hanya mengkonsumsi ikan segar. Bahkan banyak pula yang tak suka makan ikan. Untuk meningkatkan konsumsi ikan di masyarakat serta keinginan menyajikannya dengan kemasan yang menarik membuat ide pengolahan produk perikanan ini muncul.

“Alasan dijadikan mie karena  disukai semua kalangan. Tidak hanya anak-anak, orang tua juga menyukai mie. Teksturnya yang lembut dan bisa diolah menjadi alasan mie sangat disukai,” ujar Dian.

Mie ikan ini dinilai memiliki protein dan kaya serat yang didapat dari aneka warna yang diberikan. Dian dan timnya mengolah mie ini jadi tiga macam warna. Warna alami dari ikan, warna hijau dari bayam, serta oranye dari wortel.

Dian iriani pada jurnal penelitiannya menyebutkan, kandungan gizi pada 100 gram mie basah mengandung karbohidrat 14 persen, protein 0,6 persen dan lemak 3,3 persen. Serta kandungan air sampai mencapai 80 gram.

Selain itu, kandungan gizi dari mie basah yang difortifikasi daging ikan patin serta sayuran bayam dan wortel. Protein berkisar 12,68 persen dan kadar air 63,62 persen.

Proses pembuatan Mie Patin Aneka Warna terbilang mudah. Pertama, haluskan 150 gram daging ikan fillet atau daging yang sudah dipisahkan dari kulit dan tulangnya. Selanjutnya, daging yang sudah hancur dicampur dengan satu kilogram tepung terigu, dua butir telur, garam serta soda kue.

Untuk mie ikan yang berwarna, ditambahkan pewarna alami dari bayam dan wortel. Setelah semua bahan tercampur rata, adonan didiamkan selama 15 menit.

Adonan selanjutnya digiling pakai ampia dengan ketebalan dua milimeter. Lembaran adonan tadi kemudian dicetak menjadi untaian mie dengan cetakan pembuat mie sepanjang 15 sentimeter. Mie kemudian direbus agar matang menjadi mie basah.

Mie ikan ini tahan tiga sampai empat hari dalam suhu dingin. Sedangkan pada suhu normal hanya tahan satu hingga dua hari saja.

Dian mengklaim masyarakat peserta pelatihan sudah bisa buat mie ikan sendiri. Ini didapatnya saat ia lakukan monitoring ke lapangan.

Kontrak pengabdian berlangsung kurang lebih selama tujuh bulan sejak 12 Maret sampai dengan 30 Oktober 2020. Setelah habis masa kontrak, keberlanjutannya dilakukan dengan membuat proposal kembali untuk kemudian di evaluasi.

Di tahun ketiga nanti, Dian berencana akan tetap melakukan pengembangan jenis olahan baru. Ia juga akan fokus ke pemasaran.

“Karena proses penanganan sudah kita ajarkan, teknik pengolahannya sudah kita ajarkan, produknya sudah jadi. Tentu pemasarannya lagi.”

Salohot—istri Zabur punya cerita sendiri saat ikut pelatihan buat snack ikan 2019 lalu. Pembuatan snack pada percobaan pertama berhasil. Namun percobaan kedua yang dilakukan di rumahnya gagal. Ia katakan penyebabnya mesin penggiling daging yang digunakan macet. Sehingga daging ikan patin tidak halus dan berserat.

Hal serupa kembali terulang saat pembuatan mie aneka warna. Percobaan pertama berhasil namun gagal dipercobaan kedua kalinya. Tak jauh beda, penyebabnya masih alat yang digunakan. Pada perocabaan pertama pakai ampia khusus untuk pembuatan mie. Sementara yang kedua kalinya hanya gunakan ampia kecil biasa.

“Istilahnya kita kalau mengantar, jangan sampai separuh jalan. Tapi harus sampai ke tujuan,” ujar Zabur.

Pembuatan mie aneka warna hingga kini masih sebatas konsumsi pribadi. Zabur dan kelompoknya belum bisa menjual keluar karena kesulitan pemasaran di lapangan.

“Tapi kalau mau saling membantu, misalnya si Ibu itu ngasi ilmu, ditinggal di sini peralatannya, dibantu untuk pemasarannya mungkin bisa jalan,” harap Salohot.#